Ngaji dan Mengabdi (5): Silaturahim dalam Kemajemukan
Setamat dari pasca sarjana IAIN Surabaya, saya kembali ke almamater S1, yaitu Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Lirboyo Kediri, praktis aktivitas yang banyak kalau pagi mengajar, khidmah di kampus dan kalau malam menjadi pengurus dan mengajar di Madrasah Diniyah HM Putra Lirboyo. Biasanya di sela-sela mengajar dan ngantor di Tribakti kita diajak oleh Kyai Halimi untuk silaturahim ke berbagai Kyai dan lembaga-lembaga, Pondok Pesantren yang menjadi tujuan dari Kyai Halimi. Memang Kyai Halimi adalah sosok Guru yang rajin ngopeni kepada semua sanaknya, tak terkecuali kepada kolega, teman, kerabat, ataupun santri-santri, alumni-alumni Lirboyo dan Tribakti. Kegiatan silaturahim ini sering kita lakukan, akhirnya pada suatu saat kita silaturahim ke KH. Drs. Suja’i Habib, salah satu pengurus Yayasan Bina Cendekia Muslim yang menaungi Universitas Islam Kediri (Uniska). Hasil dan barokah silaturahim inilah kemudian saya mendapatkan jadwal mengajar di Uniska tahun 2001. Mengabdi di Universitas Islam Kadiri (Uniska) sebagai pengajar Tetap Ilmu Agama Islam di fakultas-fakutas yang menyelenggarakan materi kuliah Agama Islam, dan biasanya mengajar di Fakultas Hukum dan Ekonomi. Seiring perjalanan waktu, selanjutnya pengabdian di Uniska tidak hanya mengajar, juga dipercaya sebagai Ketua Lembaga Pengajar Agama (LEPA).
Pengalaman mengajar di Uniska dihadapkan kepada mahasiswa yang heterogen dari sisi latar belakang pendidikan menengah mereka, ada dari sekolah agama, Pesantren dan mayoritas adalah mahasiswa dari sekolah umum. Sehingga mengajar Agama Islam di Uniska benar-benar membutuhkan perjuangan, tidak semua mahasiswa mapan dari sisi ilmu agamanya, praktik ibadahnya. Ini sudah menjadi realitas dan tantangan tersendiri bagi saya sebagai pengajar untuk dapat memberikan pengajaran agama Islam, menguatkannya, kalau bisa membentuk kepribadian Muslim bagi para mahasiswa. Sehingga banyak strategi dalam menyampaikan mata kuliah agama Islam. Waktu dahulu target kita adalah ilmu agama Islam dibagi beberapa materi dalam beberapa semester. Semester pertama untuk akidah, kedua ibadah, ketiga muamalah, keempat munakahah, kelima Fiqih siyasah, keenam Peradilan Islam (qadla’). Ketujuh, Fiqih pidana Islam (jinayah). Dari sekian materi itu penyampaian materi lebih sering dilakukan dengan ceramah, dialog dosen dan mahasiswa, praktik shalat jenazah dan peribadatan, ataupun memberikan foto kopi buku-buku akademik dalam studi Islam. Itulah strategi-strategi yang kita lakukan dalam melakukan pembejaran di Uniska. Harapannya semoga semuanya bermanfaat untuk mahasiswa dan lembaga tempat mengabdi.
Pada saat mengajar di Uniska ini juga mendapat pengalaman bergaul dengan sesama. Disini berkumpul dengan beragam orang, dari berbagai latar belakang, baik agama, suku, kelas sosial, ekonomi yang berbeda-beda, inilah banyak pelajaran didapatkan. Saat mengabdi di Uniska inilah mendapatkan pengajian-pengajian atau ilmu yang tidak dapat diperoleh dalam pengajian-pengajian kitab kuning (kutub al-shafra’), baik ilmu empiris pengalaman, rasional didapatkan selama mengabdi dan mengajar di Uniska. Karakter pengabdi dan warga kampus Uniska berbeda dengan di Tribakti. Kalau di Tribakti warga kampus relative homogen, berasal dari Pesantren, tetapi di Uniska elemen kampus ada yang beda faham, latar pendidikan yang berbeda-beda, ada yang memakai jilbab ada yang tidak, ada yang pekerja tetap di Uniska, juga ada pekerja sambilan, pengusaha, birokrat, politisi, juga ada yang berlatar belakang Pesantren atau keluarga Kyai. Maka memungkinkan saya untuk belajar, mencari pengalaman dalam realitas yang heterogen. Tetapi walaupun beragam latar belakang, ketaatan kepada pengurus Yayasan atau para Kyai patut diapresiasi, terutama di sini ada figur kuat sebagai ketua Yayasan yaitu KH. Anwar Iskandar, yang selalu memberikan bimbingan (irsyadat) dan nasehat.
Pengabdian saya sebagai pengurus LEPA waktu itu mempunyai tugas mengkoordinasikan kegiatan Agama Islam di Uniska, baik dalam momentum akademik atau kegiatan-kegiatan non akademik. Hanya saja waktu pengabdian di Uniska ini, evaluasinya terhadap tugas-tugas yang saya jalankan kurang maksimal, mungkin karena harus membagi waktu di Tribakti dan Lirboyo. Memang sebuah perjuangan kalau terbagi-bagi, tidak fokus pasti mengalami stagnasi, kejumudan. Tidak dapat secara konsisten mengerjakan tugas sesuai dengan fungsinya, bahkan nyaris kurang perkembangan yang berarti. Dari sisi hati nurani juga tidak nyaman, karena idealisme yang dirasakan oleh ide kita tidak menemukan relevansinya di lapangan, maka pekerjaaan dilakukan setengah hati, ide tidak berkembang, hasil juga kurang menggembirakan. Inilah perjalanan pengabdian saya di LEPA Uniska, beruntung dahulu mempunyai beberapa teman dosen, Kyai senior yang menuntun kita, sehingga kekurangan-kekurangan banyak ditutupi oleh amal shalih mereka. Misalnya ada Kyai Ma’ruf, Kyai Halimi, Kyai Soemanan, Kyai Suja’i, banyak membimbing menjalankan program-program LEPA.
Tetapi dengan mengabdi di Uniska ini, pemikiran kita akan terbuka, bahwa jaringan, network akademik, atau banyaknya teman baik, merupakan sebuah keniscayaan di zaman yang sudah maju ini, dalam rangka membangun sebuah hubungan antara sesama, distribusi kebutuhan dan kepentingan, yang pada akhirnya nantinya mempermudah tugas dan kewajiban kita. Dari berbagai kalangan yang saya kenal di Uniska yang notabene berasal dari ragam latar belakang ini, saya mendapatkan kemudahan ketika mengabdi di Kota Kediri. Misalnya komunitas sosial, organisasi, memenuhi kebutuhan ekonomi, tranformasi ilmu pengetahuan, perjodohan, peningkatan status sosial, discursus politik lokal, aktualisasi diri, dan sebagainya. Maka dalam tulisan dengan tema ngaji di Uniska ini patut kita apresiasi untuk al-Mukarram KH. Anwar Iskandar, KH. Halimi Turmudhi, KH. Suja’i, Habib Kyai Syaifullah, H. Rinto Harno merupakan pengurus Yayasan Bina Cendekia Muslim, yang aktif di Universitas Islam Kadiri. Mereka adalah para pejuang Lembaga Pendidikan Swasta yang tangguh dalam mengembangkan Universitas menjadi Besar. Dari mereka banyak pelajaran mengelola, mengabdi, memperjuangkan lembaga swasta. Semoga ilmu yang didapatkan dari mereka, pengalaman, bermanfaat, barakah dunia dan akhirat.
Kemudian yang lebih penting lagi, sebagai akademisi ini, dapat meniru perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh para Kyai di atas. Artinya belajar dari Uniska sebuah Lembaga Pendidikan Tinggi yang mapan dan besar, baik dari sisi financial, infrastruktur, sumber daya manusia, alumni dan jaringan. Kebesaran yang didapatkan pasti tidak serta merta, tiba-tiba menjadi besar sebagaimana bisa dilihat sekarang mempunyai mahasiswa yang ribuan. Tetapi melalui perjuangan yang berliku, dinamis, mengalami perubahan-perubahan, peningkatan-peningkatan sampai sekarang. Keistiqamahan para Kyai di atas yang patut kita jadikan contoh. Istiqamah memikirkan, merawat, mengajar, mengelola, mengatur, mengawasi yang tidak kenal lelah dan waktu. Apalagi aktivitas para Kyai sangat tinggi sekali, di rumah mengurus santri dan keluarga, Lembaga Pendidikan sebagai tempat perjuangan juga banyak, organisasi keagamaan dan sosial di luar, undangan-undangan pengajian, kegiatan ekonomi keluarga dan sebagainya. Pasti waktu 24 jam tidak mencukupi untuk beramal dalam tempat-tempat pengabdian itu. Nyatanya beliau-beliau selalu istiqamah mengaji dengan santrinya, memenuhi undangan pengajian, juga mengembangkan usaha dalam bidang ekonomi, juga silaturahim. Ini sebuah pelajaran buat kita dalam meniru semangat perjuangan itu. Tidak heran kemudian kalau mereka menjadi ikon, pemimpin di masyarakat, ditokohkan oleh masyarakat di Kota Kediri, atau bahkan menjadi tokoh Nasional, karena jasa perjuangannya. Ini sesuai dengan dawuh Rasulullah ”Sayyid al-Qawmi Khadimuhum, pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi masyarakatnya”. Inilah i’tibar berharga yang harus kita jadikan suri tauladan dari para Kyai dalam aktualisasi diri di tengah-tengah masyarakat. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
*Pimpinan PP al-Kamal Blitar, Pengajar IAIN Tulungagung dan Dewan Pembina Yayasan Masjid Bayturahman Kras kediri