Ngaji dan Ngabdi 24: Revitalisasi Kurikulum Ilmu Ke-Islaman Klasik
Di masa sekarang ini diakui atau tidak bahwa salah satu Lembaga Pendidikan Excellent di Nusantara adalah Pondok Pesantren. Di katakan excellent karena mempunyai kelebihan-kelebihan yang tidak dipunyai oleh lembaga-lembaga yang lain. Diantara kelebihan Pondok Pesantren adalah adanya sistem kepengasuhan yang diterapkan di Pondok Pesantren. Kepengasuhan di sini dimaknai sebagai sebuah sistem pendidikan yang menekankan aspek transformasi ilmu pengetahuan oleh seorang kyai yang mumpuni dalam bidang agama Islam, dengan cara bandongan atau penyampaian secara langsung oleh kyai pengasuh, dan dengan sorogan, yakni pembacaan materi yang dilakukan oleh seorang santri dihadapan seorang kyainya, juga metode suri tauladan. Yaitu pengamalan ilmu agama Islam yang dilakukan oleh pengasuh Pesantren yang kemudian ditiru oleh para santrinya. Misalnya praktik ibadahnya kyai, perilakunya dalam bermasyarakat, cara baca kitabnya, kehidupan bersama keluarganya, atau sikap-sikap basyariyah kyainya pun kadangkala juga ditiru oleh para santri-santri Pesantren.
Dari tiga metode sorogan, bandongan dan suri tauladan inilah nampaknya salah satu potensi yang dimiliki oleh Pesantren yang belum tergantikan oleh sistem Pendidikan yang lain, dalam menghasilkan para tamatan-tamatan yang mumpuni dalam bidang ilmu keIslaman sesuai dengan yang menjadi tujuan didirikannya Pesantren.
Sistem kepengasuhan ini harus dijalankan secara istiqamah oleh insan-insan pengelola Pesantren, sebagai sebuah sarana transformasi ilmu pengetahuan yang sudah dijalankan secara turun temurun sejak didirikannya pesantren di Nusantara sampai sekarang ini, dan nampaknya walaupun tantangan dalam dunia Pendidikan Islam begitu besar, tetapi prinsip dasar kepengasuhan pesantren ini, semoga tidak pernah bergeser, dalam situasi dan kondisi apapun. Penelitian awal tentang pesantren, misalnya di sampaikan oleh Zamakhsari Dhofir juga menyampaikan bahwa unsur dasar pesantren adalah adanya kyai, kitab kuning, asrama, masjid, santri. Pesantren tanpa adanya pengasuh Pondok Pesantren (Kyai), nampaknya tidak akan ada pesantren, karena core (inti) dari keilmuan pesantren adalah ilmu agama Islam, dan yang mempunyai kapasitas keilmuannya adalah kyainya. Hanya saja sekarang mungkin kepengasuhan di pesantren dijalankan dengan kolektif, jama’i (bersama dengan beberapa orang), bisa juga dijalankan dengan fardiah, secara individual seorang kyai. Sesuai dengan dinamika perkembangan suatu pesantren tertentu. Pesantren yang masih memegangi kepengasuhan secara individual boleh jadi masih terjadi di masa sekarang, dikarenakan personifikasi seorang kyai, memenuhi kualifikasi sebagai transformer dalam menyampaikan ilmu-ilmu keIslaman dan ilmu-ilmu yang lain yang dibutuhkan sebuah pesantren. Hanya saja di sini penulis sulit untuk memberikan contoh Kyai yang secara mandiri menyampaikan ilmu-ilmu Agama Islam yang di miliki, rata-rata sekarang dijalankan dengan system kepengasuhan kolektif, mengingat jumlah santri yang semakin besar, keilmuan pesantren yang semakin luas, perkembangan kelembagaan pesantren yang begitu dinamis. Tetapi kebanyakan pesantren zaman sekarang sudah banyak yang menerapkan sistem kolektifitas dalam kepengasuhan Pondok Pesantren dikarenakan problematika pengelolaan pesantrennya membutuhkan multi disiplin keilmuan, yang tidak mungkin dijalankan oleh seorang kyai saja. Mungkin saja kepengasuhan dibagi dalam bidang ekonominya, kurikulum agamanya, aspek ruhani spiritualnya, aspek politik pesantrennya, aspek sarana prasarana dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan pesantren tertentu.
