Ngaji dan Ngabdi 113: Kiat Sukses Para Kyai (Edisi Ziarah Asaatid dan Pengurus)

بالجر والتنوين والندا وال  # ومسند للاسم تمييز حصل

(Bait syair al-Fiyah Ibn Malik ini menggambarkan beberapa kiat sukses, diantaranya adalah bil jarri, tawadhu’, rendah hati, wa tanwini, keterbukaan, wa nida sikap promotif, wa al sikap yang tegas, wa musnadin, kesadaran menerima mandat). Selaras dengan misi kita hari Sabtu kemarin kita para guru Madrasah dan Pesantren PP Terpadu al-Kamal Blitar melaksanakan silaturahmi kepada beberapa Kyai di Blitar, sebagai sebuah inovasi untuk menjalin hubungan untuk kebaikan pribadi-pribadi para pengurus, asatidh, juga lembaga-lembaga di lingkungan Pesantren al-Kamal. Dari beberapa kyai, mereka banyak memberikan masukan-masukan yang sifatnya membangun demi kemajuan sebuah organisasi, lembaga semacam madrasah atau pondok pesantren. Berangkat dari Kunir Wonodadi kita berziarah kepada Kyai Haji Imam Hanafi, beliau memberikan nasehat untuk selalu memegang teguh tradisi al-Qur’an, dimana pun dan kapan pun. Kita semua adalah santri tulen, memegangi al-Qur’an harus menjadi yang utama dan diprioritaskan, karena al-Qur’an adalah pedoman kita dalam berperilaku, beragama. Sebagaimana dilakoni oleh para ulama-ulama dahulu, yang selalu membiasakan membaca al-Qur’an, bahkan kadangkala setiap hari bisa khatam sebanyak 30 Juz. Al-Quran adalah mu’jizat utama bagi Njeng Nabi Saw, maka dengan selalu membaca apalagi dengan memahami kandungannya bahkan melaksanakan isinya, kita pun juga akan mendapatkan kemuliaan lantaran al-Qur’an.
Nasehat selanjutnya didapat dari Kyai Fauzi Hamzah, beliau memberikan masukan kepada para asatidh dalam menjalankan pembelajaran dengan para santri, tidak hanya monoton sehingga materi yang disampaikan mengena kepada mustami’nya. Seorang guru juga harus belajar untuk mengembangkan pembelajarannya berkaitan dengan thariqah, cara menyampaikan materi. Kadang kala materi yang sulit disampaikan dengan cara yang baik akan mudah diterima oleh para santri yang mengaji, sebaliknya materi mudah kalau cara penyampaiannya kurang baik, juga tidak menghasilkan pemahaman yang baik pula bagi santri-santri kita. Juga harus diantisipasi dengan dinamika perkembangan Lembaga Pendidikan yang lagi marak kejadian tentang bullying santri, jalan keluarnya ditekankan kembali pendekatan akhlaq al-karimah kepada para anak didik kita. Terkait dengan akhlaq maka semua ustadh harus lebih memperhatikan perkembangan kepribadiannya, kondisi kejiwaannya, suasana belajar mengajarnya, yang semuanya dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian santri. Di samping harus diistiqamahkan untuk selalu mendoakan para santri-santri supaya mereka mendapatkan hidayah Allah, kita hanya sebagai perantara untuk menyampaikan isi kitab kuning, sebagai representasi ajaran akhlaq al-karimah, tetapi hidayah adalah milik Allah, dengan memohon kepadaNya, insyaallah santri akan memahami ilmu yang kita sampaikan, mengamalkannya, sehingga para santri-santri itulah nanti akan meneruskan perjuangan menyampaikan ajaran agama yang kita ajarkan sekarang.
Objek ziarah ketiga kita adalah ke ndalem KH. Ahmad Sya’rani, dalam silaturahmi itu mendapatkan berbagai nasehat-nasehat keulamaan dan keorganisasian. Di antaranya adalah jadi pejuang itu harus berani mengambil resiko. Artinya memperjuangkan agama Allah lewat jamiyah Nahdlatul Ulama atau lewat pesantren harus berani berkorban, berani untuk konsisten, berani untuk dicaci maki, berani untuk melarat, berani untuk mengamalkan dari konsepsi yang kita usulkan dan keberanian-keberanian yang lain. Apalagi kalau kita jadi pemimpin sifat berani adalah mutlak. Tanpa ada keberanian sebuah organisasi yang dipimpin tidak akan berjalan dengan baik. Misalnya dalam organisasi telah disepakati untuk menjalankan program ekonomi, berani kah kita untuk menjalankan prinsip-prinsip ekonomi dalam roda program itu. Misalnya harus akuntable, dipertanggungjawabkan, amanah, kalau perlu kita juga harus berani meminjami modal usaha, supaya program ekonomi ini bisa berjalan. Atau kalau dalam program pendidikan seseorang harus berani mengesampingkan dahulu ego, sungkan kepada teman, kolega dalam menyikapi problematika lembaga pendidikan kita. Misalnya kalau ada guru yang kurang disiplin, ya harus ditegur, diingatkan, kalau tetap tidak aktif diberhentikan. Karena lembaga pendidikan ini membutuhkan keistiqamahan guru dalam menyampaikan ilmu-ilmunya. Kalau pemimpin sebuah lembaga tidak mempunyai keberanian untuk mengambil kebijakan yang tidak mengenakkan, maka yang akan jadi korban adalah lembaga yang dipimpinnya. Selain itu Kyai Sya’roni juga mengatakan bahwa dia sekarang membutuhkan kader-kader Nahdlatul Ulama yang dapat meneruskan perjuangan sesuai dengan idealisme dalam khidmah dalam organisasi, baik dalam bidang ekonomi, keagamaan, pendidikan, politik dan sebagainya.
