Spesial Ramadhan (Episode 14): Kewajiban Imsak Bagi Orang Yang Puasanya Dianggap Tidak Sah
Tidak makan dan minum serta menjauhi segala hal yang membatalkan puasa adalah kewajiban bagi orang yang sedang menjalankan ibadah puasa. Hanya saja, ada beberapa orang yang tetap diwajibkan menahan diri (imsak) dari makan minum di bulan Ramadhan, padahal puasanya telah dinyatakan tidak sah. Siapakah mereka?
Pembaca yang budiman. Di dalam puasa, seseorang diwajibkan untuk menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Landasan hukum kewajiban imsak ini sebagaimana dicantumkan dalam QS. al-Baqarah: 187:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagimu benang putih (cahaya subuh) dari benang hitam (gelapnya malam) dari fajar. Lalu sempurnakanlah puasa hingga malam hari” (QS. al-Baqarah: 187)
Kendati demikian, terdapat ketentuan fikih tentang kewajiban imsak bagi beberapa orang yang puasanya dianggap tidak sah. Artinya, meskipun puasanya batal, mereka tetap diwajibkan menahan diri dari makan minum serta segala hal yang membatalkan puasa sebagaimana orang puasa normal.
Dalam Nihayat al-Zain disebutkan bahwa kewajiban imsak bagi orang yang puasanya tidak sah terbagi dalam dua kategori: (1) bagi orang yang membatalkan puasa tanpa ada uzur; dan (2) bagi orang yang mengalami kesalahan fatal dalam berpuasa. Syekh Nawawi bin Umar al-Bantani menjelaskannya berikut:

وَ يَجِبُ إِمْسَاكٌ فِيهِ أَيْ فِي رَمَضَانَ لَا فِي غَيْرِهِ عَلَى مُتَعَمِّدِ الْفِطْرِ. وَهُوَ المُرَادُ بِقَوْلِهِ: (إِنْ أَفْطَرَ بِغَيْرِ عُذْرٍ) وَعَلى مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ النِّيَّةَ فِيهِ

“Diwajibkan imsak di bulan Ramadhan, tidak di bulan lainnya atas orang yang menyengaja membatalkan puasa. Inilah yang dimaksud dengan redaksi ‘jika seseorang membatalkan puasa tanpa uzur’ dan orang yang tidak menginapkan niat puasa” (Nawawi bin Umar al-Bantani, Nihayat al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], Hal 189)
Pada keterangan di atas, beliau menyebutkan kategori pertama yang memuat dua orang  yang diwajibkan imsak:
Pertama, seseorang yang dengan sengaja membatalkan puasa tanpa ada uzur yang dilegalkan oleh syarak. Artinya, orang ini dengan sengaja ingin membatalkan puasanya, padahal ia tidak dalam kondisi sakit, musafir, atau mengalami keberatan-keberatan yang diberikan keringanan (rukhshah) oleh syariat. Orang ini tentu berdosa sebab penyelewangan yang dilakukan dan wajib qadha puasanya di lain waktu, namun pada saat itu ia tetap harus menahan diri sampai terbenamnya matahari. Adapun tentang dosa yang dibebankan kepadanya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw berikut:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِي غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ لَهُ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صَوْمُ الدَّهْرِ

“Barangsiapa membatalkan puasanya satu hari di bulan Ramadhan tanpa ada keringanan yang diberikan oleh Allah, maka puasa setahun pun tidak akan menggantikannya” (HR. Abu Dawud)
Kedua, orang yang tidak berniat puasa di malam hari. Ia juga tidak taklid kepada Imam Malik untuk niat puasa di seluruh hari bulan Ramadhan di malam 1 Ramadhan atau tidak taklid kepada Imam Abu Hanifah yang membolehkan niat susulan di pagi hari selama belum makan minum sebelum zuhur. Maka ia dianggap teledor dan diberikan beban untuk imsak hingga terbenamnya matahari dan tetap wajib qadha puasa di lain waktu.
Adapun kategori kedua sebagaimana keterangan selanjutnya:

أَو بِغَلَطٍ، كَمَنْ تَسَحَّرَ ظَانًّا بَقَاءَ اللَّيْلِ أَوْ أَفْطَرَ ظَانًّا الْغُرُوبَ فَبَانَ خِلَافُهُ، وَمَنْ ظَهَرَ لَهُ يَوْمُ الثَّلَاثِينَ مِنْ شَعْبَانَ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ وَمَنْ سَبَقَهُ مَاءُ الْمُبَالغَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ فِي الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ

“Atau karena kesalahan fatal yang dilakukannya. Misalnya seperti orang yang sahur dengan menyangka masih malam atau berbuka dengan menyangka sudah masuk waktu magrib, ternyata sebaliknya; dan orang yang berpuasa di 30 Sya’ban, padahal telah masuk 1 Ramadhan; dan orang yang tertelan air sebab berlebihan dalam berkumur atau istinsyaq atau dilakukan pada hirupan ke empat” (Nawawi bin Umar al-Bantani, Nihayat al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], Hal 189)
Kategori kedua ini antara lain:
Pertama, seseorang yang keliru menganggap waktu sahur masih ada, padahal sudah masuk waktu subuh dan terlanjur makan. Maka, ia dinyatakan batal puasanya dan wajib qadha, namun tetap harus imsak hingga terbenamnya matahari.
 
Kedua, seseorang yang keliru menganggap sudah waktunya berbuka puasa, padahal belum masuk waktu magrib dan terlanjur makan. Maka, puasanya juga dinyatakan tidak sah serta wajib qadha, dan wajib imsak di sisa waktu yang ada.
 
Ketiga, seseorang yang meyakini masih di hari 30 Sya’ban. Entah karena ia memang tahu atau tidak bahwa telah berganti bulan, sehingga ia tetap enjoy makan, padahal pemerintah telah mengumumkan lewat sidag itsbat bahwa pada hari itu telah masuk 1 Ramadhan. Maka, ia dianggap tidak berpuasa dan wajib qadha serta wajib imsak hingga masuk awal waktu magrib.
 
Keempat, orang yang berkumur atau menghirup air di hidung, kemudian menjadi tertelan, maka ini membatalkan puasa. Sehingga ia wajib imsak hingga selesainya puasa, meskipun puasanya dinyatakan batal dan wajib qadha’.
Selain daripada orang-orang yang diwajibkan imsak bagi yang dinyatakan puasanya tidak sah, namun ada kesunahan imsak juga bagi yang memang ada uzur dan tidak dapat puasa. Beliau melanjutkan keterangannya sebagai berikut:

وَالضَّابِطُ فِي ذَلِكَ أَنَّ كُلَّ مَنْ جَازَ لَهُ الْإِفْطَارُ مَعَ عَمَلِهِ بِحَقِيقَةِ الْيَوْمِ لَا يَلْزَمُهُ الْإِمْسَاكُ، بَلْ يُسَنُّ.

“Adapun batasannya adalah bahwa setiap seseorang yang diperbolehkan membatalkan puasa di hari tersebut (berdasar keringanan syariat), maka ia tidak wajib imsak, namun disunahkan” (Nawawi bin Umar al-Bantani, Nihayat al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], Hal 190)
Ini artinya, ada beberapa orang yang memang diperkenankan membatalkan puasanya karena uzur atau mengalami kesulitan yang diberikan dispensasi oleh syarak. Beberapa orang tersebut antara lain:
Pertama, wanita yang sedang haid dan nifas;
Kedua, seorang musafir yang melakukan perjalanan jauh pada jarak yang diperbolehkan jamak dan qashar shalat;
Ketiga, seseorang yang sakit kritis atau tidak dapat diharapkan kesembuhannya yang tidak mampu untuk berpuasa
Mereka tetap disunahkan untuk imsak (menahan diri) dari makan minum layaknya orang berpuasa.
Dengan demikian, pada dasarnya demi menghormati Ramadhan, setiap umat Islam berlaku sama untuk melakukan imsak dari segala hal yang membatalkan puasa agar senantiasa mendapatkan keberkahan bulan Ramadhan yang mulia ini. Wallahu a’lam…
*   *   *   *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Dewan Asatidz PP Terpadu Al Kamal Blitar.