Penulis: Ust. Dr. K. Asmawi Mahfudz, M.Ag.Artinya: Dan berkatalah Firaun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu (36) (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”. Demikianlah dijadikan Firaun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Firaun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian (37). Orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar (38). Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal (39). Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barang siapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab (40). Hai kaumku, bagaimanakah kamu, aku menyeru kamu kepada keselamatan, tetapi kamu menyeru aku ke neraka? (41). (Kenapa) kamu menyeruku supaya kafir kepada Allah dan mempersekutukan-Nya dengan apa yang tidak kuketahui padahal aku menyeru kamu (beriman) kepada Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun? (42).
Pada ayat 34-35 dijelaskan tentang kekafiran Fir’aun yang melampaui batas syari’at tauhid, sombong, tirani, tidak mau menerima kebenaran ajaran kitab suci yang dibawa oleh Rasulullah. Pada ayat yang ke 36-37 di atas menerangkan kelanjutan tentang kekafiran Fir’aun lagi yang melecehkan (Tamwihan) ajaran Tauhid dan Rasul nya. Ini digambarkan dengan perintah Fir’aun kepada menterinya (Haman) untuk membangun sebuah gedung yang tinggi (bina,an ‘aliya) supaya Fir’aun dapat sampai kepada Tuhan-Nya Musa.  Demikianlah kepongahan Fir’aun yang selalu mengabaikan kebenaran dan terbuai dengan keburukan-keburukan yang dia perbuat, dengan mendustakan kebenaran dan bukti yang sudah jelas dari Rasul Allah Musa AS. Selain itu Fir’aun dengan kekafirannya, memang sudah terhalangi untuk menempuh jalan kebenaran mendapatkan petunjuk (thariq al-huda). Dan rekayasa Fir’aun terhadap Musa As tidak akan ada faedahnya, malah akan membawa kerugian bagi dirinya nanti di akhirat, dengan bertambahnya dosa-dosa yang dia berbuat. (al-Suyuthi “Tafsir Jalalayn”, dalam Shawi, Hasyiyah Shawi al-Maliki, Beirut: dar al-Fikr, 2002, IV,13).
Pada ayat 38-40, laki-laki beriman mengingatkan kepada Fir’aun dan kaumnya untuk mengikuti jalan kebenaran ajaran tauhid, supaya mendapatkan jalan yang benar. (Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar). Karena yang diyakini dan dimiliki Fir’aun serta kaumnya hanyalah kehidupan duniawi semata, yang tidak abadi dan sewaktu-waktu akan lenyap  (tamatu’un yazulu). Jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang serba tetap, tidak berubah-rubah keindahan dan kenikmatannya (al-Tsabat la tahawala), maka dunia ini tidak ada apa-apanya. Hal ini menggambarkan tentang relativisme material duniawi yang membawa Fir’aun dan kaumnya menuju kekafiran. Maka dari itu ayat sesudahnya, 40, menerangkan tentang balasan yang setimpal bagi orang yang beramal buruk atau jahat dan Allah akan memberi balasan yang lebih dari apa yang diperbuat oleh hamba yang beriman, seandainya dia beramal shalih (baik) sesuai dengan perintah Allah dan Rasulullah.  Balasan amal yang berupa rizki yang lapang, yang tidak ada kesusahannya sama sekali di akhirat (rizqan wasi’an bi la tabi’atin). Al-Shawi menggambarkan kenikmatan bagi orang yang beriman dengan  bi ma la Ainun ra’at, wa la udhunun sami’at, wa la khatharun ala qalbi basyar, sebuah kenikmatan yang tidak dapat digambarkan oleh mata yang melihat, tidak dapat didengar oleh telinga yang mendengar, dan tidak dapat dirasakan oleh keinginan hati manusia. Di karenakan besar nya anugerah Allah bagi orang beriman yang beramal shaleh, baik laki-laki dan perempuan.
Peringatan selanjutnya disebutkan dalam ayat 41 dan 42, tentang ajakan para Rasul menuju kepada keselamatan, sedangkan ajakan orang-orang kafir menuju siksa neraka. Artinya para Rasulullah telah mengajak kepada iman kepada dzat yang maha perkasa (al-aziz) dan bertaubat kepada Allah Swt, dzat yang maha pengampun.  Sedangkan ajakan orang-orang kafir menuju kepada kekafiran dan mensekutukan Allah, hal demikian akan mengantarkan mereka kepada siksa Allah. Hal ini merupakan penegasan dan ungkapan keheranan (ta’ajub) dari seorang yang beriman, berupaya membandingkan antara ajaran kebaikan yang di bawa oleh Rasul Allah dan ajaran kekafiran dan kemusyrikan yang diparaktekkan oleh Fir’aun dan kaumnya. Yang keduanya sudah jelas-jelas arah dan tujuannya. Ajaran tauhid merupakan ajakan menuju keselamatan atau kesejahteraan dunia dan ahirat sedangkan kekafiran dan kemusyrikan akan membuat orang celaka  dunia dan akhirat. Wa Allahu A’lamu bi al-shawab.
Tentang penulis: Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar dan menjadi salah satu pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung.