Berterima kasih Kepada Ulama Nusantara

جالس العلماء فان مجالسة العلماء ينبت الحكمة وينورالقلب

Berkumpulah dengan para Ulama, maka sesungguhnya berkumpul dengan Ulama itu memunculkan Hikmah dan mencerahkan Hati.
Dawuh ini ada tiga konten utama, pertama adalah perintah berkumpul dengan para ulama. Ulama jama’ dari Alim, orang yang berilmu. Istilah ulama ini sudah akrab di kita, baik masa al-Qur’an diturunkan sampai sekarang hanya saja historisitas penggunaannya akhirnya beda dalam konteksnya. Misalnya pada masa Nabi ada istilah sahabat, pada masa tabiin dikenal istilah fuqaha (jama’ dari faqih, orang memahami hukum Islam). Masa sekarang kita kenal istilah kyai, tuan guru, ajengan dan sebagainnya. Sebelum kita menulis asas historisitasnya, baiknya kita pahami betul bahwa akar atau dasar disebut ulama karena keilmuanya, maka dalam istilah keindonesiaan orang yang mumpuni ilmunya disebut ilmuwan. Sama orang banyak hartanya disebut hartawan atau jutawan. Orang banyak berkorban jasa disebut pahlawan, orang banyak kerelaanya disebut relawan, mumpuni dalam kerohanian disebut rohaniwan dan sebagainya. Sesuai dawuh Allah:

فاسئلوا اهل الذكر ان كنتم لاتعلمون

 Bertanyalah kepada Ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.
Kedua dari dawuh di atas, berkumpul dengan ulama itu dapat menghasilkan hikmah (kebijaksanaan). Dengan keilmuan yabg dimiliki seorang alim akan mampu.memberikan kebijaksanaan dalam bertindak, berbuat atau menjawab problematika masyarakat. Sesuai dengan sifat.ilmu itu sendiri jujur, obyektif, universal, tidak dibatasi oleh sekat-sekat apapun. Sehingga apa yang diberikan ulama, diperbuatkan selalu menebarkan hikmah kebijaksanaan dalam realitas kehidupan, ilmu yang dimiliki pun tidak hanya berbasis rasionalitas, tetapi juga empiris, bahkan intuitif, spiritualitas dari Allah SWT. Inilah ulama-ulama kita sejak zaman sahabat sampai sekarang selalu menebar hikmah untuk umat dan masyarakatnya.
Ketiga adalah berkumpul dengan ulama memberikan pencerahan kepada hati manusia. Seorang ulama selain ilmu dan hikmah juga mempunyai tugas pencerahan kepada hati umatnya. Pencerahan di sini melakukan pembebasan dari kegelapan menuju penerangan, dari kesesatan menuju hidayah, dari keraguan menuju keyakinan, dari kemusyrikan menuju ketauhidan kepada Allah. Belajar dari tiga hal ini, rata-rata ulama selalu berbuat untuk pemberdayaan masyarakatnya.
Historisitas ulama masa Nabi, perjuanganya adalah pembebasan akidah, masa tabiin berjuang mendakwahkan praktik-praktik keberagamaan Islam. Sehingga yang menjadi idola adalah para fuqaha’, karena masa ini yang banyak berperan dalam pemberdayaan adalah fuqaha’, orang yang memahami hokum-hukum agama. Memang masa ini yang paling dibutuhkan adalah aturan-aturan agama yang dibutuhkan umat, untuk dipraktikkan. Ini bisa dilihat dari para imam mazhab serta murid-muridnya. Imam Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, Zaidi. al-Tsauri, al-Dhahiri, ibn Sa’d dan lain-lain sampai masa kemunduran Islam, ulama disebut dengan Fuqaha’. Pada masa Islam sudah menyebar ke seluruh dunia, sebutan ulama diidentikkan dengan tokoh masyarakat atau orang yang dituakan sesuai dengan obyek dakwahnya. Di Jawa disebut Kyai, di Madura disebut dengan Lora, di luar jawa tuan guru, ada yang menyebut ajengan di Sunda. Hal ini tidak lepas dari tugas keulamaan yang diembannya untuk memberdayakan dan membimbing umat. Dalam konteks Indonesia sekarang sebutan itu lumrah untuk orang-orang yang dituakan.
Belajar dari ulama Indonesia, yang patut kita syukuri adalah mereka telah memberdayakan umat dalam segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka berjuang syiar Islam, berjuang melawan penjajahan, berjuang mengajar masyarakat di dunia pendidikan, berjuang memberdayakan ekonomi, politik, budaya, olahraga dan lain lain, sehingga masyarakat mendapatkan pengajaran, bimbingan, arahan dari ulama. Inilah kelebihan ulama-ulama Nusantara, tidak hanya berjuang diatas teori-teori ajaran tetapi.juga terjun di masyarakat. Sehingga banyak penelitian menyebut kyai mimbar, kyai dampar, ada kyai kampung, kyai pesantren, ada kyai politik, kyai birokrasi, kyai budayawan, kyai penulis dan teori-teori lain, hasil penelitian sosiologis terhadap ulama-ulama Indonesia.
Beda di negara negara lain, yang ulama didefinisikan hanya kepada kealiman dan.penguasaan ilmu-ilmu agama saja, sementara masyarakatnya kurang mendapatkan perhatian, dan bimbingan, sehingga kerahmatan Allah SWT dan Agama Islam benar-benar nyata di bumi Nusantara. Ini adalah jasa-jasa ulama kita, dalam melakukan transformasi ajaran-ajaran Islam dengan metode yang ramah, santun, moderat, adil dan bijak. Muslim Indonesia walaupun mayoritas tetap menghormati agama lain, toleransi aliran, budaya, kepercayaan ini semua kita praktikkan sejak sebelum Indonesia berdiri sampai sekarang. Mungkin pernik-pernik perbedaan tetap ada sebagai hukum alam, tetapi senyampang prinsip-prinsip syiar ulama Nusantara dulu masih dipegang teguh, insyaalloh kejayaan umat, bangsa, dan Islam Nusantara bisa dinikmati sejak sekarang ila yawm alqiyamah. Aamiin.
Tentang penulis: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag adalah pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar, dan juga dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung.