Ngaji dan Ngabdi 35: Serial Pengajian Tafsir Jalalayn
Pada malam Sabtu ini, kita mulai lagi ngaji Tafsir Jalalayn karya al-Mahalli dan al-Suyuthi, untuk pertemuan kedua setelah masa pandemi ini. Alhamdulillah, walaupun jarang ngaji antusias jamaah tidak kendor, malah lebih semangat, karena lama tidak bertemu merasakan nikmatnya thalab al-ilmi bagi para jamaah Tafsir Jalalayn. Ini kelihatan dari raut wajah mereka yang ceria, walaupun gerimis tetap hadir, sekitar 85-an orang. Hal ini menambah bombongnya kita sebagai pengampu pengajian untuk introspeksi diri dan memberikan perimbangan semangat mengaji kepada para jamaah. Malam Sabtu ini kita sudah sampai kepada surat al-Mursalat ayat 16-28, yang berisi kelanjutan tentang penjelasan bukti kebesaran Allah terhadap orang-orang kafir tentang kiamat. Untuk malam ini tema kajian adalah sejarah kehancuran umat-umat terdahulu, proses kejadian manusia dan penciptaan bumi sebagai tempat menetap makhluq Allah baik yang mati maupun yang hidup. Untuk ayat 16-19, penjelasannya sebagai berikut :

أَلَمْ نُهْلِكِ الْأَوَّلِينَ (16) ثُمَّ نُتْبِعُهُمُ الْآخِرِينَ (17) كَذَلِكَ نَفْعَلُ بِالْمُجْرِمِينَ (18) وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ (19)

(Bukankah kami telah mebinasakan orang-orang terdahulu? Kemudian kami akan iringkan mereka yang datang kemudian, demikianlah kami berbuat terhadap para pendurhaka. Kecelakaan pada hari itu bagi para pengingkar). 
ألَمْ نُهْلِكِ الْأَوَّلِينَ : bukankah kami telah membinasakan orang-orang terdahulu? Dalam Tafsir Jalalayn diberi penjelasan bahwa kehancuran orang-orang terdahulu disebabkan oleh kedustakaan mereka. Oleh Shawi al-Maliki, al-awwalin ini dipahami dengan umat-umat terdahulu mulai Nabi Adam sampai Nabi Muhammad Saw, seperti kaum Nuh, Aad, dan Tsamud.
ثُمَّ نُتْبِعُهُمُ الْآخِرِينَ : kemudian kami akan iringkan mereka yang datang kemudian (al-akhirin). Maksud dari yang datang kemudian ini menurut Jalalayn adalah orang-orang kafir umat Muhammad Saw.
كَذَلِكَ نَفْعَلُ بِالْمُجْرِمِينَ: demikianlah kami berbuat terhadap para pendurhaka (mujrimin). Yakni semua orang yang berbuat dosa masa-masa yang akan datang, juga akan mendapatkan kehancuran.
وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ: Kecelakaan pada hari itu bagi para pengingkar. Untuk kedua kalinya ayat ini terulang dalam Surat al-Mursalat, yang menurut Jalalayn pengulangan ini sebagai penguat terhadap penjelasan sebelumnya.
Dalam ayat sebelumnya, Allah memberikan penjelasan tentang kebenaran hari kiamat, sebagai bukti kebenaran Allah Saw. Ini terbukti dengan penjelasan terhapusnya bintang-bintang, terbelahnya langit, hancurnya gunung-gunung, sudah ditetapkannya waktu Rasul untuk berdakwah. Maka kecelakaan akan menimpa orang-orang yang mendustakan ajaran Allah dan Rasulnya tentang hari kiamat ini. Tentunya dengan ayat-ayat ini manusia dapat mengambil kesimpulan bahwa Allah yang maha kuasa, telah menciptakan alam raya itu, juga menghancurkanya, dapat membuktikan adanya ajaran keimanan.
Penjelasan tentang kebenaran kuasa Allah adalah kehancuran umat-umat terdahulu yang mengingkari Allah dan Rasulnya serta ajaran-ajarannya. Generasi-generasi terdahulu yang hancur itu adalah kaum Nuh, kaum Aad, kaum Tsamud, hingga kaum musyrik Mekkah. Ini sudah menjadi bukti bahwa orang yang durhaka pasti akan mendapatkan kehancuran sebagaimana umat-umat terdahulu yang tidak mau beriman kepada Allah dan Rasulnya. Paparan kesejarahan dari al-Qur’an mengisyarakatkan bahwa umat Muhammad ini supaya belajar dari peristiwa umat terdahulu, yang beringkar akhirnya mendapatkan kehancuran, sebagaimana orang-orang yang beriman mendapatkan pahala dari Allah Saw.
Selain itu dapat diambil pemahaman bahwa siksa yang diterima oleh orang-orang kafir, ini terjadi di dunia. Artinya siksa dan kehancuran umat-umat terdahulu yang tidak mau beriman, bahkan mengingkarinya, terjadi di dunia dan akhirat, tidak hanya di akhirat saja, melainkan ketika di dunia sekalipun mereka mendapatkan siksa dari apa yang mereka ingkari.  Maka sudah seyogjanya bagi umat Muhammad belajar dari pengalaman umat terdahulu, bahwa kehancuran pasti akan terjadi bagi siapapun yang berdusta, ketika di dunia juga di akhirat. Pelajaran ini penting sebagai panduan bagi kita untuk menjalani kehidupan di masa-masa yang akan datang, berdasarkan keyakinan adanya balasan dari Allah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan adanya keyakinan atau keimanan terhadap balasan Allah, manusia akan mempunyai sikap mawas diri terhadap semua yang telah dilakukan, sedang dilakukan atau akan dilakukan. Inilah kelebihan umat Muhammad Saw, yang selalu berfikir secara visioner dalam kehidupannya, terutama untuk kehidupan yang akan datang.
Selain mawas diri dan visioner, sikap seorang muslim dalam mengamalkan ayat di atas mempunyai sisi sifat takut (al-khauf) terhadap siksa dan harapan-harapan kebahagiaan (raja’) kepada rahmat Allah. Sifat takut berimplikasi kepada adanya sikap kepatuhan atau ketaatan terhadap perintah Allah dan Rasul, sedangkan sifat raja’ berakibat kepada sikap optimisme dalam menatap masa depan. Dengan kepatuhan dalam menjalankan perintah berarti implikasinya adalah kedekatan (taqarrub), dan dikabulkannya doa-doa seorang hamba oleh Allah Swt. Demikian juga diringi limpahan rahmat dan keberkahan oleh Allah, pada akhirnya di dunia dan akhirat kelak seorang hamba mendapatkan kedekatan kepada Allah dan kebahagiaan yang hakiki di sisiNya. Aamiin.
*Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Khadim PP al-Kamal dan PCNU Blitar