Reminder Pentingnya Adab Sebelum Ilmu
Diskursus tentang ilmu dan etika, pada dasarnya sudah lumrah diketahui dan dipahami oleh khalayak umum. Hanya saja, konsepsi awal di mana ilmu adalah segala-galanya, menjadi dinomor duakan setelah etika (baca: adab). Bukti konkrit menunjukkan bahwa banyak golongan ulama maupun cendekiawan yang ilmunya tinggi, bahkan mencapai derajat tertinggi dalam dunia akademik, tetapi nihil etika, maka nihil pula pengakuan masyarakat. Justru, nilai-nilai akademis yang tidak dibalut dengan adab, timbul penolakan dari penerima nilai tersebut. Itulah mengapa, adab menjadi nomor satu dan ilmu berada pada posisi setelahnya.
A. Konsep Ilmu dan Adab
Sebelum membahas lebih jauh terkait dengan ilmu dan adab, perlu kiranya kita memahami konsepsi umum (general concept) tentang keduanya. Apa itu ilmu? Apa itu adab?
Yang perlu diketahui dahulu adalah definisi tentang ilmu. Ada banyak definisi tentang ilmu. Para ulama memiliki ragam pendapat dalam menjelaskan makna ilmu. Al-Jurjani menghimpun definisi ilmu dengan cukup bervariasi sebagai berikut:
 Adalah keyakinan yang tegas (mantap) yang relevan dengan realita. Pendapat ini dinyatakan oleh jumhur Ulama.
 Adalah hasil dari ilustrasi sesuatu dalam akal pikiran. Pendapat ini dinyatakan oleh ahli filsafat.
 Adalah menemukan sesuatu berdasar hakikatnya.
 Adalah sifat yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui sesuatu.
Dari sekian definisi di atas, kita bisa memahami secara sepintas bahwa ilmu perlu ada dalam diri manusia, karena hakikat dari ilmu adalah mengetahui sesuatu. Andai manusia tidak memiliki ilmu, niscaya dia menjadi tidak tahu. Oleh karenanya menjadi nihil pengetahuan yang menimbulkan pada rusaknya pribadi manusia itu sendiri.
Ilmu yang dimaksud di sini masih umum. Adakalanya ilmu yang berkaitan dengan agama dan adakalanya yang berkaitan dengan dunia. Akan tetapi, perintah untuk mengetahui agama lebih kuat dibanding dengan lainnya, sebab masing-masing dari umat Islam terkena hukum taklif yang mau tidak mau harus memahami dasar-dasar agama. Setelah dasar-dasar agama ini terpenuhi, maka baru diperbolehkan mempelajari dan mengetahui disiplin keilmuan lainnya, seperti biologi, fisika, farmasi, arsitek, kedokteran, dan lainnya.
Adapun definisi adab, sebagaimana disebutkan oleh al-Fayumi bahwasanya adab adalah “segala bentuk olah hati positif yang keluar pada diri manusia yang mencerminkan etika positif”. Sehingga, adab di sini sudah tentu etika baik. Dalam al-Mu’jam al-Wasith ditambahkan bahwa olah hati ini harus mengalami proses pembelajaran (ta’lim) dan penyucian hati (tahdzib/tazkiyah) untuk menemukan pada hakikat yang seyogyanya.
Lalu, apa bedanya adab dengan akhlak?
Akhlak didefinisikan sebagai “kondisi melekat pada jiwa yang dimunculkan melalui perbuatan secara refleks dan spontan dalam hal kebaikan maupun keburukan”.
Melalui definisi ini, kita mengetahui secara sekilas bahwa makna akhlak adalah sangat umum dibandingkan dengan makna adab. Akhlak adakalanya terpuji (akhlak mahmudah) dan adakalanya tercela (akhlak madzmumah). Sementara, adab selamanya berorientasi pada terpuji, tidak ada yang tercela. Sehingga, penggunaan term adab lebih tepat disandingkan dengan ilmu, dibanding akhlak.
B. Dalil-Dalil Perintah Memiliki Ilmu dan Adab
Perintah untuk mencari ilmu sudah maklum diketahui oleh umat Islam. Beberapa diantaraya adalah ayat-ayat berikut:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang kalian tahu” (QS. al-Mujadalah: 11).

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyaksikan bahwa tiada Tuhan selain Dia, berikut malaikat, dan orang-orang berilmu seraya menegakkan keadilan. Tiada Tuhan selain Dia Yang Maha Perkasa nan Bijaksana” (QS. Ali Imran: 18).

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya hanya ulama lah yang takut kepada Allah dari golongan hamba-Nya” (QS. Fathir: 28).
Ayat-ayat di atas didukung oleh hadis Rasulullah Saw, di antaranya adalah sebagai berikut:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah pahamkan dia dalam urusan agama” (HR. Al-Bukhari No. 71).

مَنْ سلَكَ طَرِيْقاً يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْماً سَلَكَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ طَرِيْقاً مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh jalan pencari ilmu, niscaya Allah bentangkan jalan untuknya berupa jalan surga” (HR. Abu Dawud No. 3641).

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Mencari ilmu sangatlah diwajibkan bagi setiap muslim” (HR. al-Baihaqi No. 1547).

اغْدُ عَالِمًا، أَوْ مُتَعَلِّمًا، أَوْ مُسْتَمِعًا، أَوْ مُحِبًّا، وَلَا تَكُنِ الْخَامِسَةَ فَتَهْلِكَ

“Jadilah orang alim, pelajar, pendengar, atau pecinta ilmu. Jangan menjadi yang kelima (selain yang disebutkan), niscaya engkau akan hancur” (HR. al-Thabrani No. 5171).
Dengan demikian, seiring banyaknya dalil yang mengarah pada perintah manusia untuk berilmu, niscaya ilmu menjadi sebuah kebutuhan yang sangat urgen dimiliki oleh manusia.
Sedangkan, dalil-dalil yang menunjukkan perintah beradab, antara lain firman Allah Swt berikut:

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Sungguh, engkau adalah sosok yang berpijak pada akhlak yang agung” (QS. al-Qalam: 4).
Ayat ini secara eksplisit menunjukkan betapa agungnya akhlak dan etika Rasulullah Saw. Bahkan, disebut-sebut bahwa akhlak Rasulullah Saw ialah al-Qur’an itu sendiri. Lalu, kita sebagai umatnya yang selalu mengaku-aku sebagai bagian dari pengikutnya, secara tidak langsung punya beban moril untuk meniru tindakan beliau, salah satunya adalah berakhlak dan beradab.
Begitu pula didukung dengan beberapa hadis Rasulullah Saw dan kaul sahabat berikut:

حَقُّ الْوَلَدِ عَلَى وَالِدِهِ أَنْ يُحْسِنَ اسْمَهُ، وَيُحْسِنَ مِنْ مَرْضَعِهِ، وَيُحْسِنَ أَدَبَهُ

“Hak seorang anak yang menjadi tanggung jawab orang tuanya adalah memberi nama terbaik untuknya, memberi konsumsi asi terbaiknya, dan memperbaiki etikanya” (HR. al-Baihaqi No. 8300).

كَانُوا يَتَعَلَّمُونَ الْهَدْيَ كَمَا يَتَعَلَّمُونَ الْعِلْمَ

“Mereka (para sahabat) mempelajari perjalanan (ulama) sebagaimana mereka juga mempelajari ilmu” (HR. al-Baghdadi No. 9).

نَحْنُ إِلَى قَلِيلٍ مِنَ الْأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيرٍ مِنَ الْحَدِيثِ

“Kita lebih butuh terhadap sedikitnya adab ketimbang banyaknya hadis” (Abdullah bin Mubarak).
Dari sini dapat difahami bahwa etika menjadi suatu entitas yang amat sangat dibutuhkan oleh manusia. Tentu, menjadi pribadi yang baik tidak cukup dengan memiliki ilmu, tetapi juga perlu memiliki adab yang tinggi, karena adab mencerminkan kecerdasan ilmu yang ia aplikasikan.
C. Antara Adab dan Ilmu: Sebuah Relasi atau Distingsi?
Judul ini agaknya sedikit canggung, apakah ada relasi antara adab dan ilmu, ataukah keduanya terjadi distingsi?
Pertanyaan itu harusnya timbul dari orang-orang yang kritis. Mengapa demikian? Karena manusia sudah pasti melekat padanya dua entitas, yakni ilmu dan adab. Dua-duanya merupakan tabiat yang wajib ada pada manusia. Ilmu, manusia memilikinya sejak ia usia dini, sekalipun hanya minimalis. Artinya, bukan ilmu akademik sebagaimana yang kita tahu. Cukup bagi manusia mengetahui bagaimana menaruh sampah pada tempatnya, bagaimana ia ber-istinjak, bagaimana ia mengetahui bahwa itu adalah air, dan seterusnya. Ini merupakan ilmu dengan batas minimal yang cukup familiar diketahui oleh orang awam. Lain halnya dengan ilmu yang dimiliki oleh orang elit. Mereka tentu menganggap bahwa ilmu adalah pengetahuan akademik, baik ditempuh melalui perguruan tinggi atau dunia pesantren.
Sementara adab, ini juga menjadi sebuah tabiat yang wajib ada pada manusia. Pasalnya, manusia diciptakan dalam keadaan memiliki tabiat baik. Kecuali, pada nantinya ia terpengaruh dengan perihal negatif, yang kemudian membuat tingah lakunya berubah menjadi buruk. Tetapi, seburuk-buruknya tindakan manusia, ia masih tetap memiliki naluri baik ini. Ambil contoh seperti seorang pencuri. Ia berani mencuri uang milik orang lain, yang sebenarnya tindakan ini adalah sebuah keterpaksaan agar uang hasil curiannya dapat diberikan kepada anaknya yang sedang kelaparan. Naluri baik itu ada, tetapi tindakannya yang kurang tepat. Oleh karenanya, adab ini menjadi sebuah hal yang niscaya pada diri manusia.
Lalu, keduanya saling berkaitan ataukah berbeda?
Antara ilmu dan adab, keduanya harus beriringan bersama. Akan tetapi, yang lebih dominan dimunculkan secara lahiriah adalah adab. Coba perhatikan beberapa dawuh berikut:

سَمِعْتُ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ، يَقُولُ لِفَتًى مِنْ قُرَيْشٍ: يَا ابْنَ أَخِي تَعَلَّمِ الْأَدَبَ قَبْلَ أَنْ تَتَعَلَّمَ الْعِلْمَ

“Aku (Ibn Nizar) mendengar Malik bin Anas memberikan nasehat kepada pemuda dari Quraisy, ‘Wahai saudaraku, pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu’”.

كَانُوا يَتَعَلَّمُونَ الْهَدْيَ كَمَا يَتَعَلَّمُونَ الْعِلْمَ

“Mereka (para sahabat) mempelajari perjalanan (ulama) sebagaimana mereka juga mempelajari ilmu” (HR. al-Baghdadi No. 9).

نَحْنُ إِلَى قَلِيلٍ مِنَ الْأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيرٍ مِنَ الْحَدِيثِ

“Kita lebih butuh terhadap sedikitnya adab ketimbang banyaknya hadis” (Abdullah bin Mubarak).
Narasi-narasi di atas sama sekali tidak ada yang mendiskriditkan atau menyampingkan ilmu, bahkan menjadikan antara ilmu dan adab sebuah distingsi, justru menunjukkan sebuah relasi.
Narasi Malik bin Anas “pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu” ini menunjukkan peta jalan bagi seseorang agar beradab dahulu, kemudian berilmu. Tetapi, tuntutan untuk berilmu tidak menjadi hilang sebab tuntutan adab.
Narasi al-Baghdadi “mereka mempelajari perjalanan seseorang (adab) sebagaimana mereka mempelajari ilmu”. Narasi ini menunjukkan taswiyah (kesamaan) antara keduanya. Antara ilmu dan adab harus sama-sama dipelajari. Tidak ada yang tidak boleh untuk dipelajari.
Narasi Abdullah bin Mubarak “kita lebih butuh terhadap sedikitnya adab ketimbang banyaknya hadis”. Narasi ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh adab di lingkungan masyarakat, ketimbang pengetahuan akademik. Sedikitnya adab yang manusia tampilkan di muka publik, niscaya itu sudah menunjukkan kalau ia berilmu. Apalagi menampilkan adab yang banyak?!
Dari sekian kutipan narasi di atas, sama sekali tidak ada yang memisahkan antara ilmu dan adab. Justru keduanya saling berkaitan erat satu sama lain. Belum lagi ada kaul-kaul lainnya yang lebih menguatkan dari kaul-kaul di atas.
D. Kode Etik Pelajar yang Harus Diketahui
Kali ini, saya kutipkan kode etik pelajar yang wajib diketahui dan diamalkan sebagaimana dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Namun, tidak saya tampilkan narasi kitabnya, cukup intisarinya saja.
Setidaknya, dalam kitab tersebut -tepatnya pada bab kedua tentang etika pelajar terhadap dirinya sendiri- terdapat poin-poin penting yang perlu dipahami oleh setiap pelajar bahwa setiap pelajar hendaknya memahami dan memenuhi 2 bentuk kualifikasi. Kualifikasi ini bertujuan untuk menyiapkan pribadi pelajar guna menghasilkan ilmu yang bermanfaat.
Kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang pelajar antara lain: kualifikasi lahir dan kualifikasi batin, dengan rincian sebagai berikut:
No Kualifikasi Lahir Kualifikasi Batin
1. Manajemen waktu yang baik Penyucian hati dari penyakit batin
2. Konsumsi pangan yang halal Pembenahan niat
3. Seleksi pergaulan yang benar Etika yang baik
E. Kisah Inspiratif Para Ulama
Ada banyak kisah tentang para ulama yang mengurungkan ilmunya, demi mendahulukan adab, baik dihadapan gurunya, muridnya, atau kalangan masyarakat dan orang awam. Beberapa kisah tersebut antara lain:
Pertama, ada seorang sahabat bernama Yahya bin Sa’id. Ia selalu menghadiri majelis taklim yang diasuh oleh Rabi’ah. Tatkala sang pengasuh ini berhalangan hadir, maka Yahya bin Sa’id maju menggantikan beliau untuk mengajar. Komentar dari para murid sungguh baik. Mereka mengakui bahwa Yahya bin Sa’id memiliki tutur kata yang baik dan hadis yang ia hafal dan pahami juga sangat banyak. Tetapi, ketika sang guru datang di majelis, Yahya berhenti berbicara sebagai bentuk penghormatan terhadap sang guru. Padahal, usia sang guru tidak lebih tua (lebih muda) ketimbang Yahya bin Sa’id. Sang guru juga turut memuliakan Yahya, sebab ia adalah orang yang alim nan cerdas. Pada akhirnya, keduanya saling menghormati dan mengagungkan satu sama lain.
Kedua, diceritakan bahwa Imam Syafi’i pernah memimpin jamaah shalat pada waktu subuh (shalat subuh) di kota Baghdad. Kita mengetahui bahwa Imam Syafi’i ini benar-benar sosok alim nan wirai. Beliau digadang sebagai mujtahid mutlak, pendiri mazhab Syafi’i. Kendati demikian, jamaah yang dilangsungkan ketika itu, makmumnya adalah pengikut mazhab Hanafi. Karena pada saat itu, ia sedang berkunjung ke rumah gurunya. Sehingga, ketika doa qunut, beliau tidak berhenti untuk berdoa, melainkan langsung sujud, demi menghargai para makmumnya.
Ketiga, sekelompok para ahli fikih mengunjungi (sowan) ke kediaman salah seorang Habib yang tidak cukup terkenal. Habib ini adalah murid dari Hasan al-Bashri. Pada saat datang waktu shalat, mereka bergegas untuk melaksanakan shalat berjamaah yang dipimpin oleh Habib. Ketika membaca ayat, terdengar dan terdeteksi bahwa terdapat kesalahan-kesalahan dalam membaca (kurang fasih), sekalipun tidak sampai merubah makna. Lalu, usai shalat jamaah, mereka cukup kuat untuk mengingkari kecerdasan sang Habib, hanya karena gara-gara tidak fasih membaca al-Qur’an.
Pada saat ada yang izin ke kamar mandi, karena junub, orang tersebut pergi ke kamar mandi. Dan ternyata ada singa. Langsung seketika itu, ia tidak berani ke kamar mandi dan meminta tolong sang Habib. Habib menolongnya dengan mengelus kepala singa tersebut dan pada akhirnya patuh, seraya mengatakan, “kita termasuk kaum yang selalu memperbaiki batin, sehingga singa itulah yang takut dengan kita. Sementara kalian termasuk kaum yang selalu memperbaiki lahir (fikih), sehingga kalian sendiri takut dengan singa ini”.
* * * *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Alumni PP Al Kamal Blitar tahun 2017, Dewan Asatidz PP Al Kamal Blitar.