Peran Santri Ghoib Milenial
Oleh : Muhammad Tuhfatul Ashari (Ketua BEM Ma’had Aly Ashabul Ma’arif Al Kamal)
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dan warisan budaya yang khas Nusantara, sudah sepatutnya mampu mengikuti perkembangan teknologi sebagai bagian integral dari perkembangan peradaban umat Islam. Pesantren harus mampu membuka peluang asimilasi antara teknologi dengan metode dakwah. Jika dulu dakwah disampaikan secara tatap muka seperti pengajian akbar, saat ini muncul tren baru, yakni dakwah virtual. Beberapa pesantren sudah mulai menggunakan fitur live streaming untuk meliput pengajian kitab klasik. Terlebih selama pandemi ini, dimana pembelajaran dan pengajaran dipaksa untuk bertransformasi menjadi daring atau serba digital. Bahkan banyak pula kitab klasik yang disimpan dalam bentuk digital.
Di sinilah peran santri masa kini yang notabene mendapatkan tempaan ajaran agama lebih intensif di pesantren dan didukung perkembagan kehidupan sosialnya yang telah mengenal kecanggihan teknologi internet. Bahkan sejak lahir, harusnya mampu menjadikan mimbar digital sebagai ladang dakwah virtual. Menyajikan konten Islami dengan referensi yang valid dan jauh panggang dari muatan rasisme, radikalisme, terorisme ataupun ujaran kebencian. Fisik boleh saja terkurung atau dibatasi ruang geraknya selama pandemi ini, namun kreativitas bisa terus melaju selama akses internet lancar.
Dalam Islam, kita diajarkan untuk tabayyun yang bermakna verifikasi atau mengecek ulang dengan mengedepankan prasangka baik jika ada sebuah kabar atau berita agar jangan sampai merusak ukhuwah atau persaudaraan. Verifikasi tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan jalan musyawarah, bukan dengan nyinyir atau asal mengkafirkan orang lain. Islam adalah agama yang ramah, bukan kumpulan orang yang marah-marah. Sebagaimana yang termaktub dalam Alquran surah al-Hujarat ayat 6, “Hai orang-orang beriman, jika datang seorang fasik kepadamu membawa berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kecerobohan yang akhirnya kamu menyesalinya.
Metode dakwah dengan menggunakan kebaruan teknologi adalah keharusan bagi santri dan pesantren. Konten ke-Islaman yang mengedepankan sikap moderat dan humanis harus diperbanyak dan dikelola dengan rapi. Jika seluruh pesantren di Indonesia memiliki pusat-pusat data yang berisikan berbagai referensi kitab, buku, jurnal, atau video pembelajaran ke-Islaman yang dikelola secara rapi dan menarik, serta dapat diakses dengan mudah oleh publik. Didukung pula dengan digalakkannya pusat kajian hingga menghasilkan riset yang disebarluaskan secara digital, maka peningkatan budaya literasi santri yang sering dianggap gagap teknologi, perlahan akan pudar. Membentuk citra baru, bahwa santri selain jago ilmu agama, juga bisa melek teknologi.
Dakwah virtual diharapkan mampu menyelamatkan generasi milenial dari serbuan pemahaman semu yang senangnya mencari jawaban singkat dan cepat sehingga tidak kuat basis dalilnya. Jangan ada lagi tempat bagi paham radikal atau terorisme berkemasan jihad yang banyak disalahartikan. Coba saja kita ketik kata jihad di mesin pencari, yang banyak muncul adalah bendera bertuliskan lafadz syahadat disertai pasukan perang, bahkan anak kecil turut mengangkat senjata. Padahal, pengertian jihad tidaklah sesempit itu.
Website memegang salah satu peranan penting dalam menyajikan referensi atau informasi. Meskipun situs nu.or.id dan muhammadiyah.or.id masuk lima besar situs ke-Islaman berdasarkan peringkat Alexa (yang menyajikan informasi peringkat situs di seluruh dunia). Masih banyak situs lainnya yang berisikan konten ke-Islaman garis keras yang tak jarang menebarkan berita bohong dan ujaran kebencian. Sudah menjadi tugas kita bersama untuk memerangi yang garis keras ini agar tak sampai memecah umat atau bangsa.
Berdakwah tidak hanya lewat ceramah agama yang bisa direkam lalu diposting ke YouTube, bisa juga dengan tulisan. Santri yang senang menulis dapat menjadi kontributor dan mengirimkannya ke situs daring media Islam moderat seperti NU Online, islami.co, alif.id, fiqihmenjawab.net, arrahmah.co.id (yang merupakan situs versi moderat dari arrahmah.com, pimpinan Abu Jibril yang terbukti keras dan jihadis, pernah diblokir Kemenkominfo karena dianggap mendukung terorisme). Hingga media mainstream lainnya. Dapat juga berpartisipasi dalam kompetisi menulis seperti yang diselenggarakan oleh Telkomsel. Atau seperti yang dilakukan oleh Arus Informasi Santri (AIS) Nusantara yang berjejaring menggunakan Instagram sebagai media dakwahnya.
Lebih luas lagi diharapkan dakwah santri milenial ini mampu menjadi mesin penggerak kesadaran kritis, menggeser kesadaran instan yang menjadi sasaran empuk pengembangbiakan hoax, pelintiran kebencian, bahkan benih terorisme dan ekstremisme. Sehingga kesalehan sosial dapat diruwat secara berjamaah, yaitu pribadi yang tidak hanya menilai ke-Islaman dari seberapa rajinnya beribadah, tapi juga bagaimana menebar manfaat pada sesama, ber-akhlakul karimah, bertanggungjwab, dan tidak menjadi masyarakat bersumbu pendek yang mudah terprovokasi. Menjadi umat yang tak hanya fanatik keberagamaan, tapi juga cinta pada keberagaman.