Penulis: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag.*
Di akhir pemerintahan bapak Susilo Bambang Yudoyono ini (SBY), santer isu tentang harga bahan bakar minyak (BBM). Apakah akan dinaikkan untuk mengurangi beban subsidi yang harus ditanggung oleh anggaran pemerintah, atau tetap dengan pertimbangan, masyarakat kita belum siap dengan kenaikan harga BBM tersebut. Isu tentang harga BBM ini kebetulan terjadi di masa akhir pemerintahan pak SBY, dan menyongsong pemerintahan baru pak Joko Widodo-Yusuf Kalla (Jokowi-JK). Tadi Malam juga muncul kebijakan baru dari para pemimpin kita yang duduk sebagai legislator DPR RI, mereka telah menghasilkan keputusan (menyepakati), -walaupun satu fkrasi walk-out dan tiga fraksi tidak setuju- untuk Rancangan Undang-Undang(RUU) Pemilu kada melalui DPRD. Masih banyak lagi problematika dari kebijakan-kebijakan dari para king maker, kadang diambil melalui perdebatan yang berkepanjangan.
Akhirnya debateble ini menggunakan berbagai perspektif dan sesuai kepentingan para komentator. Hasilnya juga macam-macam, ada yang setuju naik, dan ada yang tidak setuju dinaikkan. Dari sini penulis mencoba ikut untuk berkomentar dengan perspektif teologis saja, yakni ajaran yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Dalam ayat 90 surat al-Nahl, Allah berfirman, “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan”Allah menyuruh manusia berlaku adil. Berlaku adil terhadap Allah, diri sendiri, terhadap sesama, dan terhadap alam semesta, termasuk flora dan fauna.
Dalam setiap pengambilan kebijakan yang menyangkut orang banyak, Rasulullah senatiasa mengajarkan kepada kita bagaimana prosesnya. Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabat. Tujuannya agar hasil keputusan itu benar-benar memenuhi prinsip dan rasa keadilan manusia. Padahal kalau mau, Rasulullah Saw. dapat langsung mengambil keputusan sendiri dengan bimbingan wahyu, tanpa bertele-tele meminta pendapat para sahabat. Sebagai contoh apa yang terjadi pada kasus tawanan perang badar. Diapakan mereka ?. dengan bimbingan wahyu (surat Muhammad ayat:4) Sebenarnya beliau bisa saja mengambil keputusan, yaitu mereka dibebaskan atau membayar fidyah. Akan tetapi rasul tetap meminta pendapat Abu bakar dan Umar. Berlaku adil dalam menegakkkan keadilan dalam segala bidang kehidupan, bukan hanya dilihat dari sisi prosesnya, tapi juga kontribusinnya bagi masyarakat luas, sebagai sasaran utama berbagai kebijakan. Tradisi Rasul tadi mengajarkan Kepada kita agar dalam setiap pengambilan kebijakan Public (Public Policy) Selalu melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan.
Tradisi Rasul tersebut diteruskan oleh para Khalifah sesudahnya. Bahkan representasinnya diperluas. Untuk menciptakan kehidupan yang berkeadilan, Abu Bakar radliyaallahu ‘anhu dalam pengambilan kebijakan publiknya, bukan saja meminta masukan kepada sahabat terkemuka, tetapi juga kaumbadui pedalaman. Hal sama juga dilakukan oleh Umar bin Khatab, Khalifah kedua yang terkenal tegas dan berani ini tidak akan memberlakukan suatu kebijakan apabila ada pihak-pihak yang merasa berkeberatan. Dia lebih memilih menunda keputusannya, dan setelah semua unsur kebenaran dan keadilan terpenuhi, barulah dia memberlakukannya. Karena sikapnya yang kritis dan peka, Umar bin Khatab kadang-kadang tidak begitu saja percaya terhadap laporan-laporan resmi. Untuk menegakkan keadilan dia tidak segan-segan Turun kebawah. Mendengar langsung keluhan dan masalah yang sedang dihadapi rakyat adalah agenda yang biasa baginya. Bila ada aparat yang berlaku dzalim, tidak berbuat adil terhadap rakyat Umar tidak segan-segan memecatnnya.
Diceriterakan oleh Aswad bin Abi yazid, bahwa datang rombongan menghadap umar. Khalifah menanyakan tentang ikhwal aparat setempat Kepada rombongan tersebut. Dan mereka biasannya menjawab :” baik-baik saja”. Umar bertanya lagi, Apakah aparat itu mau menjenguk rakyat yang sedang sakit?. Mereka menjawab “benar”, Umar bertanya lagi, Apa yang diperbuat terhadap orang yang sedang kekurangan, fakir miskin, orang tertindas?. Apakah aparatmu mau duduk di depan pintunnya?, Karena satu dan lain hal mereka menjawab”tidak pernah”. Mendengar jawaban seperti itu Umar memecatnya dan membatalkan semua kebijakan yang telah ditetapkannya. Bagaimana sikap Umar jika suatu kebijakan telanjur diputuskan oleh para pejabat?. Dalam kaitan itu Sahabat Umar menegaskan bahwa Keadilan dan kebenaran tidak boleh berdampingan dengan kedzaliman dan kebatilan. Mencabut keputusan untuk kembali menegakkan keadilan dan kebenaran adalah lebih baik dari pada terus dalam kedhaliman?. Justru itulah yang selalu ditunggu-tunggu.
Seandainya semangat para pemimpin-pemimpin kuno yang teguh menegakkan keadilan tersebut, menjadi inspirasi para pemimpin kita, tentunya debateble tentang Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU-Pilkada), tidak akan terlalu lama menghiasi berita-berita politik atau legislasi di tanah air kita ini. Karena semua akan berpihak kepada kepentingan rakyat dan keadilan, tidak semata-mata kepentingan sesaat golongan tertentu atau sekelompok partai politik saja. Memang suasana politik di tanah air Indonesia belum stabil benar, masih dinamis seiring dengan perkembangan kegiatan partai politik dan ketata negaraan di Indonesia. Sebagaian partai politik belum solid, sebagian yang lain masih sibuk reformasi kepengurusan, atau mungkin sebagian berikhtiyar menyongsong peralihan kekuasaan. Tetapi apapun dinamika partai politik seharusnya tetap dalam koridor menyejahterakan rakyatnya. Inilah yang kita tunggu-tunggu dari para pemimpin kita hari ini, apapun hasilnya legislasi yang mereka musyawarahkan, tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, sebagaimana yang dipraktekkan oleh para pemimpin-pemimpin Muslim masa awal (al-Salaf al-Shalih). Wa Allahu A”lam!
*Pengajar IAIN Tulungagung dan Pengasuh PP Terpadu al-Kamal Kunir Wonodadi Blitar