Ngaji dan Ngabdi 91: Ajaran Misticism Ulama Nusantara: Edisi Haul KH Imam Yahya Mahrus Lirboyo Ke 12
Terminologi ulama dalam konteks Nusantara diberikan kepada mereka yang mempunyai keilmuan agama Islam yang mumpuni, dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan disampaikan kepada masyarakat di mana dia hidup. Sesuai dengan dawuh Rasulullah, “al-Ulama’ Waratsat al-Anbiya’”, ulama adalah pewaris para Nabi”. Maka dalam struktur Islam Nusantara di zaman ini, Ulama diatributkan kepada seorang Kyai. Karena dalam realitasnya para kyai adalah mereka-mereka yang menguasai ilmu agama Islam, mempunyai perhatian kepada masyarakatnya. Ini dapat kita buktikan dalam perjalanan dakwah Islam di Nusantara dalam mengajarkan Islam, para kyai memberikan tauladan dalam pengamalan ajaran agama, memperhatikan problematika masyarakat yang ada dalam miliu yang mengitarinya. Dari kriteria ulama itu di Indonesia masa modern atau kontemporer ini kita mengenal nama seperti KH. Hasyim Asyari Tebuireng Jombang, KH. Wahab Hasbullah Tambak Beras Jombang, KH. Bisri Samsuri Denanyar Jombang, KH. Ali Maksum Krapyak Yogjakarta, KH. Ahmad Dahlan Yogjakarta, KH. Ahmad Shidiq Jember, KH. Ali Yafie Jakarta, KH. Sahal Mahfudz Pati, KH. Mahrus Ali Lirboyo Kediri, KH. As’ad Samsul Arifin Situbondo, KH. Thohir Wijaya Blitar, KH. Yasin Yusuf Blitar, KH. Hamim Jazuli Ploso Kediri, KH. Asrory al-Ishaqi Surabaya, KH. Imam Yahya Mahrus Lirboyo Kediri dan sebagainya.
Mereka adalah ulama pada masanya yang Alim dalam ilmu agamanya, menjadi panutan umat, juga melakukan perjuangan dalam rangka dakwahnya. Hanya saja dalam melaksanakan dakwahnya ulama Nusantara mempunyai karakteristik tersendiri dibanding dengan ulama di berbagai dunia muslim lainnya. Diantara perbedaan yang akhirnya menjadi kelebihan ulama Nusantara di antaranya adalah, strategi dakwah menyampaikan risalah agama Islam dengan turun langsung berhadapan kepada masyarakatnya, yang kemudian disebut dengan mubaligh. Para kyai sekaligus mubaligh ini dengan didasari keikhlasan rela terjun ke pelosok-pelosok desa di Nusantara untuk mendakwahkan ajaran Islam. Tidak mengherankan kalau kemudian model dakwah secara langsung seperti ini menjadi model dakwah yang diidolakan oleh masyarakat muslim Nusantara. Ini bisa dicermati dalam kurikulum-kurikulum lembaga pendidikan Islam, pesantren di Indonesia selalu menampilkan program pidato sebagai pembekalan kepada para santrinya. Ini bertujuan sebagai sarana untuk mencetak mubaligh-mubaligh di masa-masa selanjutnya.
Dengan strategi dakwah ini, mereka dapat diterima oleh msayarakat muslim Nusantara dengan sederhana, mudah diterima, karena cara dakwahnya selalu disesuaikan dengan kondisi dimana obyek dakwah disampaikan oleh para kyai. Akhirnya para kyai Nusantara ini biasanya selain mengajar di pesantren, jadwal dakwah atau ceramahnya selalu padat. Mereka berangkat pengajian biasanya menjelang malam, pulang menjelang subuh, pagi sudah di rumah untuk mengajar santri lagi. Dengan padatnya jadwal pengajian itu para kyai tidak mengenal lelah demi memperjuangkan, menyampaikan ajaran Islam kepada umatnya. Wujud perhatian para kyai kepada umat inilah akhirnya dapat dirasakan oleh muslim Nusantara ini, yang telah menjadi masyarakat muslim dengan jumlah populasi terbanyak di dunia. Karakter ulama Nusantara ini disebut dalam sebuah dawuh, “Nadhru al-umat bi Aini Rahmah. Para kyai melihat kondisi umatnya dengan pandangan kasih sayang”.
Juga dalam menyampaikan dakwahnya para kyai menggunakan metode ilmu bathin, tasawuf, misticism. Yaitu sebuah ilmu yang memandang ajaran agama dari sisi bathiniyah, pembersihan hati, dalam rangka membentuk perilaku akhlaqul karimah. Dalam praktiknya ilmu ini biasanya dilakukan dengan mengajarkan amalan-amalan ibadah, bacaan dhikir atau wirid, berpuasa, memberikan ijazah doa-doa tertentu. Dari sekian banyak kyai yang penulis mendapatkan pengajaran dengan pendekatan bathin ini adalah romo Kyai Haji Imam Yahya Mahrus Lirboyo Kediri, yang minggu ini akan diselenggarakan haul yang ke 12.
Kyai Imam biasanya dipanggil adalah salah satu ulama atau Kyai yang mempunyai perhatian pengajaran Islam dengan pendekatan misticisme. Dalam rutinitas kesehariannya mengajar para santri dalam program-program kitab kuning di Pesantren HM al-Mahrusiyah Lirboyo Kediri, menghadiri undangan pengajian di masyarakat, menjadi pengurus wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, aktivitas sosial, menjadi rektor di Universitas Islam Tribakti. Kyai Imam juga mengajarkan kepada santrinya ilmu-ilmu bathin dalam berbagai bentuknya. Di antaranya adalah memimpin santri melaksanakan shalat malam (qiyam al-layl) tiap malam dimulai jam 03.00 sampai subuh. Dalam pengajarannya shalat malam diisi dengan shalat Sunnah Hajat, shalat Tasbih, dan shalat Witir. Dirangkai dengan tawasul, membaca yasin, tahlil dan bacaan tertib istighosah. Menurut Kyai imam Pelajaran Istighasah dan shalat malam ini diajarkan kepada para santrinya sebagai upaya untuk membekali mereka ilmu-ilmu bathin. Sehingga nanti ketika dakwah di masyarakatnya, para santri menjadi pribadi yang tangguh dalam menghadapi tantangan yang dihadapi. Juga mereka akan tampil di masyarakat dengan sikap yang berwibawa, adaptif, mudah untuk diterima. Dan yang lebih penting lagi adalah pembersihan jiwa, santri dapat futuh, dibuka hatinya oleh Allah, akhirnya dalam menjalani kehidupan selalu dalam petunjuk Allah, diberi kelapangan rizki, keluarga yang sakinah, keturunan yang shalih shalihat, dapat berbakti kepada guru dan kedua orang tuanya.
Ajaran lain dari kyai Imam adalah memberikan ijazah doa-doa. Di antaranya para santri biasanya disuruh riyadhah membca hizib nashar, hizib Nawawi, hizb khafi, hizib awtad, hizb alam nasyrah, al-sabu al-munjiyat, hizb rihal-ahmar, doa perisai diri, mengobati orang sakit, doa supaya dimudahkan jodohnya, doa mendapatkan keturunan yang shalih, doa jal jalut dan lain-lain. Tatara riyadhahnya biasanya santri disuruh berpuasa tiga hari, tujuh hari atau sebelas hari. Kemudian doa-doa itu dibaca setelah shalat fardlu beberapa kali sesuai dengan petunjuknya, dan dibaca setelah shalat hajat. Artinya pengajaran ini adalah ikhtiyar mendekatkan diri kepada Allah sebagai sebuah solusi menyelesaikan problematika kehidupan yang dihadapi oleh tiap santri. Baik masalah ekonomi, politik, sosial, budaya ataupun masalah keluarga. Prinsipnya seorang santri harus siap menghadapi jalan dakwah sesuai yang diajarkan oleh romo kyai.
Nampaknya apa yang diajarkan Kyai Imam ini juga menjadi pendekatan para ulama Nusantara ini. Para Kyai atau ulama yang menyampaikan ajaran Islam tidak hanya dengan pendekatan ilmu-ilmu lahir, tetapi juga dengan ilmu bathin, ruhaniyah, kejiwaan. Hal ini terbukti relevan dengan kondisi realitas masyarakat Nusantara yang sarat dengan ajaran-ajaran mysticism. Bukti adanya masyarakat muslim Nusantara akrab dengan mysticism adalah penyebaran ajaran Islam dengan pengamalan ajaran tasawuf, yang diekspresikan dalam kelompok-kelompok thariqah yang berkembang di Indonesia. Misalnya thariqah Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Syadhiliyah, al-Khalidiyah, Sattariyah, Akmaliyah dan sebagainya. Kelompok-kelompok thariqah itu berkembang sedemikian rupa di Indonesia dengan bimbingan para kyai-kyai Nusantara.
Kembali kepada pembahasan kyai Imam Yahya Mahrus yang mengajarkan santri dengan pendekatan bathin, ruhaniyah, menghasilkan para alumni yang menekuni bidang mysticism ini. Sebagian dari mereka ada yang menekuni mensyiarkan thariqah, ada yang mendakwahkan Islam dengan ilmu kanuragan, sebagian mendakwahkan Islam dengan menjadi tabib, supranatural, menjadi kyai dalam bidang ilmu bathin. Ini bukti bahwa konsepsi mysticism yang diajarkan oleh Kyai Imam tidak hanya sebatas bacaan, tetapi juga dapat memberikan manfaat kepada masyarakat sesuai dengan yang sampaikan oleh santri-santrinya dalam beragam kegiatan ilmu ruhani. Untuk itu penting bagi para santri untuk belajar ilmu bathin, pendekatan mysticism dalam berdakwah, supaya keluhuran Islam dapat dibuktikan di Tengah Masyarakat Nusantara. Akhirnya selamat haul al-Maghfurlah KH Imam Yahya Mahrus Lirboyo kediri yang ke 12, semoga kita dapat melanjutkan perjuangan dakwahnya dengan berbagai strategi dan metode, sebagaimana yang telah dilakukan oleh beliau. Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.
Penulis: KH. Asmawi Mahfudz, (Santri Angkatan 1994, Pengajar di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Fungsionaris NU Blitar)