Santri Yang Membaca, dan Santri Yang Menulis
Oleh: Lucky Tjatra Brillian*
Iqra’!” Ucap Jibril yang membuat Nabi junjungan kita menggigil ketakutan. Bagaimana tidak? Beliau diriwayatkan sebagai seorang yang ‘ummiy atau tidak bisa membaca dan menulis. Lantas bagaimana Beliau akan membaca seperti yang dikatakan Jibril?
Iqra’!” Sayyidina Muhammad SAW masih bertanya, bagaimana caranya?
Iqra’ bismirobbikalladzi kholaqBacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.
Membaca menjadi perintah pertama dari Allah SWT bukan tanpa sebab. Bila ditelaah lebih lanjut, membaca juga berarti mempelajari sesuatu, meneliti, dan menambah pengetahuan. Tidak hanya berasal dari buku-buku semata, namun juga dari lingkungan sekitar manusia itu sendiri. Membaca menjadi gerbang utama terbukanya pemikiran. Tanpa membaca terlebih dahulu, manusia tentu tidak bisa menulis, atau jika diartikan secara umum, menjabarkan pemikirannya. Bahkan ada pepatah yang mengatakan “Aku adalah apa yang aku baca”. Apa yang kita tuliskan mungkin saja karangan-karangan belaka, namun apa yang kita baca akan membentuk pola pikir kita atas suatu permasalahan.
Sedangkan menulis adalah proses mengeluarkan apa yang telah kita baca. Seperti perumpamaan gelas, ketika kita mengisinya dengan air, ia akan penuh. Lantas kita membutuhkan gelas lain untuk menuangkan air tersebut. Semakin banyak buku yang kita baca, semakin banyak pengetahuan yang kita dapat. Semakin kuat pula keinginan kita untuk mengeluarkan pemikiran kita sendiri atas kesimpulan pengetahuan tersebut. Sebenarnya ada banyak cara untuk mengeluarkan pemikiran kita, namun yang paling abadi adalah dengan menuliskannya. Menulis menjadi suatu pekerjaan yang berumur panjang karena kertas-kertas mudah disimpan, dan tak mudah rusak. Teknologi saat ini pun memungkinkan kita menulis lantas menyebarkannya melalui media online sehingga semakin banyak pula orang yang akan menemukan tulisan kita. Tidak dapat dipungkiri kalau adanya perkembangan teknologi juga mempengaruhi budaya literasi di dunia.
Dalam budaya Islam Nusantara, pembelajaran melalui media membaca dan menulis berlangsung unik. Islam selalu mengedepankan kesinambungan sanad suatu ilmu. Pembelajaran dilakukan secara tatap muka antara guru dan murid. Untuk menjaga keotentikan ilmu itu sendiri para murid pun mencatat ilmu-ilmu yang dijelaskan oleh sang guru. Di jawa dan Sunda terdapat tradisi maknani menggunakan huruf pegon. Bahasa Jawa yang digunakan untuk memaknai kitab dituliskan menggunakan huruf Arab. Dengan singkatan-singkatan, dan kode-kode tertentu agar dapat menulis lebih ringkas dan cepat. Ahli sejarah berbeda pendapat mengenai asal usul huruf pegon itu sendiri. Ada yang mengatakan bahwa huruf pegon digagas oleh Sunan Ampel pada tahun 1400-an. Ada pula yang mengatakan bahwa huruf pegon ada di abad 18 dan 19, dilihat dari karya tulis KH. Ahmad Rifai (1788-1878), KH.Sholeh Darat (1820-1903), dan sebagainya. Namun ada pula yang mengatakan bahwa huruf pegon digagas oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dari Cirebon.
Seiring berjalannya waktu, kitab-kitab berbahasa Arab pun makin banyak dijumpai di pasaran Indonesia. Para pegiat ilmu pengetahuan Islam mulai menyadari bahwa tidak semua orang menguasai Bahasa Arab untuk memahami naskah-naskah itu. Mereka lantas membuat kitab syarah yang menggunakan Bahasa Jawa dan pegon. Misalnya kitab Tafrihatul Wildan syarah dari kitab Al-Jurjani karya Syekh Ali bin Muhammad Al-Jurjani, dan Alala karya Imam Az-Zarnuji. Ada pula yang memaknai secara murni kitab tersebut. Saat ini sudah banyak sekali bertebaran di pasaran kitab-kitab ini dengan sebutan pethuk. Selain itu juga ada yang menerjemahkan kitab-kitab Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia, dan membukukannya. Semakin luasnya khazanah literasi Islam saat ini mempermudah umatnya untuk mengakses ilmu-ilmu keagamaan. Tidak ada alasan keterbatasan untuk mempelajarinya.
Namun bagi santri yang masih menuntut ilmu di pesantren, buku-buku terjemahan dirasa haram hukumnya. Buku-buku tersebut memang mudah dipahami dan didapatkan di toko-toko. Namun dampaknya santri akan ketergantungan membaca “hasilnya”, bukan mempelajari prosesnya. Bahkan di pesantren salaf yang ketat, kitab-kitab maknan ini benar-benar dihanguskan karena dianggap membuat santri malas mutholaah.  Sewajarnya santri di pesantren adalah mempelajari ilmu alat, nahwu, shorof, I’lal, dan sebagainya guna menjadi bekal mempelajari kitab-kitab berbahasa Arab. Kitab gundul yang belum terkmaknai menjadi satu sarana latihan yang amat memungkinkan untuk digunakan mengasah kemampuan santri. Kitab pethuk dianggap membatasi pemikiran santri pada makna yang itu-itu saja. Padahal di pesantren salaf disediakan forum syawir guna mendiskusikan suatu bab permasalahan hingga ke urusan tata Bahasa yang dituliskan pada kitabnya.
Kemalasan tersebut lantas menimbulkan keterbatasan pemikiran santri itu sendiri. Seperti yang dituliskan di awal, bahwa menulis merupakan sarana mengeluarkan pengetahuan yang telah kita dapatkan dan simpulkan. Apabila kita meluaskan wawasan dengan memandang suatu bahasan dari segala aspek, maka seluas itu pula yang kita dapatkan, seluas itulah yang kita tuliskan. Sebaliknya, jika kita memandang pengetahuan hanya dari makna yang tertera di kitab pethuk semakin terbataslah apa yang kita dapatkan. Akhirnya, ketika ada perintah untuk menulis, akan ada alasan-alasan seperti “Tidak berani menulis karena merasa belum cukup pintar”. Padahal saat ini semua orang berhak menulis. Hingga Imam Al-Ghazali mengatakan “Jika kau bukan anak raja, dan kau bukan anak ulama besar, maka menulislah”.
Bukan bermaksud menyalahkan suatu pihak, karena sebenarnya, sesedikit apapun pengetahuan kita, kita tetap berhak menyebarluaskannya. Dengan catatan bahwa yang kita sebarkan adalah kebenaran. Bahkan dengan menulis kita menyadari keterbatasan pengetahuan kita, hingga kita bisa terus mempelajari kekurangannya. Selain itu, di masa kini saat proses membaca dan menulis menjadi hal yang sangat berat dilakukan meski dengan akses yang sangat gampang, sudah saatnya kita melawan rasa malas dan mulai menulis.
*Penulis merupakan Mahasantri Ma’had Aly Al Kamal, Pengurus Markazy PPTA