Penulis: Ust. Dr. K. Asmawi Mahfudz, M.Ag.Artinya: Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, hingga ketika dia meninggal, kamu berkata: “Allah tidak akan mengirim seorang (rasul pun) sesudahnya”. Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu. (34) (Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang (35).
Ayat ini kelanjutan dari ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang dialektika orang yang beriman dengan orang yang kafir. Orang beriman dalam ayat sebelumnya diperankan oleh Musa AS dan laki-laki sepupu Fir’aun yang bernama Hizqil, sebagai orang dalam istana Fir’aun sendiri. Sedang orang kafir adalah Fir’aun dan pengikutnya. Ayat 34 surat ghafir di atas memberikan dalil kepada Fir’aun dan kaumnya tentang kisah Yusuf AS yang menjadi Rasul Allah sebelum Musa di Mesir.  Yusuf sebagai Rasul Allah diberikan mukjizat oleh Allah untuk menyampaikan risalah Tauhid, tetapi masyarakat mesir tetap saja meragukan kebenaran Yusuf dan ajarannya. Sampai pada akhirnya tatkala Allah mencabut nyawa Yusuf, orang-orang kafir Mesir tersebut tetap saja meragukaan kerasulannya. Mereka berkata, “Allah tidak akan mengirim seorang (rasul pun) sesudahnya”. Artinya keragu-raguan kafir terhadap misi risalah Rasulullah tidak berhenti pada saat para rasul masih hidup, tetapi keragu-raguan itu masih tetap berlanjut  sampai Yusuf AS sudah wafat.
Untuk itu Allah menutup ayat 34 itu dengan ungkapan, yang artinya ”Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas (musrifun) dan ragu-ragu (murtab)”. Kesesatan orang-orang kafir disebabkan karena dua hal, yaitu “musrifun, melampaui batas”. Artinya orang-orang kafir Mesir menjadi sesat, dan kesesatannya dibiarkan oleh Allah dikarenakan mereka melanggar syari’at Allah yang dibawa oleh utusan-Nya. Selanjutnya kesesatan orang kafir disebabkan oleh”Murtab, meragukan Utusan Allah dan risalahnya. Padahal Hujjah atau dalil tentang misi kerasulan dan kebenaran risalah itu telah dijelaskan dalam berbagai bentuk mukjizat yang diberikan oleh Allah. Tetapi tetap saja para kafir tersebut tidak mau menerima kebenaran ajaran Rasulullah, bahkan keragu-raguan tersebut dikuatkan lagi sampai para Rasul tersebut wafat.
Ayat di atas dikuatkan lagi   dengan sikap mereka yang selalu menentang ayat-ayat Allah. Dalam ayat 35 surat disebutkan “ (…Alladhina Yujadiluna fi Ayatillahi Bi Ghairi Sulthanin Atahum…” (Yaitu orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka). Maknanya perbuatan melampaui batas dan keragu-raguan yang mereka lakukan, dalam perilaku sehari-hari dipraktekkan dengan menentang dan memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang dibenarkan oleh Allah dan Rasulullah. Padahal ayat-ayat Allah telah memberikan bukti dan penjelasan kebenarannya, tetap saja mereka berkeras hati utnuk tidak mau menerima dan mempercayainya.
Akibat dari kekerasan hati orang-orang kafir Allah berfirman, yang artinya, “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang “. Allah tidak akan membuka hati mereka untuk menerima kebenaran dan petunjukknya, dikarenakan kesombongan hati (mutakabbirin) dan kesewenang-wenangan (Jabbar) mereka. Akibat dari perbuatannya, nanti pasti akan menerima siksa dari Allah sebagai akibat dari perbuatan kafir mereka, baik siksa di neraka maupun di akhirat kelak. (Referensi: Jalal al-Din al-Suyuti, Tafsir Jalalayn, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), al-Shawi, Hasyiyah al-Shawi al-Maliki, Beirut: Dar al-Fikr, 2002), Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, ttp: Syirkah Nur Asia, tt)
Kisah Yusuf AS yang diulang lagi di surat Ghafir ini sebenarnya paket pelajaran untuk Fir’aun yang mempunyai sifat-sifat yang patut diambil hikmah dan pelajarannya bagi umat Muhammad. Di antara bentuk kekafiran Fir’aun adalah sikap Melampui batas dalam mengingkari ajaran tauhid (israf) dan menjadikan dirinya sebagai Tuhan bagi kaumnya. Seandainya di konfirmasi menurut ajaran Tauhid, sikap berlebih-lebihan dalam semua hal mutlak di larang, baik menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Karena menurut ajaran Islam sikap moderat (menengah) yang dianggap baik untuk seorang hamba Allah. Sebab manusia ini sebenarnya diciptakan dalam keadaan yang serba kekurangan dan lemah. Tidak tepat kalau hamba Allah itu bersikap secara berlebih-lebihan. Apalagi menyangkut ajaran keyakinan yang secara diametral berlawanan dengan kemaha esaan Allah.
Sifat Fir’aun lagi adalah meragukan kebenaran yang sudah dijelaskan melalui dalil-dali dan bukti yang nyata (murtab). Di tambah  menentang atau memperdebatkan ayat-ayat Allah Allah (yujadiluna fi ayat Allah),  baik berupa kitab suci, dakwah yang dibawa oleh Rasulullah. Sesuatu yang sudah dijelaskan secara gambling oleh ayat-ayat Allah, baik melalui lisan para Rasulullah, tanda-tanda kebesaran Allah disekitar kita (kauniyah) ini, sebenarnya sudah mencukupi sebagai bukti bagi sebuah kebenaran. Karena pendektan yang dipakai oleh kitab suci tidak hanya normative tekstual, tetapi penjelasan-penjelasan empiris juga sudah dibuktikan. Tinggal manusianya dapat terbuka hatinya untuk menerima kebenaran itu atau tidak. Nampaknya Fir’aun dalam hal ini termasuk orang-orang yang telah tertutup hatinya untuk menerima kebenaran. Maka dari itu al-Qur’an menyebut keturtutapan hati Fir’aun diidentifikasi dari beberapa sikap dan kebeijakan sebagai penguasa yang sombong (mutakabbir), tirani dan sewenang-wenang(Jabbar), yang tidak mau menerima nasehat orang lain, kebijakannya selalu bertentangan dengan ajaran-ajaran Tauhid. Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.
Tentang penulis: Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar dan menjadi salah satu pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung.