Ngaji dan Ngabdi 58: Historisitas Pemikiran Hukum Islam (Serial Lanjutan Kuliah Perdana di Universitas Semester Genap 2021-2022)
Dari dinamika perkembangan pemikiran Hukum Islam, ada beberapa prinsip yang menjadi ugeman bagi terwujudnya hukum baru, mengutip pendapatnya Yusuf Musa dalam bukunya al-Madkhal ila Tasyri’ al-Islami, pertama, Al-Yusru fi al-ahkam wa adam al-haraj. Hukum Islam memberikan kemudian dan tidak menyulitkan. Memang hukum Islam dalam pensyariatannya menghindari adanya kesulitan bagi seorang hamba, menampilkan aturan yang memudahkan bagi obyek hukum yakni mukalaf. Misalnya diterapkannya aturan tentang jama’ qashar dalam beribadah, memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk melaksanakan akad-akad syariah yang merupakan solusi dalam bidang perniagaan, jawaban dari praktik perniagaan masa sebelum Rasulullah. Misalnya jual beli dengan dimensi keadilannya adalah jawaban atas riba yang dhalim kepada sesama. Akad salam, mudharabah, qiradh, gadai, wadiah, kafalah, hiwalah, adalah bentuk-bentuk model transaksi yang memberikan kemudahan bagi seorang muslim dan menghindari adanya kesulitan dalam bidang ekonomi.
Kedua, Qilah al-takalif, hukum Islam menyedikitkan beban. Artinya hukum Islam mengatur kehidupan muslim dengan menyesuaikan keadaan muslim, sesuai dengan kemampuannya. Sehingga seorang muslim yang mempraktikkan hukum Islam tidak merasa berat, nyaman, menikmati dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah. Misalnya ajaran zakat bagi yang mampu, haji bagi yang mampu, bagi yang tidak mampu tidak mempunyai kewajiban untuk melakukan zakat ataupun haji. Dalam bidang ibadah mahdhah sekalipun tidak ada pembebanan yang memberatkan bagi seorang muslim dalam menjalankannya, sehingga dalam konsep hukum Islam dikenal konsep tentang ajaran yang sifatnya azimah (hukum pokok), sebaliknya juga digunakan konsep tentang rukhshah, keringanan bagi mereka yang tidak mampu melaksanakan hukum asal.
Ketiga, Al-tadaruj, hukum Islam diterapkan secara bertahap, gradual. Artinya hukum Islam diterapkan dalam masyarakat secara berangsur-angsur. Contoh tentang ayat khamar yang bertahap, ayat zina yang bertahap. Juga perkembangan pemikiran hukum Islam yang dipraktikkan didalam masyarakat muslim tertentu melalui proses panjang, sejak Islam dibawa oleh Rasul selama 23 tahun sampai sekarang Islam bertebaran di muka bumi menjadi rahmat bagi seluruh alam juga by proccess panjang. Juga dalam konteks keindonesiaan, Islam disyiarkan di bumi Nusantara sejak masa-masa kerajaan, masa kolonialisme, masa kemerdekaan, pasca kemerdekaan, sampai sekarang juga melalui proses panjang sesuai dengan dinamika ke-Indonesiaan. Dahulu Islam berdialektika dengan budaya waktu pertama disyiarkan, sekarang juga berdialektika dengan problematika perkembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi.
 Keempat, Murunah al-Tasyri’ al-Islami. Hukum Islam bersifat elastis, fleksibel, tidak kaku dalam rangka menjaga relevansi hukum Islam dalam pelaksanaannya. Hukum Islam yang dipraktikkan dari tiap masanya, periodesasinya akan selalu menjaga prinsip yang lentur, sehingga dalam aktualisasinya, kelenturan hukum Islam ini menghasilkan tawaran konsep-konsep dari para fuqaha’, jurist pada masanya dalam rangka kontekstualisasi ajaran sebagaimana disuarakan oleh Imam Juweini dengan Maqashid al-Syariah, dilanjutkan oleh al-Ghazali dan al-Syatibi. Ibn Ryush menawarkan fiqih perbandingan dalam Bidayat al-Mujtahid, ibn Hazm menawarkan epistemology al-Dalil dalam kitabnya al-Ihkam fi Ushul Ahkam, Izudin Ibn Abd salam menawarkan konsep maslahah yang luas dalam kitab Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam. Di Nusantara Nawawi al-Banteni menampilkan fiqih sufistik ala al-Ghazali, Hasbi al-Shidiqi menawarkan konsep fiqih keindonesiaan, Munawir Syadhali ide kontekstualisasi Hukum Islam dalam bidang waris pada tahun 1990an ketika menjabat sebagai Menteri Agama, Huzairin menawarkan konsep kewarisan bilateral, konsep ijtihad kreatif oleh Yusuf Qardhawi, Pribumisasi Islam oleh KH abdurahman Wahid, fiqih Sosial oleh KH Sahal Mahfud, Ijtihad saintific modern oleh Qadri Azizi, Khalid abu Fadl menawarkan Heurmenetika Hukum Islam, Masdar Farid Masudi menawarkan ide tentang Zakat dan Pajak, KH Husein Muhammad mempelopori adanya pemikiran-pemikiran berbasis fiqih emansipatoris di Cirebon. Dan seterusnya hukum Islam akan tetap hidup di tengah masyarakat dengan tawaran-tawaran konsep baru, respon terhadap dinamika masyarakatnya, baik dilakukan oleh personal pemikir hukum Islam atau oleh institusi-Institusi Islam di Indonesia atau dunia Muslim pada umumnya. Misalnya lembaga pemerintah Kementrian Agama RI, Kampus-kampus Universitas Islam Negeri (UIN) termasuk di dalamnya UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Mahkamah Agung termasuk juga Pengadilan Agama, Pondok Pesantren, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, Lembaga-lembaga fatwa hukum Islam dan sebagainya. Diskusi yang lagi mengemuka adalah tentang sertifikasi Halal yang dahulu dilaksanakan oleh Majlis Ulama Indonesia sekarang dilaksanakan oleh Kementrian Agama oleh Direktorat Badan Jaminan Produk Halal. Dilihat dari kacamata akademik masalah sertifikasi halal adalah obyek penelitian bagi akademisi dari berbagai lintas disiplin ilmu. Di dalamnya ada pakar ilmu-ilmu eksakta misalnya kimia, biologi, ekonomi, kesehatan. Juga ilmu-ilmu sosial yang meliputi ilmu hukum positif, hukum Islam dengan segala turunannya. Dengan mensinergikan berbagai lintas disiplin dalam ranah penelitian akan menghasilkan ilmu-ilmu baru dari ranah sertifikasi halal ini.
Dari kacamata bisnis atau ekonomi, sertifikasi halal dapat dikelola menjadi sebuah lembaga yang berorientasi kepada profit, menghasilkan keuntungan, dapat menghasilkan lapangan kerja baru bagi para calon-calon pekerja yang masih non job. Apalagi kalau Lembaga Badan Jaminan Produk Halal (BJPH) ini dapat bersinergi dengan pengusaha-pengusaha terutama usaha kecil dan menengah, maka bidang UMKM akan tergerak dan akan memaksimalkan potensi-potensi ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Akhirnya dari kegiatan sertifikasi halal yang semula menjadi otoritas hukum Islam, akan melapangkan obyeknya dari berbagai bidang produktifitas masyarakat. Dari proses inilah kita akan dapat meminimalisir kesenjangan antara ilmu hukum islam dari sisi das sollen yang ideal dan das sein yang realistis -empiris.
Belum lagi kalau obyek studi dinamika pemikiran hukum Islam dikembangkan tidak hanya perspektif ke-Indonesiaan, tetapi pemikiran-pemikiran yang sedang berkembang di berbagai negara Muslim. Baik di Asia, Afrika, Eropa, Amerika, Australia, akan banyak pencerahan ide, khazanah yang kaya dari hasil pergumulan religiusitas muslim. Dahulu diskusinya mungkin ahl ra’yi dan ahl Hadits, rasionalis dan tektualis, modernis dan tradisionalis, santri dan abangan. Tetapi sekarang dengan studi hukum Islam dengan perangkat metode kontemporer akan berubah, bergerak, sesuai dengan data-data kekinian yang didapatkan. Taruhlah misalnya sekarang tema fiqih menjadi mengkristal sesuai dengan data ilmiyah yang menjadi konsentrasi kajiannya. Fiqih kebangsaan, fiqih lingkungan, fiqih emansipatoris, fiqih pertanahan, fiqig gender, fiqih politik, fiqih Kesehatan, fiqih pandemi, fiqih Ramadhan, fiqih haji, fiqih wakaf, fiqih bisnis, fiqih ekonomi, fiqih asuransi, fiqih akuntansi, fiqih pidana, fiqih perdata dan sebagainya.
Tulisan ini adalah garis besar dalam memberikan pengantar perkuliahan semester genap 2021-2022 di Universitas Islam Negeri Sayyid ali Rahmatullah, di jenjang S1, S2, dan S3. Semoga perkuliahan di tengah pandemi ini lancar, istiqamah, semua pengelola Universitas, Fakultas, Pascasarjana, Dosen, Mahasiswa dan kelurganya dalam keadaan sehat wal afiyat, dalam lindungan Allah Swt, serta di beri kemanfaatan ilmu dan keberkahannya. Aamiin.
*Alumni PP Lirboyo, Pengajar di UIN Satu, dan Khadim PP al-Kamal Blitar