Selamat Hari Santri Nasional
Pada awal munculnya istilah santri begitu dinamisnya, seiring dengan dinamika pengamalan agama Islam di Indonesia. Merujuk dari penyiaran agama Islam di Nusantara, santri adalah mereka-mereka yang tinggal di Pondok Pesantren, untuk memperdalam agama Islam, yang kemudian nantinya dapat mengajarkan Islam di lingkungannya masing-masing.  Landasan teologis tentang tugas dan pokok santri yang biasanya dipakai adalah dawuh Allah,

وما كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

(Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama (tafaquh fi al-din) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya). Dari ayat ini ada hal penting yang menjadi atribut santri, yaitu santri adalah mereka yang mendalami agama (tafaquh fi al-din), juga santri adalah yang mengajarkan agama kepada masyarakatnya (liyundhiru qawmahum). Dua hal pokok yang ada dalam diri santri itu kemudian dilembagakan dalam sebuh institusi yang namanya pondok pesantren, madrasah, atau perguruan tinggi keagamaan Islam sebagai tempat santri belajar ilmu-ilmu agama. Sehingga kalau dicermati dalam proses pengajaran Islam masa lalu, yang dilakukan oleh para wali (Sunan) di Nusantara, menjadi embrio latar belakang munculnya istilah santri, yang kemudian menempati pondokan-pondokan di sekitar dalem sang guru atau sekitar masjid, yang pada akhirnya disebut pondok pesantren. Maka dalam momentum hari santri tahun ini nampaknya yang terpenting adalah revitalisasi terhadap makna santri itu kembali dalam kehidupan berbangsa di Indonesia ini.
Kajian ilmiah tentang santri telah banyak dilakukan oleh para akademisi atau peneliti dari berbagai dunia muslim maupun non muslim. Akhirnya terminologi santri sekarang menjadi akrab di berbagai kalangan mulai lingkungan akademik kampus, pondok pesantren, struktur pemerintahan, masyarakat awam sudah sering menyebut istilah santri. Dahulu dekade awal abad 20-an, sosiolog Cliford Gert menyebut kata santri diperuntukkan bagi mereka-mereka yang taat beribadah, taat terhadap ajaran agamanya. Di perbandingkan dengan istilah abangan, mereka yang dalam pemahaman keagamaannya masih terbatas, yang pada akhirnya belum mengamalkan ajaran agama dengan serius. Juga lahir istilah priyayi bagi mereka yang mempunyai kedudukan sosial mapan di tengah-tengah masyarakatnya. Misalnya keluarga kerajaan, pejabat, atau orang-orang yang terpandang menurut masyarakat kala itu. Terminologi ini menggelinding seiring dengan dinamika perkembangan keagamaan di Nusantara.
Penelitian Gert itu kemudian memberikan respon terhadap para pemikir muslim dan pemerhati pesantren dan santri. Abdurahman Wahid, 1974. menulis tentang pembaruan pesantren, Saridjo dan kawan-kawan 1977 menulis tentang sejarah pesantren di Indonesia, Martin Van Bruneisen juga menulis tentang pesantren dan kitab kuning,  Zamahsyari Dhafir, pada tahun 1995an meneliti tentang tradisi pesantren, yang di dalamnya merumuskan unsur-unsur pesantren, peran-peran santri dan pesantren dalam kehidupan sosial mereka. Nurcholis Madjid menulis tentang bilik-bilik pesantren, Hanun Asrahah menulis tentang sejarah Pendidikan Islam, Azumardi Azra, juga menulis tentang jaringan ulama, pesantren, santri Nusantara. Artinya penelitian dan kajian terhadap pesantren, juga santri menjadi sebuah diskursus yang unik dan seksi dilakukan oleh para pemerhati pendidikan Islam.
Mengingat santri dengan dinamikanya menjadi peran vital dalam keberlanjutan dakwah Islam, baik dalam hal pengajaran ilmu agama maupun dalam peran-peran kehidupan yang lain. Tetapi bagaimana pun kondisinya suatu hal pokok dalam pemahaman agama dan pengajaranya dalam kehidupan masyarakat jangan sampai berkurang frekuensinya, di saat peran-peran bidang yang lain selalu dihadapinya. Misalnya peran pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan politik, pemberdayaan budaya, pemberdayaan pendidikan menuntut santri ambil bagian di dalamnya, tetapi sisi tafaquh fi al-din dan pengajaran agama tetap harus dipegang teguh oleh semua santri. Karena kalau diibaratkan dalam kacamata hukum Islam tafaquh fi al-din dan pengajaran agama itu merupakan tingkatan dzaruriyat, sedangkan peran di luar agama adalah tingkatan hajiyat. Dalam diskusi hukum Islam, dzaruriyat adalah suatu kebutuhan yang wajib terpenuhi, seandainya tidak maka manusia akan mengalami kerusakan. Misalnya tentang keimanan, pemahaman tentang aturan tata cara ibadah melaksanakan rukun Islam, ilmu-ilmu yang mengajarkan tentang kebaikan dan keburukan, atau dalam bahasa ilmu pengetahuan adalah ushul al-din. Kalau pemahaman tentang ilmu-ilmu itu tidak dapat dipenuhi oleh manusia maka dia akan menjadi tidak beriman, tidak dapat menjalankan ibadah dengan baik, tidak dapat menjadi seorang muslim taat. Sedangkan tingkatan hajiyat adalah suatu yang harus terpenuhi, seandainya tidak dapat mengetahui maka manusia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Misalnya ilmu tentang berpolitik, ilmu tentang ekonomi, ilmu tentang kemasyarakatan sosiologi dan sebagainya.
Dalam konteks kelembagaan pesantren dan perguruan Tinggi Islam di Indonesia dalam momentum hari santri ini, seyogjanya untuk menguatkan kembali sisi-sisi tafaqu fi al-din dan pengajaran ilmu agama yang menjadi kompetensi dari kedua institusi ini. Memang kompleksitas kehidupan berbangsa dan bernegara, menuntut peran semua elemen bangsa untuk berpartisipasi mencapai cita-cita luhur bersama. Misalnya peran santri dalam berpolitik, dalam bidang penegakan hukum, dalam pertahanan negara, dalam pemberdayaan ekonomi, dalam pemberdayaan masyarakat dalam berbagai bidangnya. Tetapi unsur utama sebagai pengampu ilmu agama dan pengajarannya jangan sampai tertinggal atau bahkan dikalahkan. Dalam istilah Jawanya, “mburu uceng kelangan delek”, mengejar sumbu tetapi malah kehilangan lampunya.
Pernyataan ini penting, mengingat sesuai dawuh Allah di atas memang menjadi santri yang menekuni bidang agama Islam, diperintahkan untuk dapat dilakukan oleh sebagian kelompok yang memang mempunyai komitmen dan keilmuan keagamaan. Dalam bidang perjuangan urusan di luar ilmu agama dapat dilakukan oleh mayoritas yang lebih banyak. Juga penting bagi santri untuk menjaga regenerasi kesantriannya, agar para pejuang Islam yang menekuni bidang ilmu agama Islam dan mensyiarkanya tetap terus berlanjut sampai kapanpun. Mengingat tantangan konsistensi memperjuangkan agama di tengah masyarakat di zaman kekinian, tidak semakin ringan. Taruhlah contohnya mencari pengganti orang alim, sekaligus pensyiar agama Islam di kampung tertentu tidak berlanjut dikarenakan tidak dipersiapkan kadernya. Kadangkala para guru agama Islam, tidak memasukkan anaknya di sekolah-sekolah yang memang mempersiapkan kader pengajar ilmu keislaman atau memang anaknya tidak mau mendalami ilmu agama, yang pada akhirnya perjuangan orang tuanya terputus dikarenakan tidak ada yang dapat melanjutkan. Maka bagi pengampu ilmu agama Islam seyogjanya sejak dini dapat melakukan doktrin tentang perjalanan pendidikan Agama Islam kepada keluarganya.
Tetapi kalau melihat tren kekinian, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah berbasis madarasah, perguruan tinggi kegamaan Islam, nampaknya mendapatkan respon yang positif dari masyarakat, dilihat dari jumlah santri, siswa dan mahasiswa yang diterima menjadi anak didiknya. Madrasah Ibtidaiyah sampai perguruan tinggi keagamaan Islam, juga Pondok Pesantren sekarang sudah menerima anak santri yang jumlahnya sangat banyak. Tinggal kemudian dijaga keistiqamahannya dalam berpegang teguh, dilakukan penguatan kepada ilmu-ilmu ke-Islam-an. Di madarasah formal harus dilakukan strategi pengajaran yang membuat para santri dan walinya merasa nyaman  menimba ilmu di Lembaga madrasah. Di kampus-kampus keagamaan Islam dikuatkan program studi-program studi agama di fakultas syariah, ushuludin, dakwah, tarbiyahnya.
Demikian juga di pondok pesantren harus dijaga keistiqamahannya dalam menghasilkan kader-kader ulama-ulama yang nantinya dapat melanjutkan estafet perjuangan Islam di Nusantara. Walaupun tawaran-tawaran peran pesantren diberbagai bidang kehidupan ini nampak nyata, tetapi garapan tafaquh fi al-din lebih penting, sebagai garda paling depan dalam memperjuangkan, mensyiarkan Islam di Nusantara Ini. Akhirnya selamat memperingati Hari Santri Nasional, semoga dengan syukur peringatan hari santri dapat mereview kembali tugas-tugas santri dalam mendalami ilmu agama Islam, dan dengan ilmunya para santri dapat melakukan transformasi sosial di tengah-tengah masyarakat, membangun peradaban santri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang tercinta. Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.
*Pengasuh PPTA, Pengajar UIN Tulungagung dan fungsionaris NU Blitar