Spesial Ramadhan (Edisi 03) : Anjuran Menyegerakan Berbuka Puasa
Bilamana anjuran sahur dilakukan di akhir waktu, namun beda halnya dengan berbuka puasa yang dianjurkan di awal waktu. Di satu sisi, Rasulullah Saw menganjurkan mengawali berbuka puasa dengan kurma, air, atau makanan ringan yang manis. Inilah yang kemudian di Indonesia, makanan berbuka sering disebut dengan “takjil” yang diambil dari kegiatan menyegerakan berbuka itu sendiri.
Anjuran menyegerakan berbuka puasa ini bersumber dari hadis, di mana Rasulullah Saw pernah bersabda:

لَا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ وَأَخَّرُوا السَّحُوْرَ (رواه أحمد)

“Umatku senantiasa mendapatkan limpahan kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan makan sahur” (HR. Ahmad).
Mengapa dianjurkan segera berbuka? Tujuan utamanya adalah untuk segera membatalkan ibadah puasa yang sedang berjalan, sebab cara membatalkannya hanya dapat dilakukan dengan makan atau minum.
Makanan pembuka itupun dianjurkan sejenis makanan ringan, seperti kurma, air, atau sesuatu yang manis, bukan tergolong makanan berat. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Rasulullah Saw berikut:

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَليُفْطِرْ عَلَى التَّمْرِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَى المَاءِ، فَإِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ (رواه أبو داود)

“Jika seseorang di antara kalian berpuasa, maka berbukalah dengan kurma. Jika tidak menemukannya, maka dengan air, sebab air itu suci-menyucikan” (HR. Abu Daud).
Kesunahan ini hanya berlaku, bilamana orang yang berpuasa benar-benar mengetahui masuknya waktu magrib. Jika, ia hanya menduga atau memperkirakan telah masuk waktu magrib, namun faktanya tidak demikian, maka hukum puasanya menjadi tidak sah. Di dalam Kifayat al-Akhyar disebutkan:

وَأَمَّا مَعْرِفَةُ طَرَفَيِ النَّهَارِ فَلَا بُدَّ مِنْ ذٰلِكَ فِي الْجُمْلَة لِصِحَّةِ الصَّوْمِ حَتَّى لَوْ نَوَى بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ، لَا يَصِحُّ صَوْمُهُ؛ أَوْ أَكَلَ مُعْتَقِدًا أَنَّهُ لَيْلٌ وَكَانَ قَدْ طَلَعَ الْفَجْرُ لَزِمَهُ الْقَضَاءُ؛ وَكَذَا لَوْ أَكَلَ مُعْتَقِدًا أَنَّهُ قَدْ دَخَلَ اللَّيْلُ ثُمَّ بَانَ خِلَافُهُ لَزِمَهُ الْقَضَاءُ اهـ

“Adapun mengetahui awal dan akhir siang hari, maka wajib dilakukan untuk keabsahan puasa. Oleh karenanya, jika seseorang berniat setelah terbitnya fajar, maka puasanya tidak sah; atau ia makan dengan keyakinan telah masuk malam, sedangkan faktanya sudah masuk pagi, maka wajib diqadla’. Begitu pula ia makan dengan keyakinan telah masuk waktu malam, namun faktanya sebaliknya (masih siang), maka juga wajib qadla’” (Taqiyyuddin al-Hishni, Kifayat al-Akhyar, [Damaskus: Dar al-Khair, 1994], Hal 199).
Lalu, mana yang lebih diutamakan antara berbuka terlebih dahulu ataukah shalat magrib dahulu? Pada dasarnya kedua hal ini sama-sama tergolong kesunahan. Namun, untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita baca hadis berikut:

كَانَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ رُطَبَاتٍ فَتَمَرَاتٍ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ تَمَرَاتٍ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ (رواه الترمذي)

“Rasulullah Saw berbuka dengan beberapa kurma basah terlebih dahulu sebelum shalat magrib. Jika tidak menemukan kurma basah, maka kurma kering. Dan Jika tidak menemukan kurma kering, maka bisa minum beberapa teguk air” (HR. Al-Tirmidzi).
Dari hadis di atas, jelas sekali bahwa Rasulullah Saw lebih mengutamakan berbuka terlebih dahulu dengan makanan ringan, kemudian shalat magrib. Selepas itu, diperkenankan untuk melakukan hal apapun, termasuk mengkonsumsi makanan berat. Yang terpenting adalah membatalkan puasa terlebih dahulu.
Ketika berbuka, disunahkan untuk membaca doa berbuka puasa sebagaimana lazim diketahui. Doa tersebut berbunyi:

اللهم لَكَ صُمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, dan atas rezeki-Mu aku berbuka. Dengan rahmat-Mu Wahai Dzat Pemberi Rahmat.”
Pertanyaannya, apakah doa tersebut dibaca sebelum ataukah sesudah berbuka?
Dalam hal ini terjadi khilaf di antara fuqaha. Ada yang menyatakan bahwa kesunahan tersebut tetap didapat, meskipun dibaca sebelum berbuka, seperti keterangan dalam Busyra al-Karim berikut:

(وَ) يُسَنُّ (أَنْ يَقُوْلَ عِنْدَهُ) أَيْ: عِنْدَ إِرَادَتِهِ، وَالْأَوْلٰى بَعْدَهُ: (اللهم لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ)

“Disunahkan untuk berdoa ketika akan berbuka. Yang lebih utama setelah berbuka: Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan atas rezeki-Mu aku berbuka.” (Sa’id bin Muhammad Ba’ali, Busyra al-Karim bi Syarh Masa’il al-Ta’lim, [Jeddah: Dar al-Minhaj, 2004], Hal 563).
Namun, Syekh Abi Bakr Syatha al-Dimyathi menolak terdapat kesunahan, jika doa tersebut dibaca sebelum berbuka. Beliau berpendapat:

وَيُسَنُّ أَنْ يَقُولَ عَقِبَ الْفِطْرِ: “اللهم لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ”. | (وَقَوْلُهُ: عَقِبَ الْفِطْرِ) أَيْ: عَقِبَ مَا يَحْصُلُ بِهِ الْفِطْرُ، لَا قَبْلَهُ، وَلَا عِنْدَهُ.

“Disunahkan berdoa setelah berbuka puasa: Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan atas rezeki-Mu aku berbuka. (Redaksi: setelah berbuka puasa) maksudnya adalah setelah berbuka puasa, bukan sebelum atau ketika buka puasa.” (Abi Bakr Syatha al-Dimyathi, I’anat al-Thalibin ala Hall Alfazh Fath al-Mu’in, [Beirut: Dar al-Fikr, 1997], Juz 2, Hal 279).
Kendati demikian, pada hakikatnya selama doa tersebut tetap dibaca, maka akan tetap mendapatkan kesunahan dengan berpijak pada pendapat ulama yang menyetujuinya. Dan inilah cara Rasul mengajarkan kita berbuka puasa, pada intinya beliau mengajarkan untuk berbuka dengan cara sederhana, tidak rakus dan tidak berlebihan. Tuntunan seperti ini sebenarnya berimbas pada pola ideal hidup sehat, sehingga mampu menjalankan aktivitas ibadah dengan tenang penuh khusyukan. Wallahu a’lam.
*   *   *   *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Dewan Asatidz PP Terpadu Al Kamal Blitar.