Filosofi Tentang Pesantren

Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal, Mencetak Intelektual Muslim Berakhlakul Karimah, Rela Dipimpin dan Siap Memimpin

Penulis : Ust. Dr. Asmawi Mahfudz, M.Ag
Iftitah
Secara etimologis, pesantren berasal dari kata dasar ‘santri’ yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti menunjukkan makna tempat. Dengan demikian, maka Pesantren adalah tempat santri. Sementara terdapat sejumlah teori yang menjelaskan asal-usul kata santri. Pertama, berasal dari kata sastri, bahasa sanskerta yang artinya melek huruf. Kedua, berasal dari cantrik, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti guru ke mana guru pergi menetap.( Yasmadi, Jakarta: 2002). Ketiga, berasal dari bahasa India yang bermakna orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau ilmu pengetahuan. (Zamakhsyari Dhofier, Jakarta : 1994). Sedangkan kata pondok berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti asrama, rumah, hotel atau tempat tinggal sederhana.(Hasbullah, Jakarta : 1996). Secara umum, sebagian besar teori yang menjelaskan tentang pesantren selalu bersifat physical oriented. Teori-teori tersebut umumnya menyebut 5 elemen pokok pesantren. Yaitu (1) Kyai (2) Santri (3) Masjid (4) Pondok dan (5) Pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Padahal, secara faktual, sesungguhnya kehidupan pesantren memiliki keragaman dan dinamika yang sangat variatif sejalan dengan setting sosial budaya masyarakat tempat pesantren berada. Di sebagian besar tempat, bisa jadi kelima unsur pesantren itu terpenuhi, namun di sebagaian daerah bisa jadi salah-satu atau dua unsur tersebut tidak terpenuhi. Apakah dengan demikian tempat ini tidak layak disebut pesantren?.
Jika menelusuri kondisi pesantren dengan sekian banyak dan kompleks varian dan dinamikanya, baik secara fisik, kultur, pendidikan, maupun kelembagaannya, maka pesantren secara isthilahy sesungguhnya tidaklah sesederhana seperti yang teridentifikasi dengan adanya kyai, santri, maupun masjid. Karena konsepsi dasar dari kategori kyai dan santri saja sampai sejauh ini masih bersifat multi-interpretable. Selain itu kategorisasi yang tidak didasarkan pada hakikat intrinsik dari suatu objek merupakan tindakan simplifikatif, reduktif bahkan distortif. Maka Pesantren sesungguhnya adalah suatu lembaga atau institusi pendidikan yang berorientasi pada pembentukan manusia yang memiliki tingkat moralitas keagamaan Islam dan sosial yang tinggi yang diaktualisasikan dalam sistem pendidikan dan pengajarannya. Dengan demikian, maka orientasi gerak dan pengajaran ilmu-ilmu agama, sosial maupun eksak di pesantren adalah tidak lebih dari sebuah proses pembentukan karakter (character building) yang Islami.
Selanjutnya membicarakan pesantren dalam konteks ke-Indonesian sarat dengan ilmu, pengalaman, tradisi, sehingga dapat memunculkan khazanah yang beragam seluas orang memandang Institusi Pendidikan Islam tertua Ini. Hal ini harap maklum, karena  membicarakan pesantren otomatis akan berimplikasi kepada tiga Institusi sosial sekaligus. Yakni Islam, Pesantren, dan Indonesia. Ketiga domain wilayah sosial itu, suatu saat dapat berdiri sendiri, tetapi pada saat yang lain menjadi satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Untuk itu mengkaji pesantren dalam konteks ke-Indonesiaan merupakan hal yang menarik dan unik dengan banyaknya khazanah yang akan kita dapatkan.