Jika dibandingkan dengan awal-awal berdirinya pesantren di Nusantara ini, memang bukan bandingannya, karena dinamika perkembangan pendidikan, sosial budayanya, sosial keagamaannya, ekonominya sudah berbeda. Misalnya dahulu zaman Sunan Ampel berjuang menyebarkan Islam, mendirikan pesantren di pesisir utara Jawa, dapat dilakukan sesuai kebutuhan  saat itu, yang dilaksanakan secara mandiri, karena jumlah penduduk belum begitu banyak, santri jumlahnya juga terbatas, respon masyarakat pun juga tidak sedinamis zaman sekarang. Mungkin yang bisa kita derivikasikan saat ini adalah ilmu-ilmu yang disampaikan, etos dakwahnya, dan keistiqamahannya dalam menyampaikan ilmu-ilmu agama Islam kepada para santri dan masyarakat.
Kelebihan selanjutnya yang ada di pesantren adalah adanya ketersambungan keilmuan Islam dalam pengajaran Ilmu-ilmu di pesantren. Ilmu yang diajarkan di pesantren bersambung mulai dari ilmu-ilmu keislaman klasik, pertengahan sampai zaman sekarang. Artinya keilmuan klasik adalah materi-materi keislaman yang dipraktikkan pada masa zaman Nabi SAW, Sahabat, danTabiin. Dalam hal ini materinya adalah kitab fiqih, Hadits, Tafsir, sejarah yang mencerminkan khazanah keilmuan klasik Islam. Ilmu-ilmu zaman pertengahan adalah ilmu-ilmu zaman keemasan Islam yakni ilmu-ilmu yang dibangun pada zaman imam-imam madhab, para ulama-ulama besar Islam. Contohnya di sini ada Imam Hanafi, Syafii, Maliki, Imam Ahmad, Imam Asyari, al-Baqilani, al-Ghazali, Ibn Daqiq al Id, al-Suyuti dan sebagainya, yang merepresentasikan ulama-ulama besar dengan kualifikasi Mujtahid Mutlaq abad 2-6 H. Dari ulama-ulama inilah karya-karya besar akhirnya bermunculan, pasca mereka, mengikuti pondasi keilmuan yang telah dibangun pada masa keemasan ini. Maka dalam kurikulum pesantren dalam ilmu tafsir kita mengenal Tafsir Jalalayn, dalam ilmu ushul adalah al-Risalah, al-Mustasfa, dalam ilmu aqidah kita mengenal al-Milal wa Nihal, dalam bidang politik kita mengenal Ahkam al-Sulthaniyah, dalam bidang akhlaq dikenal Ihya’ ulum al-Din, al-Hikam, dalam bidang filsafat dikenal Mi’yarul Ilmi, dalam bidang sejarah dikenal Sirah Ibn Hisyam, dalam bidang bahasa kita mengenal Imam Khalil, Ibn Malik, Uqud al-Juman, ilmu arudh, ballaghah, ma’ani, badi’ atau disebut dengan ilmu adab.
 Setelah abad pertengahan nampaknya perkembangan keilmuan juga tidak berhenti, hanya saja, karya-karya lebih menekankan pada aspek komentar (syarah), mensyarahi kitab-kitab karya abad pertengahan. Atau pengembangan-pengembangan dari ilmu sebelumnya. Misalnya kita akan mengenal al-Muwafaqat dari al-Syatibi, teori dari Maqashid al-Syariah dalam pembacaan nash. Pekembangan metode penafsiran al-Qur’an yang begitu pesatnya, teori-teori penelitian Hadits, berbagai pendekatan dalam memahamai agama Islam. Dinamika historisitas keilmuan ini, sampai sekarang masih dipegang teguh oleh pondok pesantren.
