Ngaji dan Ngabdi 53: Bersama Orang-Orang Alim di Universitas
Tulisan ini diurai ketika mengikuti rapat senat terbuka, pada 16 Februari 2022. Renungan, ilustrasi, hikmah, sebagai buah pengalaman mendapatkan amanah untuk menjadi anggota senat akademik Universitas sejak 2006, yang sebelumnya Sekolah Tinggi, terus Institut, sekarang  bertransformasi menjadi Universitas. Yang membuat senang menjadi anggota senat adalah berkumpul dengan orang alim, selalu banyak humor, penuh ilmu dan pengalaman. Lembaga senat adalah sebuah organ Universitas non struktural dalam Perguruan Tinggi yang berfungsi sebagai pemberi pertimbangan kepada pimpinan Universitas dalam mengambil kebijakan-kebijakan fundamental berhubungan dengan pengembangan kelembagaan kampus. Organ senat ini berisi para guru besar, pimpinan Universitas, Pimpinan Fakultas atau wakil dosen.  Sebagai organ kampus pemberi pertimbangan sudah banyak yang dilakukan oleh senat Universitas, misalnya pertimbangan tentang mutasi pejabat, kenaikan jabatan, pengusulan guru besar, pengajuan guru besar, pengukuhan guru besar, pembukaan program studi baru, transformasi kelembagaan, penyusunan program-program kampus dalam rapat kerja dan kebijakan-kebijakan strategis lainnya. Dalam kegiatannya, senat Universitas ada yang sifatnya rutinitas seperti wisuda sarjana, rapat kerja juga yang sifatnya insidental sesuai dinamika dalam pengembangan Universitas.
Selama mengikuti kegiatan senat, saya mencatat ada beberapa hal penting yang penting untuk diceritakan, sebagai bahan renungan dan perspektif terhadap senat Universitas. Di antaranya adalah:
Pertama, Musyawarah dan mufakat. Dalam setiap rapat membahas persoalan-persoalan kampus kita senat Institut lebih mengedepankan mufakat dari pada cara yang lain, seperti voting atau pengambilan suara terbanyak. Ini membuktikan tingkat rasionalitas anggota senat yang mumpuni dalam hal bermusyawarah. Mereka mampu mensinergikan ide, gagasan, olah pikir dalam mengambil keputusan. Ini yang patut dicontoh oleh insan di negeri kita, bahwa mengambil keputusan tidak harus berbasis dominasi orang perorang atau kelompok tetapi senyampang suatu masalah dapat diputuskan dengan bijak, berprinsip kepada kode etik bermusyawarah, maka isnyaallah keputusan yang diambil bersama akan dirasa mendekati kebenaran, penuh dengan hikmah dan berkah, dan tentunya sebagai bentuk ibadah kepada Allah, sebagai wasilah menebar keberkahan di Universitas. Ini bisa dibuktikan sekarang, nampaknya keberkahan telah dilimpahkan kepada Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Yang bisa dirasakan oleh semua civitas akademika UIN Satu yang dahulu ketika saya masuk civitas akademika, sumber daya manusianya mungkin sekitar 70 an orang dari berbagai elemennya. Sekarang civitas akademika yang berisi tenaga pendidik dan kependidikan mungkin sudah mencapai sekitar 700 an orang. Belum lagi dilihat dari sisi infrastruktur, jaringan lembaga, jumlah mahasiswa, legitimasi sosial, anggaran tiap tahunnya, betapa keberkahan telah dilimpahkan Allah kepada UIN Satu ini.
Kedua, Berisi orang alim. Kualifikasi menjadi anggota senat adalah para pimpinan atau guru besar atau dosen. Artinya mereka adalah orang-orang alim dalam bahasa agama. Orang yang mempunyai kualifikasi akademik mumpuni di bidangnya. Kuntowijoyo menyebut ilmuwan atau cendekiawan. Dengan kualifikasi akademik yang mapan, maka berkumpulnya pun sudah membawa pencerahan tersendiri, terhadap lingkungannya, termasuk kepada universitas tempat mereka khidmah atau mengabdi. Saya jadi ingat sebuah dawuh,

جالس العلماء فان مجالسة العلماء ينبت الحكمة وينور القلب

(Duduklah Bersama orang-orang alim, karena Bersama mereka dapat menimbulkan hikmah dan memberikan pencerahan hati). Maka saya termasuk orang yang beruntung dalam berkumpul, bercengkerama, guyonan, paseduluran dengan para cendekiawan UIN Satu. Harapannya berkumpul dengan mereka dapat memberikan suri tauladan, I’tibar pelajaran ilmu yang begitu banyak, dan tentunya kemanfaatan ilmu yang didapat untuk hari esok merupakan ultimate goal bagi saya.
Ketiga, Humanis-humoris. Para anggota senat setiap bertemu, berkumpul, bermusyawarah selalu menampulkan performance yang humoris, kejenakaan, kemanusiaan, paseduluran. Ini sebagai modal yang besar bagi setiap insan, dalam memupuk rasa persaudaraan, sehingga tumbuh kebersamaan, persaudaraan antar sesama anggota. Walaupun mereka berasal dari ilmu yang berbeda, wilayah sosiologis yang berbeda, tetapi ketika sudah bertemu sisi-sisi humanisme yang mereka tampilkan. Malah kita menangkap setiap anggota senat yang mengikuti rapat selalu berusaha memilih diksi kata untuk disampaikan dalam forum, yang dapat diterima oleh para anggota, atau bisa jadi disisipi joke-joke segar sebagai bagian kehidupan pasedeluran orang jawa. Tidak ada yang merasa pandai sendiri, besar sendiri, tinggi sendiri, kaya sendiri, semua nampaknya sudah mapan dalam karakteristik kemanusiaannya, sehingga dapat bertindak sebagai manusia, yang menghargai dan menghormati manusia yang lain, mencapai kemuliaan sebagai manusia bersama-sama. Dalam dawuh teks sebagaimana Allah menjelaskan

قل بفضل الله ورحمته فبذالك فليفرحوا

(Katakanlah dikarenakan anugerah Allah dan rahmatnya, maka sebab itu bergembiralah /bersyukurlah). Maka sebenarnya humorisme yang ditampilkan oleh pra akademisi kita adalah ekspresi keceriaan, kesenangan, sebagai wujud syukur atas segala rahmat dan anugerah Allah. Yang endingnya juga akan mendapatkan rahmat dan anugerah Allah akan dilimpahkan kepada sekitar civitas kita. Maka sisi-sisi humor dan humanis kerap kali ditampilkan oleh senior kita, selain memang untuk menebar rahmat, juga sebagai refreshing baginya dalam menyelesaikan problematika mengelola lembaga Universitas yang begitu besarnya. Sungguh rugi bagi kita hidup di dunia ini, sendainya tidak pernah tersenyum, ceria, senang dan bahagia dibalik rahmat Allah yang selalu dilimpahkan kepada kita semua.
Keempat, Silatul-arham. Teman-teman anggota senat juga menjalin hubungan yang begitu harmonis, sebagai hamba Allah, juga sebagai warga masyarakat kampus. Nampaknya mereka mempunyai hubungan yang tidak hanya dimensi lahiriyah sebagai manusia, tetapi juga ruhaniyah (spiritualitas) sebagai hamba Allah. Ekspresi ini terlihat dalam interaksi sehari-hari, kalau berkata-kata, bertutur, berperilaku, selalu mempertimbangakan aspek kemanusiaan ”nanti gelakne opo ora”, engko nglarani opo ora”, “engko dosa opo ora”, “mesakne”, “ora tego lorone ora tego patine” dan lain sebagainya. Idiom-idiom ini adalah khas orang jawa yang memang selalu menabur benih paseduluran kepada saudaranya secara lahiriyah dan bathiniyah. Maka di kampus kita sudah mentradisi, nyambangi teman sakit, membantu yang kesulitan, gotong royong, guyub rukun, menghibur bagi yang kesusahan dan lain-lain. Inilah bentuk ideal ukhuwah yang ada di civitas kita yang patut kita pertahankan, apalagi di kampus juga ada ritual tahlil, istighasah, ziyarah kubur para pendahulu, doa bersama dan lain-lain, sebagai wujud menyambung transmisi kesejarahan lembaga sejak didirikan oleh para pejuang muslim di Tulungagung sampai sekarang tetap kokoh berkat hubungan yang dibangun tidak hanya hanya lahiriyah tetapi juga ruhaniyah.
Kelima, Equality before law. Prinsip kesetaraan/sama dihadapan aturan. Dalam bahasa arabnya al-musawah bayna ayd al-hukm. Para musyawirin di forum senat Institut selalu menyikapi sama, berhadapan dengan aturan yang berlaku. Baik menyangkut aturan akademik pengajaran, pengelolaan keuangan, penelitian, pengabdian, semuanya dikembalikan kepada aturan yang berlaku untuk semua warga kampus. Di situ ada mahasiswa, dosen atau pejabat pengelolanya. Ini terbukti dalam hal penerapan aturan semua mempunyai beban dan kewajiban yang sama. Misalnya dalam sebuah kasus tertentu, semua anggota senat selalu berpedoman kepada aturan yang memang sudah menjadi pakem lembaga negara. Kita sebagai pengabdinya tinggal melaksanakan, menafsiri sesuai dengan konteks situasi dan kondisi, senyampang tidak berbenturan dengan aturan. Baik aturan itu berbentuk undang-undang, keputusan Menteri, keputusan dirjen atau edaran Rektor Universitas. Semuanya dijadikan konsideran dalam mengambil kebijakan di level senat universitas. Kalaupun boleh menafsirkan tidak juga tidak melanggar, biasanya teman-temanpun memakai kaidah ”idha dlaqat al-umur Ittasa’at”, apabila terjadi kesempitan dalam sebuah masalah maka akan memunculkan tafsir yang memberi kelapangan dan kelonggaran, demi terlaksananya sebuah program. Atau untuk meminimalisir perdebatan biasanya juga memakai kaidah “hukm al-hakim yulzim wa yarfa’u al-khilaf“, keputusan pemerintah, aturan yang berlaku, yurisprudensi adalah ketetapan yang harus diterima, yang dapat menghilangkan perbedaan pendapat. Dan inilah kewajiban sebagai pengabdi negara, yang harus selalu patuh kepada aturan-aturan yang berlaku, walaupun kadang idealisme kita tidak menerima, tetapi demi patuh kepada aturan dan berjalannya sebuah program Universitas, ego idealisme kita patut ditundukkan menjadi kondisi realitas.
Keenam, Mura’iyah li mashalih al-ibad. Para anggota senat adalah praktisi pendidikan yang memang sudah terbiasa, untuk kerja-kerja sosial, sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Sebagai makhluk sosial (zoon politicon) yang mengabdi untuk kepentingan sosial. Maka apa yang dikerjakan semuanya berbasic sosiologis, kepentingan umat kampus, dalam bahasa lain adalah untuk memproteksi kemaslahatan umat atau Dengan kerja-kerja sosial ini mereka semuanya adalah tokoh di masyarakatnya masing-masing sesuai dengan ilmunya. Mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, ilmuwan, aktivis pemua, aktivis ormas, pimpinan pergerakan dan sebagainya. Dengan latar belakng ini dimensi kerja mereka lebih kepada memperjuangkan kemaslahatan kampus, welfare civitas akademika, kelancaran proses transformasi ilmu pengetahuan. Sesuai dawuh Nabi, “sayyid al-qawmi khadimuhum”, pemimpin kaum adalah orang yang berjasa bagi masyarakatnya. Artinya para anggota senat ini adalah pemimpin-pemimpin kita yang telah berjasa bagi masyarakat kampus, maka harapanya semua diberi lindungan oleh Allah, sehat wal afiyat, keberkahan dalam hidup dan nanti civitas akademika UIN Satu semua berkumpul dalam satu status orang yang beruntung di akhirat kelak. Sesuai dawuh Allah “wa alhaqna bihim dhurriyatahum”. Aamiin. Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.
*Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Khadim PP al-Kamal Blitar dan Alumni PP Lirboyo