Nasehat keempat disampaikan oleh KH. Dhiyaudin al-Zamzami, beliau banyak bercerita tentang sejarah ketersambungan al-Kamal dengan keluarga Pondok Pesantren Mantenan Udanawu Blitar. Di antaranya sewaktu KH Thohir Wijaya dan saudaranya KH Jauhari mondok di Tremas Pacitan, Kyai Zubaidi pernah menangi atau se masa tinggal di sana. Kyai Dhiya’ bertutur bahwa saat sama-sama nyantri itu Kyai Zubaidi masih dalam masa-masa prihatin, banyak laku yang diamalkan oleh para kyai saat mondok di sana, maka kalau sekarang kita melihat besarnya sebuah lembaga ini barangkali memang keprihatinan beliau-beliau saat nyantri di Pesantren, yang patut kita contoh bersama-sama, walaupun tidak sama persis, tetapi kiat dan komitmennya yang kuat dalam nirakati dirinya, lembaganya menjadi suri tauladan bagi kita semua. Kemudian saya saat itu juga menimpali bahwasanya kyai kuno dahulu, disamping mampu dalam keprihatinannya, juga kuat dalam tradisi silaturahimnya. Sebagaimana cerita orang tua dahulu bahwa Kyai Thohir dahulu saat berjuang dari jalur politik, agama, pendidikan dan sosial, saat istirahat di rumah Blitar beliau selalu rajin untuk sambung kepada saudara-saudaranya di Udanawu, di Srengat, Wonodadi, Ponorogo dan kepada kyai-kyai. Misalnya kepada Kyai Mahrus Ali Lirboyo Kediri, Kyai Zubaidi Mantenan dan kyai-kyai di Tulungagung, Trenggalek, Nganjuk dan sekitarnya. Kelapangan hatinya untuk selalu menjaga silaturahmi dan prihatin dalam memperjuangkan agama Allah sehingga hasilnya tetap istiqamah sampai sekarang dan semoga sampai kiamah. Aamiin.
Ziarah selanjutnya adalah kepada KH. Ardani di Talun Blitar, saat itu Kyai Ardani menceritakan bagaimana keprihatinan dia saat menjalani pahit getirnya masa-masa khidmah, mengabdi di pondok pesantren. Beliau mempunyai prinsip untuk selalu mengikut kepada thariqah para kyai, dalam bahasa Jawa mati urip nderek kyai. Dia menyadari bahwa apa yang dia dapatkan sekarang memang berkahnya membantu pesantren dan kyai sehingga mencapai derajat seperti sekarang ini. Dia mencontohkan anak-anak saya semua belajar dengan lancar baik pesantren dan juga sarjana, dari sisi ekonomi saya juga mempunyai mobil, dari sisi sosial dia juga dipercaya untuk menjadi Rais Syuriah NU Kabupaten Blitar. Hal ini adalah fadhal dari Allah, lewat pengabdian kita kepada pesantren dan para Kyai. Kalau yang tidak enak kita juga pasti mengalami, contohnya saat kita belum punya apa-apa, masih ngikut mertua, masih mondar-mandir mengabdi mengajar ke pesantren, itu sudah puluhan tahun kita jalani, bahkan mungkin motor atau mobil kendaraan kita sehari-hari itu seandainya tidak disopiri itu mungkin sudah sampai dengan sendirinya, karena terlalu sering melewati jalan yang sama dalam waktu yang cukup lama. Maka para pengurus atau asatidh yang Khidmah kepada para kyai jangan malang mentoleh, harus kukuh, manteb, yakinlah bahwa keberkahan pasti akan diberikan Allah kepada kita semuanya.
Tujuan ziarah selanjutnya adalah ke rumah bapak Kepala Kemenag Kabupaten Blitar, bapak KH. Drs. Bahrudin, M.Pd yang sudah berulang kali hadir dalam acara di lingkungan Pondok Pesantren Terpadu al-Kamal. Maka saat itu kita membalas silaturahmi itu, agar supaya sambung rasa, sambung dulur, sambung organisasi atau sinergi yang lain. Dalam jagongan di ndalemnya, materi diskusi sekitar dinamika perkembangan lembaga-lembaga Pendidikan di lingkungan al-Kamal yang harus didukung terus, disinergikan dari semua unitnya, demi mencapai kesuksesan bersama. Sukses lembaga, sukses santri, dan sukses program pemerintah, baik kementerian Agama atau pemerintah daerah Kabupaten Blitar. Maka diskursus yang mencuat adalah tentang Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk Madrasah Diniyah, Isu tentang bullying siswa, perkembangan kurikulum yang harus selalu inovatif disesuaikan dengan kondisi lembaga masing-masing, penguatan ahlu sunnah wa al jamaah di lingkungan Nahdlatul Ulama, suksesi kepemimpinan pengurus Cabang NU Blitar. Maka diskusi gayeng semacam ini harus selalu kita jalin bersama-sama supaya kemanfaatannya nantinya dapat ditularkan kepada lembaga-lembaga yang kita kelola.
Obyek ziarah selanjutnya adalah kepada KH. Agus Muadhin, yang saat itu waktunya terlambat mendekati maghrib. Kyai Agus saat itu memberikan kiat-kiat dalam mengasuh dan mengelola lembaga pesantren, sesuai dengan kebutuhan sekarang ini. Dalam sebuah lembaga biasanya mengalami fase pertama yang dijalani oleh para pendirinya, dengan keikhlasannya, komitmennya, keistiqamahanya, kerja kerasnya dan jariyah-jariyah lainnya. Maka pada fase ini biasanya para kyai-kyai kita itu rajin tirakat sebagai lambaran keteguhan untuk mencapai cita-cita perjuangan lembanganya. Pada fase ini para kyai tidak ada yang hidup enak selalu dalam keprihatinan, baik dari sisi kecukupan materi, fasilitas infrastruktur, keterbatasan sumberdaya manusia, tentangan dari masyarakat sekitar dan rintangan-rintangan perjuangan lainya. Fase kedua adalah penikmat, sesudah para pejuang pendiri lembaga itu sukses, biasanya generasi selanjutnya adalah yang menikmati. Artinya kebutuhan lembaga dari sisi kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi, misalnya dari sisi sosial kemasyarakatannya, dari sisi murid-muridnya, dari sisi SDM nya, fasilitasnya dan lain-lain, telah digarap oleh fase sebelumnya.
Maka generasi selanjutnya harus bisa belajar, I’tibar untuk memberikan inovasi-inovasi agar lembaga yang dikelola tetap eksis, istiqomah sesuai dengan kebutuhan pendidikan kekinian yang begitu dinamisnya. Fase selanjutnya adalah fase khianat. Ini yang kita harus hati-hati bersama, agar tidak termasuk dalam kelompok ini. Contohnya lembaga yang kita kelola ini adalah Lembaga Pendidikan, non profit, tidak ada dimensi pengembangan bisnisnya sama sekali, maka tidak bisa mengelola lembaga pendidikan dengan dasar pengembangan untung rugi, berbasis materialism. Kalau sampai ini ada dalam diri para pengelola pendidikan nantinya pasti akan timbul suudhan, hasud, iri-irian yang akhirnya akan terjadi benturan antara pengelola satu dengan yang lain. Maka untuk mnyikapi ini semua harus dijalankan prinsip keterbukaan, pertangungjawaban, sebagai perwujudan sikap amanah kita. Apapun yang kita lakukan dalam mengelola lembaga ini harus dapat dipertanggungjawabkan kepada semua unsur yang ada di lembaga tersebut, baik kepada pengurus, asatidh, atau kepada wali santri sekalipun.
Nasehat Kyai Agus dilanjutkan dengan diskusi tetang kepengasuhan pesantren, yang diantaranya dia mengutarakan bahwa, pola pendampingan santri harus diperkuat, karena perkembangan teknologi sudah sedemikian pesatnya, tidak cukup sekrang mendidik santri hanya mengandalkan figur, perwakilan pengurus, para jenderal pesantren harus turun tangan untuk melakukan tarbiyah kepada santri-santri. Karena tingkat emosional santri sekarang tidak selaras dengan intelektualitasnya. Memang dari sisi intelektualitasnya santri sedemikian cepat berkembang, tetapi tidak berimbang dengan ketangguhan kejiwaan meraka, sehingga perilaku siswa atau santri sekarang didominasi oleh informasi yang didapat oleh akal intelektualitasnya, yang tidak terkendali oleh jiwa-jiwa yang tangguh. Maka para pengasuh harus lebih ajeg, istiqamah, para pengurus juga lebih ditata, mendampingi santri selama 24 jam jangan sampai terlena, karena kondisi siswa dan santri kita memang demikian itu. Tetapi senyampang kita terus ikhtiyar, berusaha, berdoa, insyaallah akan diturunkan hidayah kepada santri-santri kita sehingga menjadi pribadi-pribadi yang berakhlaqul karimah, mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan berkah. Aamiiin. Wa Allahu A’lam.
*Penulis adalah Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung dan Khadim PP al-Kamal