Kelebihan dari sisi ketersambungan transmisi ini akhirnya membentuk alumni-alumni pesantren yang mumpuni betul dalam hal pemahaman ilmu agama dan pengembangannya di tengah-tengah masyarakatnya. Karena dengan ketersambungan keilmuan ini akhirnya seorang akan memahami betul bahwa ilmu-ilmu agama yang dia punyai sebenarnya mempunyai tiga aspek utama, yaitu sisi ilmu pengetahuannya, sisi pengamalannya, dan sisi pengajarannya atau disebut dengan nasyr al-ilmi. Kita bisa melihat sekarang para pejuang-pejuang agama Islam di tengah masyarakat kita sejak zaman sebelum kemerdekaan atau zaman kewalian dahulu sampai sekarang masih dijalankan oleh saudara-saudara alumni-alumni pesantren yang memang memiliki tiga sisi pokok keilmuan di atas. Dan nampaknya masyarakat muslim Nusantara pun juga bersikap baik, permissive, menerima dengan model dakwah, penyampaian ajaran Islam yang disampaikan oleh teman-teman alumni Pondok Pesantren.
Kelebihan lain dari pesantren untuk saat ini adalah mempunyai jaringan (network) yang kuat, mulai tingkat desa sampai pusat kekuasaan. Artinya jaringan relasi social yang dibangun pesantren saat ini, seandainya dipetakan mungkin ada dua macam, yaitu jaringan social politik dan jaringan sosial budaya. Jaringan sosial politik terbangun melalui alumni-alumni pesantren yang mengembangkan sayapnya kepada jalur-jalur politik yang tersedia di negeri ini. Misalnya alumni pesantren menjadi pejabat di tingkat desa sampai tingkat pemerintahan pusat atau mereka berafilisasi dengan partai politik yang ada. Jalur social budaya dibangun melalui jaringan organisasi kemasyarakatan atau ikatan alumni yang sudah tersebar di seluruh Nusantara. Dengan kuatnya jaringan pesantren ini, akhirnya pondok pesantren dinilai sebagai lembaga yang seksi, yang menarik perhatian dari berbagai kalangan di negeri ini. Siapapun orangnya apakah itu pengusaha, politisi, pejabat pemerintah, rakyat biasa, atau elemen yang lain semua berharap dapat mendekat kepada pesantren dalam rangka sosialisasi program atau menyemaikan keberkahan kehidupannya dengan pondok pesantren.
Dalam konteks Pondok Pesantren Terpadu al-Kamal, sejak tahun 2004 sampai sekarang (sesuai dengan pengamatan penulis), telah mengalami dinamika potensi kelebihan-kelebihan di atas. Artinya dari sisi kepengasuhan, dari sisi ketersambungan sanad kurikulum, dan jaringan yang telah terbangun. Hanya saja nampaknya ada catatan yang harus dikuatkan kembali, yakni penguatan kembali kepada kurikulum inti pondok pesantren sesuai dengan cita-cita para pendirinya, yakni pengajaran keilmuan klasik dan kekinian secara Terpadu. Aspek keterpaduan disini sebenarnya kalau dilihat dari kacamata kurikulum diatas masih bermuara kepada revitalisasi kitab-kitab kuning, baik kitab kuning yang didalamnya bermuatan ilmu adab atau bahasa atau kitab kuning yang fokus kepada ilmu-ilmu keislaman secara umum, yang meliputi fiqih, ushul fiqih, akhlaq, tashawuf, sejarah, dan sebagainya.
Lebih penting lagi aktualisasi kurikulum Islam klasik dan abad pertengahan ini dapat membentuk kepribadian yang mencerminkan kepada soko guru agama Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Terutama untuk santri-santri yang kelasnya pada tahapan remaja atau pemuda. Kategori muda di sini dalam tingkatan kelas sekolah formal adalah mereka yang sedang mengenyam pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah sampai di Perguruan tinggi. Kami sebagai pengelola pesantren dengan tantangan pendidikan kekinian, begitu pentingnya untuk revitalisasi atau penguatan kembali kajian kitab kuning dengan menekankan kepada aspek tiga hal diatas.
Goalnya, tujuannya adalah seluruh santri al-Kamal di berbagai levelnya betul-betul mempunyai kepribadian sebagai seorang mukmin, muslim, dan muhsin. Aktualisasinya kurikulum madrasah diniyah, mahad aly, lembaga bahasa, pengajian-pengajian kitab kuning harus berbasis  materi keimanan, keislaman, dan ihsan. Sehingga santri al-Kamal yang muqim di pesantren harus pernah mengenyam materi kitab kuning yang isinya adalah tiga hal tersebut. Mungkin mereka ada yang menempuhnya mulai tiga tahun, enam tahun, 10 tahun atau mungkin sampai kepada menjadi asatidh sekalipun, harus pernah ngaji kitab kuning tiga materi dasar keislaman tersebut. Dengan begitu para santri nanti memang betul-betul terbentuk kepribadian sebagai orang yang beriman, berwawasan keilmuan keislaman yang kuat, dan mempunyai kepribadian yang baik (ihsan) sesuai dengan misi dakwah Rasulullah SAW. “Innama Buitstu Li Utammima Makarim al-akhlaq”, aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq.
Misi revitalisasi keilmuan keislaman di Pesantren masa sekarang harus selalu digaungkan, dengan harapan adanya pelaksanaan secara continue, istiqamah, dan memberikan atsar kepada insan Pondok Pesantren mulai dari santri, wali santri, para guru, masyarakat Pesantren yang terlibat dan mendapatkan keberkahan dari Pesantren. Apalagi sekarang problematika sekarang adalah masa pandemi atau wabah, problem teknologi, problem ekonomi selalu membayangi dunia Pendidikan Islam, termasuk di dalamnya adalah Pesantren. Kalau tidak segera direspon, maka akan ada implikasi adanya kegersangan-kegersangan dalam diri insan pesantren. Misalnya mereka alumni sekolah formal, juga mengaji di Pesantren, setelah beberapa tahun di pesantren tidak menunjukkan sebuah kepribadian seorang santri. Ini yang harus kita hindari bersama, kita jaga supaya santri-santri kita tetap konsisten dengan materi-materi pendidikan pesantrennya, dapat dijalani dengan lancar, juga dapat menyampaikan misi-misi pesantren menyampaikan risalah Islamiyah di tengah-tengah masyarakatnya masing-masing. Amiiin.
Lagi-lagi dalam penguatan keilmuan Islam klasik ini, di Pondok Pesantren al-Kamal Blitar, ada beberapa tantangan yang dihadapi, di antaranya komitmen wali dan santri. Maksudnya santri Pesantren di al-Kamal sebagian mondok dengan “niatan sekolah formal sambil Mondok”. Dari niatan ini sudah menunjukkan lemahnya komitmen kepesantrenan mereka, akhirnya pengajian-pengajian kitab kuning yang disampaikan di pesantren, dianggap tidak penting, dinomorduakan, karena yang penting bagi mereka adalah menyelesaikan sekolah formal, nilainya baik, dan mendapatkan ijazah. Problem niat ini sebenarnya dapat dirubah dengan cara memasukkan kurikulum madrasah diniyah ke dalam kurikulum sekolah formal. Hanya saja kelemahannya nanti kalau pengelolaanya tidak seimbang antara kurikulum diniyah dan kurikulum sekolah, juga akan tetap mengalami ketidakberpihakan dari sisi pengelola juga dari santri sendiri. Yang tepat mungkin dengan mengelola madrasah kita dengan baik, santrinya pun harus benar-benar diseleksi tentang keberpihakannya kepada pesantren, baru nanti dapat kita lakukan tekanan-tekanan materi-materi kitab kuning yang menjadi materi wajib pesantren.
Tantangan lagi adalah sumber daya manusia kita. Maksud sumber daya disini adalah para pengajar yang merupakan kepanjangan tangan pengasuh belum tentu dapat mengikuti dinamika perkembangan jumlah santri yang begitu pesatnya. Misalnya di Pesantren al-Kamal Blitar, jumlah santri yang mukim sekitar 1100 orang, yang terbagi dalam 32 kelas Madrasah Diniyah, 4 kelas Ma’had Aly, 1 kelas Madrasah Program Keagamaan. Dari jumlah kelas ini, jumlah asatidh yang relatif dapat mumpuni dalam kajian kitab kuning mungkin hanya sekitar 20-an, sedangkan asatidh yang lain yang jumlahnya sekitar 50 orang masih dalam tahap kaderisasi. Hal ini membutuhkan strategi pengelolaan pengajian yang tepat, agar kelemahan dari sisi sumber daya manusia ini tidak sampai mengganggu kualitas santri dalam menempuh pengajian di al-Kamal. Maka di sini kita mengadakan pengajian-pengajian tambahan di luar jam Madrasah Diniyah. Misalnya pengajian Pagi, Pengajian Sore, Takhasus Nahwu, Pengajian di Lembaga Bahasa, dan majelis musyawarah. Semua ini kita adakan sebagai langkah antisipasi dan strategi menjaga stabilitas pengajian kitab kuning di Pondok Pesantren.
