Penulis: Ust. Dr. K. Asmawi Mahfudz, M.Ag.
Artinya:
29. (Musa berkata): “Hai kaumku, untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi. Siapakah yang akan menolong kita dari adzab Allah jika azab itu menimpa kita!” Firaun berkata: “Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar”.
30. Dan orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa (bencana) seperti peristiwa kehancuran golongan yang bersekutu.
31. (Yakni) seperti keadaan kaum Nuh, Ad, Tsamud dan orang-orang yang datang sesudah mereka. Dan Allah tidak menghendaki berbuat kelaliman terhadap hamba-hamba-Nya.
32. Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan siksaan hari panggil-memanggil,
33. (yaitu) hari (ketika) kamu (lari) berpaling ke belakang, tidak ada bagimu seorang pun yang menyelamatkan kamu dari (azab) Allah, dan siapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorang pun yang akan memberi petunjuk.
Ayat-ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang kepongahan dan kesombongan Fir’aun atas peringatan dari keluarga dalam istananya sendiri. Seorang laki-laki yang beriman telah mengingatkan Fir’aun supaya tidak melanjutkan rencananya untuk membunuh Fir’aun tanpa alasan yang benar. Apalagi Musa memang benar-benar utusan Allah yang dikirim untuk memberikan pelajaran tauhid kepada rakyat Mesir yakni Fir’aun dan kaumnya. Sesuai dengan Firman Allah di atas, Musa berkata kepada kaum nya,” wahai kaumku untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi”
Maksud dari peringatan Musa kepada Fir’aun adalah Allah telah memberikan banyak nikmat kepada kamu berupa kekuasaan dan kemulyaan di muka bumi, maka syukurilah semua anugerah Allah tersebut dengan patuh dan beriman kepadanya dan membenarkan utusannya. Dan jauhilah ancaman siksa Allah seandainya kalian mendustakaan rasul-rasulnya (Ibn Abbas, Syirkah Nur Asia, IV, 78). Juga bisa dipahami dengan keingkaran Fir’aun kepada Allah dan Musa, berarti dia siap untuk menghadapi siksa Allah di kemudian Hari. Musa juga telah memberikan peringatan tentang ancaman Allah, kalau Fir’aun tetap ingkar kepadanya. Dalam al-Qur’an disebutkan” Siapakah yang akan menolong kita dari adzab Allah jika azab itu menimpa kita” Artinya semua kekuasaan dan tentara fir’aun tidak akan mungkin untuk menghadapi siksa Allah, seandainya Allah murka kepadanya.
Tetapi dengan peringatan musa tersebut, Fir’aun tetap kepada pendiriannya untuk melaksakan rencana pembunuhan dan ingkar kepada Allah dan Rasulnya. Jawaban Fir’aun yaitu, ” Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik, dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar “. Jawaban seperti ini sebenarnya rekayasa Fir’aun supaya apa yang dia perbuat terkesan jalan benar. Padahal di dalam hatinya, Fir’aun juga mengakui kebenaran ajaran yang di bawa oleh Musa. Inilah bukti kedustakaan dari Fir’aun ketika tidak mengakui kebenaran yang dibawa dan diutusnya Musa As.
Padahal Hizqil, nama laki-laki yang beriman, telah memberikan argumentasi-argumentasi dalam memberikan masukan kepada Fir’aun dan kaumnya, baik secara sederhana maupun akibat jangka panjang di akhirat. Ini dapat dipahami dari al-Qur’an yang menjelaskan adanya adzab yang bakal dierima oleh Fir’aun dan kaumnya. Juga kehancuran umat-umat terdahulu diakibatkan tidak mau meyakini ajaran Tauhid (menyekutukan Tuhan) dan sikap kedustakaan terhadap Rasul-Rasulnya. Tidak hanya itu saja gambaran penderitaan orang-orang kafir di akhirat juga dijadikan oleh Hizqil sebagai hujjah (pedoman) kebenaran argumentasinya.
Artinya dialektika Fir’aun dan sepupunya (Hizqil) yang beriman, memberikan hikmah kepada kita tentang orang kafir yang keras hati dengan pendiriannya. Yaitu Fir’aun yang dengan pertimbangan subyektif nafsunya tidak mau menerima obyektifitas kebenaran dari orang lain, di luar dirinya. Artinya Fir’aun dapat dijadikan sebagai symbol tirani yang selalu mengambil keputusan berdasarkan hawa nafsu, kesombongan, keinginan dirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan argumentasi pihak lain yang dimungkinkan terdapat kebenaran di dalamnya.
Sementara Laki-laki beriman yang memberikan masukan kepada Fir’aun tersebut sebagai symbol ketulusan, keikhlasan, dan rendah diri dari seorang yang beriman. Walaupun dia tahu bahwa Fir’aun tidak mungkin untuk diingatkan, tetapi prinsip kebenaran yang Hizqil pegangi mengharuskan dia untuk tetap memberi peringatan kepada Fir’aun dan kaumnya. Di samping itu pelajaran lagi yang dapat diambil dari Hizqil, adalah masukan-masukan yang dia berikan multi dimensi atau mengandung ragam perspektif. Baik perspektif duniawi mapun ukhrawi. Ini adalah cermin dari seorang mukmin yang dalam setiap tindakannya harus menggambarkan sebuah tindakan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk itu sebagai muslim dialektika tersebut dapat dijadikan pedoman dalam menyampaikan dan menerima ajaran-ajaran Allah dan Rasulullah dengan keikhlasan, kerendahan hati, obyektifitas, dan berperspektif duniawi dan ukhwawi. Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.
Tentang penulis: Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar dan menjadi salah satu pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung.
Artinya:
29. (Musa berkata): “Hai kaumku, untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi. Siapakah yang akan menolong kita dari adzab Allah jika azab itu menimpa kita!” Firaun berkata: “Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar”.
30. Dan orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa (bencana) seperti peristiwa kehancuran golongan yang bersekutu.
31. (Yakni) seperti keadaan kaum Nuh, Ad, Tsamud dan orang-orang yang datang sesudah mereka. Dan Allah tidak menghendaki berbuat kelaliman terhadap hamba-hamba-Nya.
32. Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan siksaan hari panggil-memanggil,
33. (yaitu) hari (ketika) kamu (lari) berpaling ke belakang, tidak ada bagimu seorang pun yang menyelamatkan kamu dari (azab) Allah, dan siapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorang pun yang akan memberi petunjuk.
Ayat-ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang kepongahan dan kesombongan Fir’aun atas peringatan dari keluarga dalam istananya sendiri. Seorang laki-laki yang beriman telah mengingatkan Fir’aun supaya tidak melanjutkan rencananya untuk membunuh Fir’aun tanpa alasan yang benar. Apalagi Musa memang benar-benar utusan Allah yang dikirim untuk memberikan pelajaran tauhid kepada rakyat Mesir yakni Fir’aun dan kaumnya. Sesuai dengan Firman Allah di atas, Musa berkata kepada kaum nya,” wahai kaumku untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi”
Maksud dari peringatan Musa kepada Fir’aun adalah Allah telah memberikan banyak nikmat kepada kamu berupa kekuasaan dan kemulyaan di muka bumi, maka syukurilah semua anugerah Allah tersebut dengan patuh dan beriman kepadanya dan membenarkan utusannya. Dan jauhilah ancaman siksa Allah seandainya kalian mendustakaan rasul-rasulnya (Ibn Abbas, Syirkah Nur Asia, IV, 78). Juga bisa dipahami dengan keingkaran Fir’aun kepada Allah dan Musa, berarti dia siap untuk menghadapi siksa Allah di kemudian Hari. Musa juga telah memberikan peringatan tentang ancaman Allah, kalau Fir’aun tetap ingkar kepadanya. Dalam al-Qur’an disebutkan” Siapakah yang akan menolong kita dari adzab Allah jika azab itu menimpa kita” Artinya semua kekuasaan dan tentara fir’aun tidak akan mungkin untuk menghadapi siksa Allah, seandainya Allah murka kepadanya.
Tetapi dengan peringatan musa tersebut, Fir’aun tetap kepada pendiriannya untuk melaksakan rencana pembunuhan dan ingkar kepada Allah dan Rasulnya. Jawaban Fir’aun yaitu, ” Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik, dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar “. Jawaban seperti ini sebenarnya rekayasa Fir’aun supaya apa yang dia perbuat terkesan jalan benar. Padahal di dalam hatinya, Fir’aun juga mengakui kebenaran ajaran yang di bawa oleh Musa. Inilah bukti kedustakaan dari Fir’aun ketika tidak mengakui kebenaran yang dibawa dan diutusnya Musa As.
Padahal Hizqil, nama laki-laki yang beriman, telah memberikan argumentasi-argumentasi dalam memberikan masukan kepada Fir’aun dan kaumnya, baik secara sederhana maupun akibat jangka panjang di akhirat. Ini dapat dipahami dari al-Qur’an yang menjelaskan adanya adzab yang bakal dierima oleh Fir’aun dan kaumnya. Juga kehancuran umat-umat terdahulu diakibatkan tidak mau meyakini ajaran Tauhid (menyekutukan Tuhan) dan sikap kedustakaan terhadap Rasul-Rasulnya. Tidak hanya itu saja gambaran penderitaan orang-orang kafir di akhirat juga dijadikan oleh Hizqil sebagai hujjah (pedoman) kebenaran argumentasinya.
Artinya dialektika Fir’aun dan sepupunya (Hizqil) yang beriman, memberikan hikmah kepada kita tentang orang kafir yang keras hati dengan pendiriannya. Yaitu Fir’aun yang dengan pertimbangan subyektif nafsunya tidak mau menerima obyektifitas kebenaran dari orang lain, di luar dirinya. Artinya Fir’aun dapat dijadikan sebagai symbol tirani yang selalu mengambil keputusan berdasarkan hawa nafsu, kesombongan, keinginan dirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan argumentasi pihak lain yang dimungkinkan terdapat kebenaran di dalamnya.
Sementara Laki-laki beriman yang memberikan masukan kepada Fir’aun tersebut sebagai symbol ketulusan, keikhlasan, dan rendah diri dari seorang yang beriman. Walaupun dia tahu bahwa Fir’aun tidak mungkin untuk diingatkan, tetapi prinsip kebenaran yang Hizqil pegangi mengharuskan dia untuk tetap memberi peringatan kepada Fir’aun dan kaumnya. Di samping itu pelajaran lagi yang dapat diambil dari Hizqil, adalah masukan-masukan yang dia berikan multi dimensi atau mengandung ragam perspektif. Baik perspektif duniawi mapun ukhrawi. Ini adalah cermin dari seorang mukmin yang dalam setiap tindakannya harus menggambarkan sebuah tindakan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk itu sebagai muslim dialektika tersebut dapat dijadikan pedoman dalam menyampaikan dan menerima ajaran-ajaran Allah dan Rasulullah dengan keikhlasan, kerendahan hati, obyektifitas, dan berperspektif duniawi dan ukhwawi. Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.
Tentang penulis: Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar dan menjadi salah satu pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung.