Spesial Ramadhan (Episode 13): Puasa Bagi Wanita Istihadlah
Wanita memiliki kodrat yang berbeda dari laki-laki dalam hal kemampuan mengeluarkan darah secara rutin tiap bulan. Ada kalanya dapat distatuskan sebagai darah haid, nifas, atau istihadhah. Bagi perempuan yang mengeluarkan darah haid dan nifas, maka kewajiban puasa menjadi terhalang. Lain halnya dengan perempuan yang mengalami istihadhah, ia diwajibkan untuk berpuasa, sebab secara hukum dinyatakan suci. Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam puasanya wanita istihadhah. Apa saja itu?
Pembaca yang budiman. Sebelum membahas permasalahan puasa bagi wanita istihadhah lebih dalam, perlu kiranya kita mengetahui, mengapa perempuan haid dilarang untuk berpuasa Ramadhan. Larangan berpuasa ini bersumber dari hadis riwayat Abu Sa’id bahwa Rasulullah Saw bersabda:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ، فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا

“Bukankah ketika perempuan haid, ia tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa?! Itulah kekurangan sisi agama darinya” (HR. Al-Bukhari)
Adapun dalil kewajiban mengqadha bagi wanita haid adalah riwayat dari Aisyah Ra berikut:

كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

“Kami perempuan -semasa haid- diperintahkan untuk mengqadha puasa, namun tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat” (HR. Muslim)
Lantas, ketika semasa haid ada selingan hari di mana darah tidak keluar (mampet), apakah tetap dihukumi suci ataukah diikutkan haid? Misalnya: hari 1 dan 2 mengeluarkan darah, hari 3 dan 4 berhenti, dan hari 5 dan 6 mengeluarkan darah lagi. Apakah hari 3 dan 4 tetap dihukumi suci ataukah dihukumi haid?
Pembaca yang budiman. Menyikapi masalah tersebut, terdapat khilafiyah yang terpecah pada dua pendapat: Qaul Sahbi dan Qaul Laqthi/Talfiq. Pendapat yang menyatakan masa jeda yang menyela-nyelai keluarnya darah haid tetap distatuskan sebagai haid adalah pendapat Qaul Sahbi. Dan inilah pendapat terkuat. Sedangkan pendapat yang menyatakan masa jeda tersebut terhitung suci adalah pendapat Qaul Laqthi/Talfiq. Bagi pengikut pendapat ini, maka di masa jeda tersebut ia berkewajiban puasa.
Keterangan ini sebagaimana disebutkan oleh al-Nawawi berikut:

إِذَا انْقَطَعَ دَمُهَا فَرَأَتْ يَوْمًا دَمًا وَيَوْمًا نَقَاءً؛ أَوْ يَوْمَيْنِ وَيَوْمَيْنِ. فَتَارَةً يُجَاوِزُ التَّقَطُّعُ خَمْسَةَ عَشَرَ، وَتَارَةً لَا يُجَاوِزُهَا. فَإِنْ لَمْ يُجَاوِزْهَا، فَقَوْلَانِ: أَظْهَرُهُمَا عِنْدَ الْأَكْثَرِينَ: أَنَّ الْجَمِيعَ حَيْضٌ. وَيُسَمَّى قَوْلَ السَّحْبِ. وَالثَّانِي: حَيْضُهَا الدِّمَاءُ خَاصَّةً. وَأَمَّا النَّقَاءُ فَطُهْرٌ. وَيُسَمَّى: قَوْلَ التَّلْفِيقِ. وَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ إِنَّمَا نَجْعَلُ النَّقَاءَ طُهْرًا فِي الصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ وَالْغُسْلِ وَنَحْوِهَا دُونَ الْعِدَّةِ اهـ

“Ketika berhentinya darah perempuan, lalu ia melihat sehari keluar darah dan sehari bersih atau dua hari keluar darah dan dua hari bersih, ada kalanya masa terputus tersebut melebihi 15 hari atau tidak. Jika tidak melebihi 15 hari, maka terdapat 2 pendapat: Pendapat paling kuat menurut mayroitas bahwa masa terputus dinyatakan sebagai haid. Ini disebut dengan Qaul Sahbi. Pendapat kedua: haidnya adalah yang keluar darah saja. Sedangkan ketika bersih/mampet, maka dinyatakan suci. Ini disebut dengan Qaul Talfiq. Bagi pengikut pendapat ini, maka masa berhenti tersebut dianggap suci dalam hal puasa, shalat, mandi, dan selainnya, kecuali iddah.” (al-Nawawi, Raudhat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin, [Beirut: al-Maktab al-Islami, 1991], Juz 1, Hal 162)
 
Selanjutnya mari kita bahas ketentuan puasa bagi wanita istihadhah. Adapun dalil wanita istihadhah dinyatakan suci dan tetap diwajibkan puasa adalah qiyas terhadap kewajiban shalat. Aisyah Ra meriwayatkan hadis berikut:

عَنْ عَائِشَةَ : «أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ سَأَلَتِ النَّبِيَّ ﷺ قَالَتْ: إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ، أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ؟ فَقَالَ: لَا، إِنَّ ذَلِكِ عِرْقٌ، وَلَكِنْ دَعِي الصَّلَاةَ قَدْرَ الْأَيَّامِ الَّتِي كُنْتِ تَحِيضِينَ فِيهَا، ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي».

“Dari Aisyah Ra bahwa Fathimah bin Abu Hubaisy pernah bertanya kepada Nabi Saw. Ia bertanya: ‘Sesungguhnya aku sedang istihadhah, kemudian aku belum suci, apakah aku tetap meninggalkan shalat?’ Nabi Saw menjawab: ‘Tidak demikian, sungguh itu adalah darah kotor (penyakit), namun tinggalkanlah salat pada hari-hari di mana kamu sedang haid (sebelum istihadhah), lalu mandilah dan shalatlah’” (HR. Al-Bukhari)
Dari hadis di atas, fuqaha menyimpulkan bahwa kewajiban wanita istihadlah tidak hanya shalat, melainkan mengikutkan kewajiban puasa. Al-Nawawi berpendapat:

وَعَلَيْهَا الصَّلَاةُ وَالصَّوْمُ وَغَيْرُهُمَا مِنْ الْعِبَادَاتِ الَّتِي عَلَى الطَّاهِرِ وَلَا خِلَافَ فِي شَيْءٍ مِنْ هَذَا عِنْدَنَا. قَالَ أَصْحَابُنَا: وَجَامِعُ الْقَوْلِ فِي المُسْتَحَاضَةِ أَنَّهُ لَا يَثْبُتُ لَهَا شَيْءٌ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضِ بِلَا خِلَافٍ

“Wanita istihadhah tetap berkewajiban shalat, puasa, dan selain keduanya tergolong ibadah yang dilakukan dalam kondisi suci. Tidak ada khilaf dalam masalah ini menurut kami. Ashhab Syafii berpendapat: Kesimpulan pendapat tentang wanita istihadhah bahwa tidak ditetapkan hukum-hukum haid baginya tanpa ada khilaf” (al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, [Kairo: Mathba’ah al-Tadlamun al-Ukhawi, 1347 H], Juz 2, Hal 542)
Dengan demikian, wanita istihadhah tetap berkewajiban puasa Ramadhan seperti dalam keadaan suci. Namun, ada catatan penting tentang penggunaan kapas sebagai penyumbat darah. Bahwa terdapat larangan untuk menyumbat darah menggunakan kapas ketika puasa sedang berlangsung, sebab hal demikian sama dengan memasukkan barang (‘ain) ke dalam tubuh (jauf). Hal tersebut membatalkan puasa. Sehingga, alangkah baiknya jika memang perlu disumbat, maka dilakukan setelah puasa usai (di malam hari). Untuk menahan keluar darah ketika akan shalat di waktu puasa, cukup menggunakan kain/pembalut yang tidak sampai masuk ke area lubang vagina wanita.
Di dalam Fath al-Wahab disebutkan:

وَلَمْ تَكُنْ فِي الْحَشْوِ صَائِمَةً، وَإِلَّا فَلَا يَجِبُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى الصَّائِمَةِ تَرْكُ الْحَشْوِ نَهَارًا

“Tidak diperkenankan menyumbat ketika dia dalam kondisi berpuasa. Jika tidak demikian, maka tidak wajib, namun wajib bagi bagi wanita yang berpuasa untuk tidak menyumbat darah di siang hari” (Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarh Manhaj al-Thullab, [Beirut: Dar al-Fikr, 1994], Juz 1, Hal 32).
 
Lalu diperjelas oleh Sulaiman al-Jamal berikut:

قَوْلُهُ: تَرْكُ الْحَشْوِ نَهَارًا أَيْ وَتَحْشُو لَيْلًا…. وَإِنَّمَا وَجَبَ عَلَيْهَا تَرْكُ الْحَشْوِ نَهَارًا، لِأَنَّهُ نَهَارًا يُفْطِرُ؛ لِأَنَّهُ مِنَ الْإِدْخَالِ. …. وَالْحَشْوُ فِيهِ إدْخَالُ عَيْنٍ فِي فَرْجِهَا وَهُوَ مُفْطِرٌ

“(Redaksi: tidak menyumbat di siang hari) maksudnya menyumbat di malam hari…. Hanya saja wajib atasnya tidak menyumbat di siang hari, sebab di siang hari dapat membatalkan puasa karena termasuk memasukkan barang ke dalam tubuh…. Yang dimaksud al-hasywu di sini adalah memasukkan sesuatu (kapas) ke dalam vagina wanita, sedangkan barang tersebut tergolong pembatal puasa.” (Sulaiman al-Jamal, Futuhat al-Wahhab bi Taudlih Syarh Mahaj al-Thullab, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], Juz 1, Hal 243)
Itulah keterangan terkait puasa bagi wanita istihadhah dan beberapa catatannya. Semoga puasa kita tercatat menjadi puasa yang diterima Allah Swt. Aamiin… Wallahu a’lam…
*   *   *   *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Dewan Asatidz PP Terpadu Al Kamal Blitar.