Sejalan dengan muqadimah di atas, kita dapat menyitir surat al-Taubah: 122, yang artinya:
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Ayat ini biasanya dijadikan landasan teologis bagi seorang santri dan pesantren dalam menjalankan fungsinya untuk tafaqquh fi al-din (memperdalam agama). Tetapi yang lebih penting dari itu, terdapat hal-hal filosofis yang terkandung dalam  ayat itu sebagai penjabaran tentang tugas dan fungsi dari pesantren dan santri.  Di antara nilai-nilai filosofis yang dapat dijadikan pijakan oleh pesantren adalah, 1. Pesantren sebagai bagian komponen masyarakat yang bertugas memperjuangkan Agama Allah. 2. Tujuannya adalah menjadi fasilitator  bagi santri li yatafaqqahu fi al-dini (memperdalam pengetahuan agama). Yang perlu digaris bawahi di ayat ini adalah disebutkannya redaksi yatafaqqahu fi al-dini, memperdalam pengetahuan agama dalam bentuk fi’il mudhari’. Dalam tata bahasa arab fi’il mudhari’ adalah kata kerja yang menunjukkan masa kini dan masa yang akan datang. Jika dikembalikan kepada makna tafaqquh fi din di atas, maka dapat dipahami bahwa pesantren atau santri dalam melaksanakan pendalaman agama harus berorientasi kekinian dan visioner untuk masa-masa yang akan datang. Dari sinilah akan muncul bahwa pesantren itu harus dinamis, berubah, berkembang untuk tetap menjaga relevansinya dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Perkembangan pesantren dapat menyangkut  kurikulum-materinya, institusi-kelembagaannya, manajemen-kepemimpinannya ataupun relasi pesantren dengan masyarakat sekitarnya. Dari dinamika pesantren inilah studi tentang pesantren mengalami perkembangan pula, sejak penyebaran Islam masuk Indonesia sampai masa-masa yang akan datang.
Mungkin kita telah mengenal beberapa pengkaji pesantren dalam dunia akademis, di antaranya: Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandanagan Hidup Kyai,  Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, juga tentang Jaringan Ulama Nusantara, Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Proses Perjalanan, Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Mastuhu, “Kyai Tanpa Pesantren: KH. Ali Yafie dalam Peta Kekuatan Sosial Islam Indonesia”, dalam Jamal D. Rahman et al. (eds.), Wacana Baru Fiqh Sosial 70 Tahun KH. Ali Yafie, Yasmadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren. Mujamil Qomar, menulis  Pesantren dari Tarnsformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,  Abdul Munir Mulkhan,  Runtuhnya Mitos Politik Santri, dan seabrek penelitian lain baik dari peneliti dalam negeri atau  luar ngeri.
Buku yang didiskusikan dalam rangka ngaji ramadhan di kantor NU ini merupakan hasil dari kreativitas dan dinamika studi tentang  pesantren. Kita patut untuk memberikan apresiasi kepada Ust. Ahmad Baso yang selama 6 tahun atau lebih telah menghasilkan maha karya yang monumental dalam khazanah tulisan tentang pesantren. Semoga dapat bermanfaat untuk para peminat studi Pendidikan Islam secara umum, karena buku  tentang Pesantren Studies ini sarat dengan ilmu-ilmu yang tidak banyak diungkap oleh para peneliti sebelumnya. Misalnya referensi yang dipakai merupakan sumber otoritatif di bidang pesantren, yang mungkin tidak banyak orang yang dapat mendapatkan sumber-sumber sejarah semacam itu. Belum lagi kalau di lihat dari aspek subtansi isi, metodologi, atau perspektif historis sosiologis. Tetapi tidak patut kiranya kita memberikan penilaian dari karya tersebut, yang lebih pantas mungkin adalah menggali ilmu-ilmu yang terkandung dalam buku pesantren studies itu, sebagai media untuk memperteguh kembali institusi pesantren dalam memperjuangkan Islam ala Ahl Sunnah wa al-Jamaah al-Nahdliyah di Nusantara. Yang pada akhirnya pesantren dapat lebih berperan lagi dalam membangun bangsa ini, baik dalam sisi kaderisasi pejuang-pejuang bangsa, sebagai sumber inspirasi moral, pelaku pembangunan, sampai kepada membangun peradaban (hadlarah) bangsa Indonesia.
 
Religiusitas sebagai Orientasi Pesantren
Rasa keberagamaan bukanlah Agama. Agama lebih bersifat formal-komunal tetapi keberagamaan lebih bersifat personal. Rasa keberagamaan merupakan core dari agama itu sendiri. Tidak setiap pakar agama memiliki rasa keagamaan. Sebaliknya tidak setiap orang yang memiliki rasa keberagamaan memiliki pengetahuan tentang Agama sebanding dengan pengalamannya. Rasa dan semangat keberagamaan tersebut menurut Nurcholish Madjid termanifestasi dalam tasawuf. Celakanya, justru aspek yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan inilah yang kadang terabaikan dan hanya dikaji sambil lalu oleh lembaga-lembaga pendidikan.(Nurcholish Madjid, Jakarta: 1997).
Religiusitas bisa diperoleh melalui dua cara. Pertama, pengkajian yang serius terhadap tasawuf. Kedua, pembentukan miliu/lingkungan yang representatif bagi pengembangan potensi rasa keberagamaan. Pengkajian dan penghayatan terhadap dimensi spiritualitas inilah yang kelak akan menghasilkan generasi-generasi yang peka terhadap aspek moralitas. Dari sini Pesantren nampaknya perlu memberikan kesadaran baru bagi para santrinya bahwa keberagamaan merupakan proses yang tidak pernah berakhir. Seperti yang dipraktekkan oleh kyai-kyai dulu ketika mengajarkan ilmu-ilmu kepada para santrinya, tidak dibatasi oleh sekat kurikulum, tempat belajar yang tidak begitu representative, tidak seperti kelas-kelas sekarang yang kadang bertaraf hotel, seorang guru atau kyai pun juga tidak mendapatkan tunjangan, hanya berbasic keikhlasan yang menjadi motivasi amaliyah ta’limnya. Di sinilah prinsip ta’lim wa ta’allum pesantren adalah pendidikan seumur hidup.
Agama adalah produk yang sudah jadi, di sisi lain tentang agama dan keberagamaan di dunia pesantren dimaknai secara integrated. Rasa keberagamaan tidak dapat direduksi pada sebatas pengkajian terhadap ilmu agama an sich. Dimensi rasionalitas, spiritualitas dan bahkan penghayatan akan nilai-nilai agama itu sendiri harus menjadi aksentuasi(penekanan) dalam transformasi ilmu-ilmu di pesantren. Misalnya nilai-nilai akhlaq yang menjadi kurikulum di pesantren, dengan kitabnya ihya’ ulum al-din, bidayat al-hidayah, minhaj al-abidin, al-hikam, siraj al-thalibin, diberikan dengan harapan santri-santri memang benar-benar memahami ajaran Islam tidak hanya dari sisi lahiriyah saja, tetapi akhlaq tersebut menjadi kepribadian yang menyatu dengan seorang santri. Sehingga tamatan pesantren memang seorang kader yang berperilaku luhur, berkepribadian atau berkarakter kuat nilai-nilai ke-Islaman ala kitab yang dikajinya.
Kalau misi mencetak kader yang berkepribadian dan berakhlaq tadi terabaikan, yang di tekankan hanya dari sisi intelektualitas, Akibatnya lahir generasi-generasi yang kaya akan khazanah ilmu Agama tanpa rasa keagamaan, kaya ilmu pengetahuan tanpa sikap keilmuan, generasi dengan predikat santri tanpa mental kesantrian. Lebih lanjut, dalam kehidupan praktis, pesantren hampir tidak memiliki konstribusi dan peran yang aktif dalam melakukan perubahan sosial menuju ke kehidupan yang lebih beradab dan berbudaya.
Cobalah kita beri contoh lagi, bagamaimana para santri pesantren dituntut untuk belajar kitab kuning, diajari jam’iyah (organisasi) keagamaan pada hari malam jum’at, tetapi juga disuruh untuk menjalani lelaku riyadlah (tirakat) bathiniyah untuk menyempurnakan ilmu-ilmu yang telah diterima di pesantren. Praktek-praktek semacam ini merupakan ajaran-ajaran para sufi sebagai metode (thariqah) untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian dipraktekkan di dunia pesantren untuk membekali para santri agar dia mempunyai kekuatan bathiniyah (al-qalb). Karena inti dari ajaran tarbiyah Islamiyah (pendidikan Islam) adalah pendidikan hati, sebagai pusat aktivitas kehidupan manusia. Ketika hati seseorang itu baik, maka seluruh amaliyahnya juga akan baik. Sebagaimana Hadits Rasul, sesungguhnya dalam diri manusia itu ada segumpal darah, jika dia baik maka seluruh anggota badannya juga baik, tetapi seandainya ia buruk, maka seluruhnya juga akan rusak. Segumpal darah itu adalah hati”.
Konsep pendidikan lahir dan batin oleh pesantren, juga tercermin dari hubungan guru (kyai) dan murid (santri). Seorang santri ketika sudah nyantri kepada seorang kyai, maka relasi keduanya lebih dari sekedar hubungan guru dan siswanya, lebih dari hubungan orang tua dan anaknya. Tetapi hubungan mereka berbentuk lahiriyah dan bathiniyah. Sebuah interaksi di mana seorang santri, di satu sisi diposisikan sebagai murid dari seorang guru yang berperan sebagai mursyid atau guru spiritual. Pada posisi ini seorang murid mendapatkan pendidikan ilmu-ilmu beribadah, cara-cara munajat kepada Allah Swt. Pada saat yang sama seorang santri juga menjadi anak dari seorang guru yang berperan sebagai orang tua mereka dengan menjaganya dari aspek jasmaniyah (biologis). Di lain pihak hubungan kyai dan santri juga berpola antara siswa dengan gurunya dalam rangka melakukan aktivitas transmisi intelektual. Seorang guru menyampaikan ilmu-ilmunya kepada santri-santri, dalam berbagai disiplin ilmu. Maka dari itu melihat relasi antara santri dan kyai itu, peran seorang kyai adalah multi fungsi, yakni sebagai mu’allim, mu’adib, musyrif, ustadh, dan murabbi.
Mengembangkan Pergerakan Pesantren
Mengambil i’tibar pada filosofi tindakan Allah memberikan mu’jizat kepada Rasul-Nya yang relevan dan up to date dengan permasalahan kemanusiaan pada masanya (khotib al-nasa bi qadri uqulihim). Pesantren juga membekali dirinya dalam proses pengembangannya, dengan melakukan perubahan dan dinamika kehidupan sosial di mana dia berada. Yang menjadi perhatian pesantren adalah perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan spektakuler di bidang teknologi kecerdasan buatan (intellegencia artificial) itu ternyata juga berakibat pada perubahan tata nilai keagamaan dan sosial. Secara rinci, Kehidupan global saat ini ditandai oleh 4 hal : 1. kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi 2. Perdagangan bebas 3. Kerjasama regional dan internasional yang mengikis sekat-sekat ideologis 4. Meningkatnya kesadaran HAM Maka untuk mengantisipasi perubahan tata nilai baru dalam era global tersebut, UNESCO, misalnya, telah mencanangkan 4 pilar belajar, yaitu learning to think, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
Lebih jauh bila melihat masa depan masyarakat dunia, yang menurut futurolog Amerika, John Naisbitt dan Patricia Aburdene disebut masyarakat global. Menurut keduanya masa yang akan datang ada sepuluh trend yang akan menaungi dan mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu: 1). Boom (meledaknya) ekonomi global tahun 1990-an, 2). Renaisans (kebangkitan) dalam seni, 3). Munculnya sosialisme pasar bebas, 4). Gaya hidup global dan nasionalisme kultural, 5). Penswastaan negara kesejahteraan, 6). Kebangkitan tepi pasifik, 7). Dasawarsa wanita dalam kepemimpinan, 8). Abad biologi, 9). Kebangkitan agama milenium baru, 10). Kejayaan individu. (John Naisbitt dan Patricia Aburdene. Jakarta: 1990, 3). Jika apa yang diprediksikan oleh dua futurolog itu benar, maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat niscaya akan berubah. Masalah dalam lapangan perekonomian yang dibicarakan oleh para ilmuwan satu abad yang lalu, mungkin sudah jauh tertinggal dari pada apa yang dipermasalahkan dewasa ini, apalagi untuk dasawarsa yang akan datang. Dalam menghadapi problem demikian, diperlukan strategi, motivasi, materi yang dilandasi oleh prinsip-prinsip yang luwes dan mantap.
Itulah kondisi makro yang sekarang ini sedang menghimpit dunia Pesantren. Pesantren sekarang sudah berfikir tentang apa yang bisa diperbuat di tengah atmosfir kehidupan global seperti itu serta konstribusi yang bisa disumbangkan untuk turut andil dalam membentuk kepribadian bangsa, seperti yang diberikan oleh para ulama-ulama pesantren tempo dulu. Atau bahkan pesantren bisa bertahan di tengah hegemoni produk-produk pemikiran dan tata nilai hidup globalisasi. Jika Nabi Ibrahim harus membekali diri dengan kekuatan argumentasi pemikiran, hal itu dimaksudkan untuk melayani dan mengimbangi masyarakatnya yang memiliki tradisi berfikir yang kuat, Nabi Musa dengan kemampuan magic karena kaumnya gemar dalam perdukunan, Nabi Isa dengan keahlian pengobatan karena kecenderungan umatnya pada dunia pengobatan, dan Nabi Muhammad Saw. dengan kemampuan sastra karena orang Arab punya kelebihan dalam tata bahasa, maka Pesantren juga akan tetap menggunakan mu’jizat yang pernah digunakan oleh para ulama-ulama masa lalu, dalam menghadapi dan menyelesaikan problematika masyarakat di abad 21.