Dengan program-program tambahan ini akhirnya juga berimplikasi kepada pembebanan dalam masalah biaya operasional pesantren. Ketika Madrasah Diniyah dijalankan seperti biasanya, biaya operasional sekitar Rp. 50 juta-an, minus biaya pembangunan dan pengembangan, tetapi seiring dengan program-program penguatan kurikulum pesantren ini, biaya operasional pesantren membengkak sampai kepada 50 % atau mencapai sekitar 80 juta perbulan. Sedangkan pemasukan pesantren selama ini hanya mengandalkan dari iuran santri tiap semester yang kalau ditotal hanya cukup untuk biaya operasional saja, tanpa ada program pengembangan pembangunan pesantren. Tetapi dengan izin Allah selama 11 tahun terakhir ini Pondok Pesantren Terpadu al-Kamal dapat menjalankan program-program pengajian kitab kuning, program penguatan kurikulum dan pengembangan dalam pembangunan, tanpa harus merepotkan wali santri dan masyarakat. Lagi-lagi tampaknya inilah Rahmat Allah yang turun di Pesantren ini, ketika dikelola berbasis keikhlasan, akan memunculkan banyak rahmat dari Allah SWT. Baik dari sisi kaderisasi pengurus, perkembangan jumlah santri, rahmat dalam bidang pembiayaan dan masih banyak lagi nikmat Allah yang diberikan kepada Pondok Pesantren. “wa in ta’uddu ni’matallahi la tuhshuha”, jika kamu menghitung nikmat Allah, maka tidak akan dapat menghitungnya.
Tantangan lain dari al-Kamal Blitar adalah problematika media belajar. Salah satu media belajar pengajian adalah kitab kuning yang menjadi pegangan para santri. Untuk pesantren-pesantren besar, mungkin peredaran kitab kuning tidak menjadi masalah, karena di sekitar Pesantren telah tumbuh subur toko buku dan kitab yang dapat diakses oleh para santri ketika mau membeli kitab yang dibutuhkan. Tetapi di al-Kamal Blitar jaringan itu belum terbentuk sehingga sewaktu-waktu pengasuh atau asatidh mau memberikan materi pengajian baru, harus mempertimbangkan dahulu, kira-kira santri nanti kesulitan untuk mendapatkannya atau tidak, atau kalaupun mereka dapat memperoleh kitab yang dibutuhkan dengan bantuan dikoordinir oleh para pengurus, dari sisi administrasi pembayarannya dapat dipenuhi atau tidak. Hal ini yang selama ini menjadi kendala tambahan dalam hal penguatan pengajian-pengajian di al-Kamal Blitar. Mungkin solusinya adalah pengajian-pengajian tambahan ini diprogramkan satu tahun sekalian, yang kemudian administrasinya dicantumkan di dalam daftar ulang santri tidap semesternya. Inilah yang mungkin dapat dicoba oleh para khadim di Pesantren al-kamal Blitar. Pernah suatu waktu, seorang ustadz membacakan kitab baru di Pesantren dengan pengadaannya dikoordinir oleh pengurus pondok, tetapi ternyata para santri waktu pembayarannya tidak tertib, dan hanya beberapa saja yang membayar, akhirnya pak ustadz ini yang harus nomboki pembayaran kitab baru yang menjadi kewajiban sebagian santri. Contoh-contoh seperti inilah yang kadangkala membuat kita sebagai pembaca kitab enggan untuk memberikan pengajian-pengajian yang inovatif kepada para santri, dikarenakan dari santri sendiri kesadaran untuk menempuh pengajian secara serius juga kurang maksimal.
Semoga perbaikan-perbaikan kurikulum, ditopang dengan pembenahan sistem administrasi di pesantren, dari tahun ke tahun kita dapat mewujudkan cita-cita para wali santri untuk membekali putra-putrinya dengan ilmu agama Islam yang mumpuni dapat terwujud, melalui Pondok Pesantren Terpadu al-Kamal. Senyampang ada kebersamaan antara para pengasuh, wali santri, santri dan masyarakat secara umum, insyaalloh perjuangan kita selalu dinaungi rahmat dari Allah SWT. Aamiin.
*Penulis merupakan pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal