kaligrafi-muhammad-saw-hijau-putihPenulis: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag.*
Minggu  ini kita sudah memasuki minggu ke dua dari bulan robi’ul awwal 1435 H, bulan di mana seluruh umat Islam menyambutnya dengan suka cita. Diiringi dengan dzikir-zikir khusus, membaca sholawat dan manaqib Rasulillah diadakan di masjid-masjid, musholla, langgar atau dirumah-rumah penduduk muslim yang taat. Di samping itu, Jamuan makan juga dianjurkan oleh orang-orang yang mampu diperuntukkan bagi fakir miskin.  Dari gegap gempita peringatan maulid Nabi ini (dzikra maulid al-Rasul), yang lebih penting adalah kita harus melihatnya dari berbagai perspektif, supaya dapat menghasilkan sebuah ceremonial maulid Nabi yang lebih bermakna, tidak hanya khusyu’ secara seremonial, individual tapi juga khusyu’ secara sosial umat Islam Indonesia, Akhirnya kita melaksanakan maulid Nabi secara khusyu’,  serius, tetapi yang kita dapatkan adalah makna yang gersang atau lebih parah lagi ahistoris, lepas dari aspek kesejarahan tentang tradisi peringatan maulid Nabi Saw. Walaupun sebenarnya memperingati Hari Maulud (kelahiran) Nabi Muhammad SAW bertujuan untuk memuliakan Nabi Muhammad SAW berasaskan firman Allah dalam Al-Quran “maka orang yang beriman kepadanya (Muhammad saw) memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Quran) mereka itulah yang beruntung.” (Al-Araf: 157). Renungan maulid  sederhana ini, ingin menguraikan aspek yuridis, histories, dan aktualisasi maulid Nabi dalam kehidupan berdakwah kita.
Secara yuridis, peringatan maulid Nabi satu perbuatan yang dianjurkan bagi umat Islam. Hujah mengapa Maulud Nabi boleh dirayakakan adalah :Bahwasanya Nabi Muhammad S.A.W. datang ke Madinah maka beliau mendapati orang-orang yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura yaitu hari 10 Muharram, maka Nabi S.A.W. bertanya kepada orang Yahudi itu: “Kenapa kamu berpuasa pada hari Asyura?”, mereka menjawab: Ini adalah hari peringatan, pada hari serupa itu ditenggelamkannya Firaun dan pada hari itu Musa dibebaskan, untuk itu kami berpuasa karena bersyukur kepada Tuhan. Maka Nabi S.A.W. berkata :
“Kami lebih patut menghormati Musa berbanding kamu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar Al-Asqalani pengarang Syarah Bukhari yang bernama Fathul Bari berkata bahawa dari Hadits ini dapat dipetik sebuah kesimpulan hukum: Umat Islam dibolehkan bahkan dianjurkan memperingati hari-hari bersejarah, hari-hari yang dianggap besar umpamanya hari-hari maulud, isra’ miraj dan lain-lain.  Nabi pun turut memperingati hari tenggelamnya Fir’aun dan bebasnya Musa, dengan melakukan puasa Asyura sebagai rasa bersyukur atas hapusnya yang batil dan tegaknya yang hak. Beberapa dalil-dalil diatas telah menjadi rujukan oleh ulama Indonesia untuk memperingati hari lahirnya Nabi Saw di tanah air dan kemudian Hari lahirnya Nabi Muhammad Saw menjadi hari Libur nasional.
Secara histories Hari Maulid Nabi Saw pertama kali diselenggarakan oleh Sultan Shalahudin al-Ayyubi ketika menghadapi pasukan perang salib untuk  membakar semangat berjuang dan berkorban, untuk menyelamatkan umat Islam, dan kemudian dipakai sebagai memperingati kejayaan Sultan Salahuddin al-Ayyubi yang berhasil memimpin tentera Islam memasuki Jurusalem.Untuk itu ketika kita ingin mendengungkan dzikra maulid al-Rasul (peringatan kelahiran Rasulullah), yang patut kita lakukan adalah semangat perjuangan Rasulullah, seperti apa yang dilakukan oleh Shalahudin al-Ayubi. Aktualisasi perjuangan dan dakwah Rasulullah ditengah-tengah kehdidupan keagamaan umat Islam Indonesia sangat penting, dikarenakan semakin hari umat Islam semakin tereduksi semangat perjuangannya. Apalagi kalau sudah terkontaminasi oleh factor social budaya dan politik tanah air yang lagi ueforia.
Di antara sisi-sisi perjuangan Rasulullah yang patut angkat ketika memperingati maulid Nabi Saw adalah sifat-sifat beliau yang merupakan potensi dan kekuatan (power) tersendiri bagi Rasul  ketika melakukan dakwah.  Misalnya adalah Sifat tahan uji (sabar) dalam menghadapi tantangan baik yang bersifat siosiologis masyarakat Mekkah, Teologis agama nenek moyangnya yang politheisme, atau yang bersifat genealogis asal-usul Rasulullah adalah berasal dari kaum Qurays yang pada saat itu adalah sebuah komunitas yang sangat dominant di Jazirah arab. Tanpa mempunyai sifat tahan uji atau sabar dalam melakukan dakwah, secara rasional mungkin Rasulullah tidak akan tahan menghadapi tantangan dan hambatan dari berbagai perspektif tersebut. Untuk itu bagi para penerus perjuangan Rasulullah hendaknya memahami bahwa potensi sukses pembawa risalah islamiyah Rasulullah saw bukan terletak kepada atribut pendidikan, social, ekonomi, dan politik, tetapi kekuatan potensi yang terpendam di dalam kepribadian Rasulullah. Sehingga allah Pun memuji dalam firmanya “wa innaka La’ala Khuluqin adzim”(sesungguhnya engkau benar-benar mempunyai perilaku (akhlaq yang agung).
Manifestasi perjuangan Rasulullah dan sifat-sifat terpujinya merupakan esensi dari peringatan maulid itu sendiri. Dengan dua tema besar itu niscaya kejayaan umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia akan semakin mendekati kenyataan. Sebagai jawaban terhadap berbagai problematika yang mendera bangsa kita sekarang ini. Misalnya kongkalikong kejahatan(kolusi), Korupsi dan seabrek permasalahan social lainnya dapat kita jawab dengan maulid Nabi ini. Seumpama kita jadi pejabat, rakyat atau penbgemban amanah apapun senyampng kita masih berpegang teguh kepada misi perjuangan Rasulullah dan akhlaq-akhlaq islami, niscaya tidak ada lagi kejahatan-kejahatan terjadi pada bangsa ini. Nampaknya penguatan semangat mauled nabi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun beragama sudah sangat mendesak untuk dilakukan. Biar masalah prostitusi artis, KKN, kemiskinan, kesenjangan, premanisme akan segera luntur di tengah-tengah kehidupan kita.Wa allahu a’lamu bi al-Shawab.
* Penulis merupakan Mustasyar NU, Pengajar IAIN Tulungagung, dan Pengasuh PP.Al- Kamal Blitar