Pesantren sekarang ini juga telah melakukan reorientasi pada visi dan misi pendidikannya sehingga pergerakan pesantren akan lebih membumi. Di era penjajahan, pesantren di berbagai daerah menjadi basis pergerakan melawan kolonialisme (sebagaimana diungkap oleh buku “Pesantren Studies”). Para kyai/ulama’ seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro mempelopori perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Namun ketika perlawanan fisik ini dirasa gagal, mereka mengalihkan perlawanan tersebut ke bidang pendidikan dengan membuat sistem pendidikan sendiri.( Karel A. Steenbrink, Jakarta: 1994). Lalu, pesantren saat ini telah memiliki peran signifikan seperti yang pernah dimilikinya pada era penjajahan dan era 60-70-an? Hanya persoalan krusial yang dihadapi masyarakat saat ini adalah lemahnya integritas moral, baik di tingkat masyarakat kelas menengah-atas maupun di kalangan grassroot. Indikator dari problem ini terlihat dari “budaya” korupsi yang seolah sudah menjadi bagian integral dari kehidupan sosial, maraknya tayangan pornografi di televisi, majalah, koran dan media cetak lainnya. Ada yang menyebut bahwa Indonesia saat ini merupakan surga pornografi kedua setelah Rusia. Sementara diketahui secara umum bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dalam situasi kenyataan seperti ini, apa yang seharusnya bisa diperbuat pesantren sangat banyak.
Saat ini, kadangkala pesantren juga terjebak dalam perjuangan kepentingan yang bersifat pragmatis-oportunis, terlebih lagi pada era pasca Orde Baru, terutama sekali pada saat-saat menjelang Pemilu. Pesantren dalam banyak kesempatan justru menjadi ajang pertarungan kepentingan perebutan kekuasaan atas nama Agama. Generasi masa lalu menjadikan politik sebagai media memperjuangkan kepentingan Agama, saat ini kadangkala Agama dijadikan ‘tunggangan’ kepentingan politik. Ini bisa terjadi seandainya visi dan misi Pesantren kurang jelas dalam konstalasi perubahan sosial yang sedang berlangsung. Untuk itu Pesantren saat ini ibarat sebuah kapal yang berlayar di tengah gelombang laut harus jelas dengan tujuan yang akan dicapainya. Ia akan berlayar menuju ke tempat yang diinginkan oleh nahkodanya.
Di tengah arus perubahan tata nilai sosial-budaya seperti itu, jika Pesantren tampak minim memiliki sense of crisis sama sekali. Maka tidak mengherankan saat-saat tertentu fungsi pesantren secara faktual kadang tergantikan oleh lembaga/institusi yang lain. Misalnya Gerakan dakwah kampus dalam banyak kasus justru lebih efektif dalam melakukan perubahan sosial. Atas dasar itulah maka pesantren perlu melakukan reorientasi gerak pengajaran dan pendidikan, serta perlu mulai mengkaji pendekatan baru dalam sistem pendidikannya. Sebagaimana dilakukan oleh para kyai-kyai pesantren  tempo dulu yang begitu brilian dalam ide dan gerakannya untuk memperjuangkan Islam dan bangsa Indonesia. Seperti para Wali Songo, Kyai Kholil Bangkalan Madura, Kyai Hasyim Asyari, Kyai Wahid hasyim, Kyai Abdurrohman Wahid, KH Wahab Hasbullah Jombang, Kyai Abdul Karim, KH Mahrus Ali Kediri, Kyai Musta’in Romli Rejoso Jombang, KH Thohir Widjaya Blitar, KH Bisri Mustofa Rembang, KH Ahmad Shidiq Jember, Kyai As’ad Samsul Arifin Situbondo, Kyai Zarkasyi Ponorogo dan lain sebagainya.
Para kyai di atas sebagaian murni pengasuh pesantren yang sehari-hari bergelut dalam rutinitas kesantrian, ada yang mubaligh keliling, mursyid thariqah, politisi, pendidik sekolah formal, pendiri pondok pesantren, baik salaf maupun modern. Ini mencerminkan tentang adanya figur yang visioner dari para ulama dalam bidangnya masing-masing, untuk memperjuangkan Islam li I’lai kalimatillahi hiya al-ulya.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah dan pertolongan kepada kita untuk mengenal kekurangan dan kelebihan kita dalam mengembangkan pesantren kita, untuk membangun rencana dan tindakan yang terbaik untuk masa depan umat Islam dan bangsa Indonesia. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab !
Tentang penulis : Beliau adalah Pengasuh PP Terpadu al-Kamal Blitar, Mustasyar Pengurus Cabang NU Kab Blitar, dan Pengajar di STAIN Tulungagung

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *