Fiqih Nikah Setelah Sarjana
Judul ini sesuai dengan dawuh Nawawi Banten dalam Maraqy al’Ubudiyah,

والمراد بالعاقل هو الذى يفهم الامور على ما هى عليه

Sarjana adalah orang yang memahami urusan yang relevan dengan tanggung jawabnya/kewajibannya.
Sebagai seorang ilmuwan bagian dari tanggung jawabnya adalah mempertahankan dan menjaga keberlanjutan hidup umat manusia (kontinuitas) di dunia ini. Apalagi dunia saat ini sedang dilanda wabah, banyak saudara-saudara kita yang meninggal akibat wabah ini, maka sudah menjadi tanggung jawab kita sebagai hambanya untk tetap mempertahankan kehidupan dunia ini agar tetap seimbang antara kelahiran dan kematian. Salah satu tahapan yang menemukan relevansinya pasca menjadi sarjana adalah segera melangkah ke jenjang pernikahan.
Untuk itu langkahnya dengan memilah dan melilih dari sekian teman, saudara jauh, tetangga, kenalan, yang cocok untuk hidup Bersama (dalam bahasa yang lain, melakukan verifikasi jodoh). Dalam bahasa al-Quran disebut dengan ta’aruf. Kalau sudah menemukan ada yang cocok, segera ditindaklanjuti dengan melamarnya yang dalam bahasa fiqih disebut khitbah.

التماس الخاطب المخطوبة لينكح اليها

Permintaan seorang pelamar kepada wanita yang dikehendaki untuk menikahinya.
Acara khitbah atau lamaran ini penting untuk mengetahui kondisi masing-masing pihak. Biasanya kedua belah pihak melakukan tatap muka, diikuti semua keluarga dekat, si calon dipertemukan untuk tukar cincin, yang calon suami bisa melihat yang calon istri juga sebaliknya, diadakan musyawarah mufakat tentang hari pelaksanakan, teknisnya, serta kesepakatan maharnya. Dengan model khitbah semacam ini ada sinergi antara adat/urf dengan fiqih Islam yakni sama sama mengetahui jawaban masing masing pihak untuk dilaksanakannya perkawinan. Hal ini dalam kacamata fiqih maqashid menempati tingkatan hajiyah artinya pengetahuan, kenalan, terhadap keadaan obyektif masing masing adalah penting atau sebuah kebutuhan. Dengan saling tahu, saling kenal, akan lebih mudah untuk saling ridla (taradlin) untuk menikah. Berbeda keadaannya jika kedua mempelai/keluarga belum saling kenal, maka dalam keadaan seperti ini bisa memakai kaidah:

الحاجة تنزل منزلة الضرورة

Kebutuhan akan lamaran dan saling mengenal menjadi mendesak mengingat pernikahan yang akan dilakukan untuk hidup Bersama-sama selamanya, artinya perjanjian nikah nanti dijalani selamanya (muabad). Tahapan selanjutnya adalah proses administrasi di kantor urusan agama, mendaftarkan diri, melengkapi berkas administrasi kalau sudah lengkap dijadwalkan prosesi ijab kabul yang dicatat oleh pegawai KUA. Dalam khazanah hukum Islam ini yang kemudian muncul konsep fiqih murafaah, upaya melakukan pelaporan untuk menjalani prosesi nikah. Dalam dunia KUA sekarang dikenal rafa’, dalam istilah arab artinya lapor, atau beracara untuk nikah. Kegiatan rafa’ adalah klarifikasi identitas diri dan semua orang yang terlibat dalam acara ijab qabul adalah benar-benar sesuai dengan yang dilaporkan, baik kenyataan atau administrasinya. Misalnya kedua calonnya sesuai bukan orang-orang yang diharamkan, walinya benar, saksinya benar dan lain lain. Dilihat dari kacamata maqashid ini juga menempati posisi dlaruriyat, sangat penting, untuk menghindari kesalahan-kesalahan, kebohongan-kebohongan, kedustaan, dan kelalaian. Apalagi masa sekarang dengan kondisi dunia dengan kompleksitas problematika umat, masalah kesehatan, masalah nasab, kemampuan ekonomi, intrlektualitas, dan lain-lain.
Itu semua memang usaha adanya kejujuran, dan objektifitas. Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan ijab kabul. Yakni perjanjian yang diucapkan oleh kedua belah pihak. Di dalamnya berisi tentang penyerahan dari wali kepada mempelai pria dengan kesepakatan tertentu. Juga seorang pria menerima penyerahan itu dengan membayar maskawin yang disepakati. Akad nikah ini yang berisi tentang ijab qabul adalah rukun dalam nikah tidak boleh ditawar atau dilalaikan. Maka ijab qabul dalam maqashid syariah masuk tingkatan dlaruriyah, sangat penting atau mendesak artinya kalau tidak ada ijab qabul atau akad nikah maka tidak sah, juga disebut belum terjadinya pernikahan. Karena yang namanya nikah ya akad itu sendiri, atau hukum perjanjian dalam terminologi syara’ disebutkan:

النكاح عقد يستحل به الوطء

Nikah adalah akad atau perjanjian untuk menghalalkan hubungan suami istri.
Inti dari nikah adalah akad itu sendiri, segala sesuatu yang berhubungan dengan akad nikah hukumnya sama dengan akad itu sendiri. Seperti wali, saksi, ijab kabul. Dalam posisi dlaruriyah (sangat penting). Tahapan selanjutnya adalah walimat al-ursy atau resepsi untuk memberikan kabar kepada sanak kerabat, handai taulan, teman dan tetangga, sesuai dawuh kanjeng Nabi Saw:

 اعلنوا النكاح

kabarkanlah nikah mu
Tujuan adanya perintah walimah adalah syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan pasangan kepada kita. Juga memberitahukan kepada orang lain bahwa mempelai sudah tidak sendirian, sudah ada yang berhak terhadap mereka. Maka orang lain yang ingin berhubungan dengan mempelai harus berdasarkan etika pergaulan syariah. Dari kaca mata maqashid, walimah sebagai penyempurna proses pernikahan. Dalam bahasa hulum islam disebut tingkatan tahsiniyah (penyempurnaan terhadap keindahan dan kebaikan nikah. Sehingga dengan dijalaninya semua proses nikah, disitulah nyata kebesaran Allah SWT dalam ajaran nikah.

من اياته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا

Dan di antara bukti bukti kebesaran Allah adalah dia menciptakan pasangan pasangan dari jenis kamu semua.
Semoga kita termasuk orang orang yang bersyukur dan bagian dari tanda tanda kuasa Allah Swt. Amiiin.

Tentang penulis: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M. Ag. adalah pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar, dan juga dosen Institut Agama Islam Negeri Tulungagung.