“Benturan Islam dan Budaya lokal dalam perspektif Sinkretis”
Oleh : M. Imam Sanusi Al-Khanafi
Belakangan banyak sekali wacana Agama yang diwarnai dengan bermusuhan antara budaya dan produk- produknya. Masih belum hilang ingatan kita kepada Talibanisme yang menghancurkan patung Budha di Afghanistan, letaknya di Bamiyan, ketika sekarang kita dihadapkan dengan Isis yang Jauh lebih radikal, puritan, dan brutal, bahkan dibanding dengan al-Qaidah yang merupakan akar awalnya. Bukan hanya memusuhi dan membantai golongan- golongan yang berbeda dengannya, tak peduli muslim atau bukan, kelompok ini juga menampilkan permusuhan luar biasa terhadap manifestasi (bentuk) budaya lokal, termasuk pemikiran, dan menabrak tradisi- tradisi yang dilahirkan darinya.
Disisi lain, dari salah satu ormas di daerah Kediri dan klaten yang letaknya didesa Mojokuto dan senjakarta, ormas Muhammadiyah mengkritik habis- habisan tentang upacara jawa “slametan” karena dianggap pemborosan dan sia- sia serta disarankan untuk sesuatu yang bermanfaat. Ormas ini juga menyerang praktik upacara kematian kaum abangan, dengan menjelaskan dalil-dalil yang membolehkan tiga hal dalam pemakaman, yakni memandikan, member kafan, dan menguburkan mayat.
Dalam hal ini masyarakat menganggap Islam termasuk Agama yanga puritan, radikal. Sehingga Islam terkesan ekstrim. Ada beberapa cara yang dapat dipakai dalam memandang hubungan agama dan budaya. Pertama, melihat Agama dalam menghargai budaya sebagai sumber kearifan dan adab. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
“Hai Manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku- suku agar kamu saling belajar kearifan (litaarufu). Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu adalah yang paling sadar-Tuhan (bertaqwa).(Al-Hujurat : 13)
Didalam tafsir al-Baghawi ayat ini menjelaskan, kata syu’uban adalah jama’ dari kata sya’bin dengan fathah syin,dia adalah ketua dari beberapa qobilah( suku). Seperti suku rabi’ah, mudhor, al-Ausi, Khazraj dan kata syu’uban bisa berarti bercabang- cabang seperti caban di pohon. Dan kata syu’uban juga jama’ dari syaaba dengan makna farraqa (berbeda- beda) . Sedangkan didalam kamus al-Bisri kata syaaba berarti berpisah . Didalam ayat ini manusia diciptakan Allah walaupun berbeda- beda dari bangsa suku, ras, keyakinan, jangan saling mencemooh antar sesame umat manusia. Akan tetapi saling mengenal dan saling tolong menolong. Dan Allah SWT tidak menyukai orang- orang yang memperlihatkan kesombongan, karena yang paling mulia adalah orang yang bertaqwa kepada Allah.
Kedua, melihat budaya sebagai warisan hikmah ketuhanan yang diturunkan lewat Nabi-nabi yang pernah diutus Tuhan sepanjang sejarah umat Manusia.”Bagi tiap-tiap umat seorang Rasul” (Qs.10:47) sementara sebuah sabda Nabi bahwa jumlah seluruh nabi yang pernah diutus Allah adalah tak kurang dari 124.000 oarang. Dari sinilah sebagian ahli menyatakan bahwa sesungguhnya peninggalan budaya selama bisa dibuktikan tak bertentangan dengan aturan Agama yang pasti kebaradaan dan pemahamannya, sedikit atau banyak adalah peninggalannya Nabi. Dengan demikian , bukan saja ia boleh dianut, budaya memiliki tempat yang abash, kalau tak malah memiliki tingkat kesakralan tertentu.
Islam datang kewilayah nusantara setelah melewati proses akulturasi dengan warisan budaya Persia (iran) terbukti bahasa Indonesia banyak sekali mengandung kata- kata pinjaman dari bahasa Persia. Ini bisa dibuktikan dari kasus ta’ marbutoh, yang kalau berhenti berubah bacaannya menjadi seperti “h”, dan kalau disambung dengan huruf hidup tetap berbunyi “t” (ta’ maftuhah). Hampir semua kata Arab dalam bahasa Arab dalam bahasa kita dengan dengan akhiran ta’ marbuthoh dibaca (dalam waqaf) sebagai “t”, seperti adat, berkat, dawat, hajat, jemaat, kalimat, masyarakat, niat, rahmat, sifat, tobat, warkat, dan zakat.
Dalam bahasa Arab (aslinya), kata-kata itu (dalam waqaf) akan terbaca, berturut-turut, ‘adah, barkah, dawah, hajah, jama’ah, kalimah, musharakah, niyyah, rahmah, sifah, tawbah, waraqah, dan zakah. Baru sesudah itu menyusul pinjaman campuran antara Arab dan Persia, seperti ibadah (tapi juga badat), musyawarah (tapi juga permusyawaratan), hikmah (tapi juga hikmat), dan lain-lain.
Banyak pembahasan tentang Islam di Indonesia yang menunjuk kepada kenyataan bahwa Agama itu dibawa kemari oleh para Sufi. Inipun menambah bahan keterangan mengapa Islam disini banyak berkompromi dengan dengan budaya lokal. Sufisme (Tasawuf) dapat dikatakan mewakili segi paling intelektual Agama Islam. Dalam masa- masa kemunduran politik dan militer Islam, kaum Sufi berjasa menjaga eksistensi, bahkan elan Agama Islam, untuk kemudian menyebarkannya ketempat- tempat lain tanpa penaklukan militer. Seperti halnya dengan orang-orang Afrika Barat, banyak orang India(Hindu) berpindah keAgama Islam melalui ajaran- ajaran kaum sufi. Mereka yang akhir ini mendapati bahwa, misalnya, ajaran Hindu tentang advita(ketidakduaan, nonduality) tidak jauh berbeda dengan ajaran- ajaran Sufi tentang ketuhanan yang maha Esa (Tauhid), khususnya pengertian Tauhid menurut Interpretasi wahdatul wujud. Perbedaanya hanyalah dalam peristilahan.
Pengaruh sufisme diIndonesia sudah sering menjadi bahan pembicaraan ilmiah. Namun, masih ada sesuatu yang harus ditegaskan dalam masalah ini, yaitu bahwa pada analisis terakhir, apa yang disebut “kejawen” pun dapat dilihat sebagai penjawaan sufisme Islam, atau pengislaman mistisisme Jawa. Pengaruh al-Ghozali, yang pikiran- pikirannya menjagat itu, juga amat terasa dalam kalangan “kejawen”, disamping pengaruhnya yang sangat besar dikalangan kaum santri.
Banyak kompromi antara ajaran- ajaran Islam dan unsur- unsur budaya lokal membuat Islam diIndonesia, lebih daripada Islam ditempat- tempat lain, sering dianggap sebagai “pinggiran”. Beberapa kenyataan lahiriah Indonesia mendukung mengapa Islam disini bersifat “pinggiran”. Selain secara geografis, Indonesia memang negri Muslim yang paling jauh dari pusat- pusat Islam di timur tengah, Indonesia adalah negri Muslim yang paling sedikit mengalami Arabisasi. Mungkin karena proses pengislamannya yang relatif baru, ditambah lagi hambatan intensifikasi pengislaman dengan datangnya kaum penjajah Barat, bangsa Indonesia adalah salah satu dari sedikit sekali masyarakat Muslim yang tidak menggunakan huruf Arab untuk bahasa nasionalnya.
Walaupun Islam datang kenusantara harus menyesuaikan dengan budaya lokal, dan di wiliyah internal sendiri terdapat aliran radikal dan moderat. Menurut Abdurrahman Wahid kalau Islam tetap dipertentangkan hingga menimbulkan radikalisme akan merugikan Islam itu sendiri. Dalam hal ini, pertentangan pendapat tidak semuanya harus diselesaikan dengan melarang atau menyesatkan kelompok lain. Toleransi justru bisa lebih membawa hasil. Bagi gus dur, hak hidup dan menjalankan ajaran Agama yang diyakini merupakan hak dasar yang dijamin sepenuhnya oleh syari’at.
Menurut pandangan beliau, Agama dan budaya bersifat saling melengkapi. Menurutnya, Agama Islam dan budaya mempunyai indenpendensi masing- masing, tetapi keduanya mempunyai wilayah tumpang tindih dan saling mengisi namun tetap memiliki beberapa perbedaan. Agama bersumber pada wahyu dan memiliki norma- norma sendiri. Norma- norma Agama bersifat normative. Karenanya ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah kreativitas manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Dengan kata lain, pandangan demikian menempatkan Agama dalam pandangan fungsinya sebagai wahana pengayoman tradisi bangsa dan pada saat yang sama Agama menjadikan kehidupan berbangsa sebagai wahana pematangan dirinya.
Didalam ajaran Islam sendiri tidak mengajarkan kekerasan dalam beragama, entah didalam pihak internal ataupun eksternal. Allah berfirman :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (256)
“Tidak ada paksaan (pertengkaran) dalam menganut agama Islam, sesungguhnya sudah jelas (perbedaan ) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat, barangsiapa yang ingkar kepada thoghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, ia telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar, maha mengetahui (al-Baqarah / 2: 256)
dijelaskan tidak ada pertengkaran atau paksaan didalam beragama. Allah menghendaki agar seseorang merasakan kedamaian. Kedamaian tidak dapat diraih apabila jiwa tidak damai. Paksaan, pertengkaran menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada pertengkaran (pasaan) dalam menganut akidah agama Islam. Konsideran yang dijelaskan ayat tersebut.
Jika dilihat dari asbabun nuzul ayat ini yang dinukil dari Ibn Katsir yang bersuber dari sahabat Ibn Abbas adalah seorang laki- laki Ansar dari bani Salim bin ‘Auf yang dikenal dengan nama Husein mempunyai dua anak laki- laki yang beragama Nasrani. Sedangkan ia sendiri beragama Islam. Husain menanyakan kepada Nabi SAW. “Apakah saya harus memaksa keduanya?” (untuk masuk Islam ?) maka turunlah ayat diatas. Jadi, bisa dipaparkan, bahwa memaksa orang (berbuat radikal) menurut isalm tidak dibenarkan sesuai dengan al-Qur’an. Karena yang dikehendaki Allah adalah keimanan dan ketaqwaan yang tulusa tanpa ada paksaan. Seandainya paksaan itu diperbolehkan, maka Allah sendiri yang melakukannya. Maka tugas para Nabi hanyalah untuk mengajak dan memberikan peringatan tanpa ada paksaan. Manusia akan dinilai terkait sikap dan respon terhadap seruan para Nabi tersebut.
Seperti yang dipaparkan oleh Rasulullah SAW, bahwa Nabi menyebarkan islam tanpa ada paksaan dan tujuannya tidak mengislamkan, akan tetapi memperbaiki akhlak setiap manusia dengan mengenalkan ajaran Islam. Nabi SAW bersabda :
انما بعثت لأتمما مكرم الأخلاق
“Sesungguhnya Aku (Rasulullah ) diutus untuk menyempurnakan akhlak setiap umat Manusia”
Selain itu juga, Rasulullah tidak pernah berbuat radikal kepada umatnya. Dan hal, inilah yang membedakan antara Nabi- nabi yang lainnya, ini adalah peristiwa besar di thaif hingga diabadikan dikitab barjanzi : pada saat di taif Nabi SAW membawa satu orang sahabat benama Zaid bin Haritsah, yang mana Nabi disana berda’wah hingga satu bulan tidak satupun orang yang menerima da’wah Baginda Rasul, bukan hanya itu, Nabi bahkan dicaci maki, diusir, dilempari batu kerikil sampai berdarah- darah dari thaif. Didalam kitab barjanzi dijelaskan :
وامّالطائف يدعو ثقيفاً فلم يُحسنوا بالاجابة قراه (*) وَاَغرَوبِه السفهآءَ والعبيدَ فسّبوهُ باَ لسنةٍ بذيّة (*)فرموهُ بالحجارة حتى خُضِبت بالدمآء نعلاهُ(*) ثم عادَ ص. م الى مكةَ خزيناً فسأله مللكُ الجبالِ في اهلَكِ اهلهَ ذوى العُصْبيَّةِ (*) فقال انّي ارجوان يخرُج الله من اصلابهم مّن يّتولاّه (*)
“Rasulullah menuju kethaif mengajak bani Thaif agar mendengar dakwahnya, tauhid, agar meninggalkan berhala, tidak satupun yang mendengar satupun dakwah beliau bahkan beliau dicaci- maki, dianggap dukun, tukang sihir, tukang mantra- mantra, paranormal, Nabi diusir bahkan dilempari batu kerikil sampai sandalnya banjir darah. Kemudian Malikat menawari kepada Nabi agar meminta do’a kepada Allah untuk memberikan azab bagi mereka dengan menyuruh malaikat, seperti Nabi nuh dan Musa untuk mendatangkan bencana banjir, angin puting beliung”. “ Rasulullah menjawab : “Tidak malaikat, saya tidak seperti nabi- nabi yang lainnya. Kalau sekarang orang Thaif tidak beriman, maka saya tunggu anaknya, kalau anaknya tidak ada yang beriman saya tunggu cucunya, bahkan seandainya kalau cucunya tidak beriman saya tunggu cicitnya
Dulu para Nabi sebelum Rasulullah SAW, seringkali menghadapi tantangan, ejekan, dan ancaman yang sama dari kaumnya sendiri.Sebagian para Nabi kemudian berdoa pada Allah SWT agar menimpakan laknat-Nya pada kaumnya yang lalim itu. Nabi Nuh misalnya, ia memohon kepada Allah SWT agar menimpakan hukuman kepada kaumnya agar ditimpakan banjir besar. Tetapi Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, tidak mungkin melaknat umatnya sendiri. Zaid, salah seorang sahabatnya yang menemaninya kala itu, meminta Nabi SAW agar memohon kepada Allah untuk memimpakan laknat kepada penduduk Thaif, tetapi Nabi SAW tetap bersabar dan dengan lembut berkata, “itu tidak akan pernah terjadi ! Nabi bersabda “ Aku diutus sebagai rahmat dan kasih sayang bagi alam semesta”. Lalu beliau berdo’a “ Ya Allah ! berikanlah mereka petunjuk dan hidayahMu agar mereka dapat membedakan antara kebaikan dan kebatilan”. Peristiwa Thaif ini sangat membekas dihati Nabi SAW. Sehingga pada suatu ketika Aisyah R.A bertanya padanya,”adakah saat- saat tersulit yang engkau hadapi, wahai, Nabi?” dan Nabi SAW menjawab, “Thaif”.
Maka dari pada hakikatnya, Nabi SAW sendiri tidak mengajarkan kekerasan, masalahnhya sekarang adalah langkanya kepemimpinan yang menghormati satu sama lain walaupun terjadinya perbedaan pendapat. Allah SWT berfirman : “bekerjasamalah kalian dalam (bekerja untuk) kebaikan dan ketaqwaan” (Qs. Al-Maidah (5) : 3). Kebanyakan para pemimpin gerakan Islam banyak yang saling bertengkar, minimal hanya bersatu dalam ucapan. Mengapakah demikian ? karena para pemimpin hanya mengejar ambisi pribadi belaka, dan jarang berpikir mengenai umat Islam secara keseluruhan. Seharusnya mereka berpikir tentang bagaimana melestarikan Agama Islam sebagai budaya, melalui upaya melayani dan mewujudkan kepentingan seluruh bangsa. Ambisi politik masing- masing akan terwujud jika ada pengendalian diri, dan jika diletakkan dalam kerangka kepentingan seluruh bangsa.
Dalam ajaran Islam dikenal dengan “ikhlas”. Keikhlasan yang dimaksudkan adalah peleburan ambisi pribadi masing-masing ke dalam pelayanan kepentingan seluruh bangsa. Di sinilah justru harus ada kesepakatan antara para pemimpin berbagai gerakan atau organisasi Islam yang ada, dan ketundukkan kepada keputusan pemimpin dirumuskan. Untuk melakukan perumusan seperti itu, diperlukan dua persyaratan sekaligus, yaitu kejujuran sikap dan ucapan, yang disertai dengan sikap “mengalah” kepada kepentingan berbagai gerakan organisasi itu. Tanpa kedua hal itu, sia-sialah upaya “menyatukan” umat Islam dalam sebuah kerangka perjuangan yang diperlukan.
Dalam hal ini, penulis lagi-lagi teringat kepada sebuah adagium yang sering dinyatakan berbagai kalangan Islam: “Tak ada agama tanpa kelompok, tak ada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tak ada kepemimpinan tanpa sang pemimpin. Adagiumnya memang benar, walaupun sekelompok kecil pernah mengajukan klaim kepemimpinan itu dan minta diterima sebagai pemimpin. Namun sikap mereka yang memandang rendah kelompok lain, justru menggagalkan niatan tersebut, seadangkan kelompok- kelompok lain tidak memiliki kepemimpinan kohesif seperti itu. Herankah kita, jika wajah berbagai gerakan Islam ditanah Air kita saat ini tampak tidak memiliki kepemimpinan yang jelas ? disinilah kita perlu membangun kembali “kesatuan” umat (umatan wahidatan), mudah diucapkan, tapi sulit untuk diwujudkan.
Islam yang hadir di Indonesia sepintas terkesan wajah lokal, apabila dibanding dengan Islam timur tengah, namun setelah dikaji lebih dalam, ternyata hal itu menggambarkan keberhasilan Islam berinteraksi, sehingga peleburan Islam kedalam tradisi lokal atau peleburan tradisi lokal kedalam Islam. Meskipun Islam berada ditengah kondisi sosial yang beragam, tetapi saja ia dapat tumbuh subur mewarnai kehidupan pengnutnya, dimanapun mereka berada hingga sampai kapan pun. Kematangan dalam memberikan interpretasi terhadap Islam mampu melahirkan serangkaian konsep menjadikan Islam produktif.
Seiring dengan perkembangan pemikiran umat Islam, Islam tidak kering- keringnya ditimba untuk dijadikan memenuhi seluruh kebutuhan yang diperlukan. Akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa umat tidak perlu melepaskan Agama dalam ruang kehidupan mereka, tetapi menghadirkan Islam dalam setiap langkah yang dituju adalah sebuah pilihan yang tepat.
Silih berganti istillah yang dilekatkan pada Islam sepanjang sejarah sosial suatu masyarakat, membuktikan tidak henti- hentinya Islam mempengaruhi kehidupan umat sebagai buah dari interaksi Islam dengan kondisi sosial dan tradisi penganutnya. Maka sepantasnya keinginan menyeragamkan Islam dalam berbagai kawasan adalah sesuatu yang tidak dibutuhkan, tetapi menghidupkan Islam penuh dengan keragaman , akan menjadi ia tumbuh dan mengakar dalam semua lapisan umat.
walaupun Islam bermacam- macam, beragam tetapi pada esensinya adalah tunggal (esa). Dan kita sebagai umat Islam jangan sampai- sampai saling menyalahkan dan saling kafir- mengkafirkan antar sesama Agama. Karena kafir merupakan orang yang hatinya tertutup dari Iman kepada Allah. Orang yang mengingkari keberadaan atau eksistensi Allah sebagai kholiq, robbun, dan malik, yaitu Tuhan sebagai pencipta, pengatur dan penguasa alam seisinya. Masalah kafir ini masalah yang besar bagi kehidupan manusia didunia hingga akhirat. Oleh karena itu, janganlah lidah kita terlalu mudah mengucapkan kata kafir kepada sesama muslim. Rasulullah bersabda :
“ apabila salah seorang berkata kepada saudaranya : “hai kafir ! maka sesungguhnya dia telah menetapkan salah seorang dari keduanya menjadi kafir, seandainya ucapannya benar, tetapi jika tidak benar maka kafir itu kembali kepadanya. ( HR : Muslim)
Dalam isi hadits diatas dipaparkan, mengatakan kafir kepada orang lainitu resikonya besar sekali. Sebab jika yang dikafirkan itu ternyata tidak benar menurut pandangan Allah, alias dia tidak kafir , maka yang kafir adalah dirinya sendiri.
Kebiasaan orang ketika melihat orang lain yang tidak sepaham dengannya kemudian buru, buru mengatakan musyrik, kufur, kafir, ahli bid’ah dan sebagainya, jika perkataanya itu tidak benar, maka semua ucapannya itu kembali kepadanya. Disamping itu ucapan – ucapan semacam itu akan membuat ukhuwah Islamiyah menjadi berantakan. Allah Swt Berfirman :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا (143)
“ Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat Islam)”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul ini (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu.
Ayat diatas menurut Ali Ashobuni didalam tafsir Rawa’iul bayan dijelaskan bahwa “ummatan wasthan” yakni umat yang ditengah- tengah. Maksudnya, sesugguhnya kebaikan dalam setiap perkara itu terdapat ditengah- tengah, tidak terlalu mencari setiap perkara yang melampaui batas (berlebihan) dan juga tidak mengurangi setiap perkara yang kurang. Dan dari setiap perkara yang kurang, disalahgunakan dan berlebih- lebihan akan menyulitkan setiap umat manusia dalam menggapai tujuan yang lurus dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Maka dari dari itu, Islam perlu kehidupan “wasathan” untuk menghasilkan Islam yang energik, mampu menselaraskan antara agama dan budaya, agama dan ilmu pengetahuan, agama dan kehidupan sosial, agama dan adab (tingkah laku), tidak radikal dan juga tidak membeda- bedakan antar umat islam maupun non Islam. Dan jadikan Islam itu modern, mampu hadir disetiap lini. Baik Demi kemajuan dan kemshlahatan umat Islam sendiri. Semoga artikel ini bermanfaat…!!!