Tadi malam tepat pukul 03.40, hari senin dini hari tanggal 1 Oktober 2012, penulis telah melepas jamaah haji yang ikut rombongan dalam Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) al-Kamal. Dalam acara pemberangkatan tersebut penulis merasa, kita perlu introspeksi diri. Sebagai jamaah, kita mungkin berintrospeksi seberapa besar kualitas ibadah haji dapat dilaksanakan, baik menyangkut sunah, wajib maupun rukun hajinya?. Juga sebagai penyelenggara seperti KBIH, Kemenag dan panitia di Negara Arab Saudi, sejauh mana kita telah ikhlas untuk melayani jamaah yang sedang melakukan ibadah haji?. Demikian juga keberangkatan jamaah haji kabupaten/Kota se Indonesia secara bergilir akan sampai ke tanah suci dalam waktu kurang lebih satu bulan. Jika mencermati jamaah haji yang mau berangkat, penulis merasa terdapat sisi-sisi penting dari perilaku jamaah yang penting kita perhatikan, di samping sisi sisi ubudiyahnya yang sudah paten. Misalnya tentang seragam haji sebagai identitas bangsa ketika berkumpul dengan bangsa lain, uang saku yang tidak sedikit, bisnis transportasi haji, catering haji, bimbingaan manasik haji sebelum berangkat selama setahun, masalah keimigrasian, dan masih banyak lagi sisi sisi yang meliputi semua kebutuhan jamaah haji.
Selain itu, ibadah Haji di zaman modern sekarang kondisinya sudah berbeda dengan ibadah haji pada zaman Nabi Ibrahim atau praktek haji pada zaman nabi Muhammad Saw sekalipun. Ibadah Haji sekarang sebenarnya sarat dengan nilai-nilai, baik nilai sosial, ekonomi, politik dan lain-lain. Di antaranya dilihat dari ritual pakaian Ihram, larangan menumpahkan darah, Thawaf, dan Wuquf. Sejatinya, substansi nilai tersebut bisa diimplementasikan dalam kehidupan sosialnya ketika kembali ke tanah air, sehingga secara fungsional bisa berperan dalam usaha untuk menuntaskan problem yang dihadapi bangsa ini yang semakin hari semakin komplek. Masalah ini dalam ilmu fikih dikenal istilah penarikan hikmah dari satu ibadah (hikmah at-Tasyri’), yang peranannya sama pentingnya dengan pelaksanaan ibadah itu sendiri.
Haji Mabrur yang diinformasikan oleh syari’at`, secara bahasa dan istilah mempunyai relasi kuat dengan kepedulian sosial. Kata mabrur yang berasal dari kata bir dalam bahasa arab diartikan sebagai kebaikan. Nah, dalam al-Qur’an makna itu dilebarkan bahwa kebaikan hanya diperoleh jika menafkahkan harta yang kita cintai untuk meringankan beban hidup orang lain di sekitar kita (QS ‘Ali Imran:9). Begitu juga jika ditilik ibadah lainnya dalam rukun Islam setelah syahadat sebagai pengakuan akan Tuhan dan Nabi, seperti shalat, puasa dan zakat. Spirit komunalitas Haji setidaknya menyimpulkan kekaguman, sekaligus kekagetan. Di tengah negeri yang masih terlilit krisis ekonomi, jumlah kuota haji tidak mengalami perubahan yang signifikan, bahkan tahun ini grafiknya cenderung naik.
Anehnya, problem kemiskinan tidak berbanding lurus dengan spirit komunalitas tadi. Sejatinya, secara organik dan fungsional ibadah haji memerankan dirinya dalam usaha untuk menuntaskan problem kemiskinan bangsa. Komunitas kaya yang mampu menunaikan haji dan telah berhaji semestinya siap jadi agen penting (Agen of Change) dalam mobilitas kepedulian sosial. Secara individual mereka mempunyai modal cukup dan sepulangnya dari perjalanan haji bisa memetik hikmah haji dengan merefleksikan “kesalehan sosial”-nya. Mendarmakan sebagian harta untuk dhu’afa, sama derajatnya dengan mengeluarkan biaya ke tanah suci bagi orang yang mampu.
Makna Luhur ibadah Haji sarat dengan kepedulian sosial. Pertama; afirmasi terhadap ego pribadi atas sesama yang dibuktikan dengan penanggalan pakaian yang biasa dipakai digantikan dengan hanya dua helai kain putih (kain ihram). Bukankah pakaian dalam prakteknya telah melahirkan kasta sosial, ekonomi, dan atau politik? yang mana dalam ritual ibadah haji itu diganti dengan kain sederhana yang warnanya sama dengan kain kafan (pembungkus mayat) sebagai simbol akhir sebuah persamaan ketika hidup berakhir. Lepaskan dan berperanlah sebagai manusia sesungguhnya. Kedua; pelarangan terhadap perbuatan membunuh, menumpahkan darah, dan mencabut pepohonan. Pada dasarnya manusia berfungsi sebagai penjaga atas makhluk-makhluk lainnya untuk mencapai tujuan penciptaannya. Begitu juga larangan untuk memakai wangi-wangian, bercumbu atau berhubungan suami-isteri, dan menggunting kuku, yang semuanya itu melambangkan hiasan yang terkadang menyilaukan hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Ketiga; mengelilingi ka’bah (thawaf) untuk mengingat isteri Nabi Ibrahim yang merupakan budak dari kalangan hitam ketika menggendong putranya, Isma’il. Akan tetapi, Tuhan telah menjadikannya mulia bukan karena kedudukan dan status sosialnya, tapi karena keyakinan dan usaha gigihnya untuk hijrah dari kebathilan menuju kebaikan, dari keterbekangan menuju peradaban.Keempat; di ‘Arafah semua jamaah haji berkumpul di padang luas nan gersang wuquf (berhenti) sampai terbenam matahari. Praktek ini, sekali lagi, akan membuat setiap individu sadar akan status kemanusiaannya sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain.Kelima; keberangkatan ke Muzdalifah dengan mengumpulkan batu yang akan dipergunakan di Mina. Tahap akhir dari ibadah ini menyimpulkan bahwa setelah penyucian diri yang dilakukan dengan melaksanakan ritual-ritual tadi di atas, dituntaskan dengan melenyapkan musuh (melempari setan dengan batu) dalam diri kita dan memulai hidup sadar atas status kemanusiaan universal.
Substansi ibadah haji sebenarnya dapat dilihat dalam artikulasi nilai-nilai yang disimpulkan dalam ibadah haji tadi, yang mempunyai korelasi kuat dengan kecendrungan peremehan atas realitas kemiskinan di sekeliling kita. Ada cerita sufi yang menarik berkaitan dengan haji Mabrur. Suatu saat, ada sepasang suami-isteri yang dikenal cukup taat beribadah dan mempunyai cukup bekal untuk melakukan ibadah haji. Hanya karena kebiasaan dia menolong sesama kaum yang lemah (mustadh’afin), ketika betemu dengan orang yang kelaparan, maka diberikanlah bekal yang seadanya tadi dan setelah itu pulang kembali ke kampungnya. Ketika sampai di rumah, suami-isteri itu dikejutkan oleh orang yang berjubah putih dan langsung menyalaminya. Dengan kaget mereka berkata, “kami tidak jadi hajinya”. Penyambut tadi menjawab, “kalian sudah jadi haji mabrur, karena tadi telah menyantuni orang meski tidak berangkat ke tanah suci”. Dalam konteks ini, seolah mengajak kita sadar akan pesan suatu ibadah dan tidak terjebak pada formalitasnya semata.
Dengan pengamalan semua nilai-nilai luhur ibadah haji, yakni kepedulian sosial, niscaya nestapa kemanusiaan yang melilit negeri ini sepertinya dapat diselesaikan. Karena, kemiskinan yang melanda tidak sedikit disebabkan oleh struktur sosial yang melingkupinya. Tanpa melakukan perubahan terhadap cara pandang atas problem kemiskinan dalam kacamata keberagamaan. Pengentasan kemiskinan akan jauh panggang dari api. Pandangan ini setidaknya dibangun dari kedudukan agama sebagai gugusan nilai yang bisa membentuk struktur masyarakat yang adil dan beradab. Islam, seperti diidamkan oleh para sendekiawan muslim lain, “Ibadah haji bisa menjadi lanskip teosentris-humanisme, yang membuat muslim tidak saja bersaksi akan adanya Tuhan dan Nabi, tapi selalu menyuguhkan aksi konkrit untuk kemanusiaan universal.
Terakhir, kita mengucapkan selamat jalan kepada seluruh jamaah haji Indonesia yang sedang menuju tanah suci atau yang sedang persiapan di sana, atau yang lagi mempersiapkan bekal keberangkatan. Semoga ibadah para jamaah memberi berkah kepada diri pribadi, syi’ar agama Islam (soliditas muslim), dan sebagai bagian solusi menyelesaikan problem bangsa dan Negara Indonesia. Amiin ya mujiba al-Sailin.
Ditulis oleh: Dr. Asmawi Mahfudz, M.Ag. Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar dan menjadi salah satu pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung.