Oleh : Muh. Imam Sanusi Al- Khanafi.
Pondok pesantren merupakan sarana tempat dimana seseorang mencari ilmu, selain itu juga merupakan sebuah sarana bengkel untuk merekonstruksi pada psikologi seseorang[1]. Seorang pencari ilmu inilah dinamakan santri. Santri secara umum ditunjukkan kepada seseorang yang belajar dipondok pesantren. Dalam kamus ilmiah dipaparkan bahwa santri yaitu orang yang mendalami agama islam, atau bisa dikatakan orang yang bersungguh- sungguh dalam hal ibadah.
Santri dalam tingkatan akademik bisa dikatakan siswa/tholib, ini merupakan tingkatan dasar bagi siswa dasar (SD/MI), menengah pertama (smp/mts), tingkatan menengah keatas (sma/ ma). Sedangkan dalam tingkatan perguruan tinggi (mahasiswa), santri naik derajat menjadi mahasantri. Jadi santri tidak mengandung makna implisit, tetapi eksplisit (universal).[2]
Nama santri secara implisit (khusus) tidak hanya dilingkungan pondok pesantren, tetapi mencakup diseluruh penjuru nusantara. Seorang santri tidak cuma dilihat dari segi label (symbol) yang digunakan suatu lembaga, tetapi merupakan manifestasi dari psikologi seseorang, baik dalam hal khablu minallah ( من الله حبل ) dan khablu minannas (حبل من النّاس). Dari tingkah laku (adab) menjalankan amar ma’ruf nahi munkar inilah seseorang bisa dikatakan santri. Dipondok pesantren walaupun mendapat label seorang santri, tetapi dalam hal psikologi menunjukan kemunkaran, ini secara hakekatnya bukan merupakan seorang santri. Manusia kadang- kadang dengan mudah mengatakan seseorang yang ketika ada manusia yang bersorban, menggunakan kopyah, berjenggot, langsung menjustifikasi bahwa manusia tersebut adalah seorang santri.[3]
Santri sendiri memeliki makna yang unik, santri secara permainan bahasa memiliki beberapa makna yang pertama ialah “sabar ngantri”. Maksudnya adalah bagaimana seorang santri bisa menerapkan jiwa kesabaran mengantri dalam hal kebaikan, karena pada zaman sekarang sangat tidak mudah antri dalam hal kesabaran. Padahal penerapan sabar sudah termaktub didalam kitab suci umat islam. Allah SWT berfirman :
إن الله مع الصّابرين
“Sesungguhnya Allah SWT beserta orang- orang yang sabar” (Qs. Al-Baqarah : 153)
Jadi, sabar juga termasuk salah satu tingah laku sesorang santri. Santri harus memiliki kemampuan yang efektif untuk bisa mengendalikan hawa nafsu yang timbul pada dirinya dan pada diri orang lain. Semakin nafsu birahi dapat dikendalikan Allah SWT akan membalasnya dengan surga yakni kenikmatan yang hanya dapat dimiliki oleh santri yang selalu taat dengan perintahNya. Selain itu santri harus memiliki prinsip bahwa sikap dan penerapan itu jauh lebih penting dari pada ucapan. Seperti dalam kata- kata mutiara :
لسان الحال افصح من لسان المقال
“Kenyataan atau kpribadian jauh lebih penting dari pada ucapan”
Selain itu, Santri juga memliki makna sun berarti matahari (penerang) pada kebenaran yang nyata dan three berarti tiga. Maksud dari penafsiran kata ini ialah santri harus mengamalkan penerang pada tiang Agama Islam yakni Islam, Iman dan Ihsan. Yang mana ini bisa dikatakan tiga konsep yang ada pada diri seorang Santri, yakni :
- Islam
Islam adalah din (jalan) dimana seluruh umat manusia tunduk kepada Allah SWT. Manusia pada hakikatnya diciptakan oleh sang Khalik untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT. Dengan menamkan jiwa pada diri manusia dengan bantuan ucapan lisan قل هو الله احد ” “(katakanlah bahwasanya tidak ada tuhan selain Allah Swt). Sebab manusia ketika lahir sudah tunduk kepada Allah SWT, pada saat masa pertumbuhan inilah manusia apabila memliki jiwa tunduk kepada Allah SWT termasuk jiwa seorang santri. Islam merupakan agama yang timbul pada jiwa seorang santri. Tetapi apabila dari masa pertumbuhan jiwa seseorang sudah ternodai oleh lingkungan internal dan eksternal yang menyebabkan manusia tersebut terjerumus dalam lubang kesesatan, manusia tersebut tidak bisa dikatakan seorang santri walaupun semasa lahirnya sudah memiliki jiwa seorang santri. Maka dari itu seorang santri mulai dari masa lahir samapai masa kanak- kanak harus mempertahankan jiwa seorang santri sampai masa dimana manusia kembali disisi Allah SWT pada akhir hayatnya yakni hari kiamat.
- Iman
Iman adalah percaya kepada Allah SWT, malaikatNya, kitabNya, nabi dan hari kiamat serta qodlo dan qodarNya. Iman sudah tertanam pada jiwa Manusia sejak didalam kandungan. Dimana manusia ketika lahir akan melalui proses percobaan untuk menyeleksi iman yang ada dalam diri manusia. Karena manusia ketika sudah masa perkembangan, mulai bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, manusia akan menentukan nasibnya. Semakin manusia dapat mempertahankan keimanannya dari proses kanak- kanak, remaja, dewasa, hingga masa tua, itulah manusia yang bisa menanamkan jiwa seorang santri. Allah SWT berfirman :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُون
“Sesungguhnya orang yang beriman adalah mereka yang disebut nama Allah dan Rasul gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Allah mereka bertawakal” (Qs.Al-Anfal :2)
Jadi Santri tidak hanya dilihat segi empiris (nyata) tetapi jiwa yang ada pada diri kita harus selalu ingat kepada Allah SWT dimanapun berada. Itulah ciri Santri pada tingkat keimanan.
- Ihsan
Ihsan adalah Apabila ketika manusia beriman (beribadah) kepada Allah, secara persepsi Manusia melihat Allah SWT pada hatinya, apabila manusia tersebut tidak bisa melihat Allah SWT, Allahlah yang melihat hambaNYA. Rasulullah Saw bersabda :
(أن تعبدالله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك (رواه مسلم
“Engkau beribadah kepada Allah seakan- akan engkau melihatNya. Jika engkau tidak melihatNya, maka Dia melihat engkau”(HR. Muslim)
Hadits diatas menjelaskan bagaimana kesungguhan santri dalam menerapkan Ihsan, yang mana Ihsan diaplikasikan setelah melalui proses pengamalan Islam dan Ihsan. Dengan pengamalan kedua tiang Agama tersebut Ihsan adalah salah satu penyempurna dari jalan seorang santri dalam mengamalkan proses tazkiyatun nafs (jalan untuk membersihkan jiwa pada diri manusia). Dengan jalan inilah seorang santri betul- betul mengetahui maksud dan tujuan seorang santri dalam kehidupan didunia dan akhirat.
Begitulah filosofis dari seorang santri, yang mana jika merasa benar- benar santri manfaatkan betul dalam kehidupan bermasyrakat. Karena Tanpa Jiwa seorang santri kehidupan akan pincang. Santri ibarat obat dalam kehidupan masyarakat, dan mampu bersaing dalam era globalisasi. Semoga bermanfaat…….!!! Wa Allahu A’lamu bi Ash-Showab.
Tentang Penulis : Penulis adalah mahasiawa jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah di kampus IAIN Tulungagung dan sebagaai salah satu Mahasantri Ma’had Ali Ashabul Ma’arif Al-Kamal Blitar.
[1] Psikologi menurut pakar psikolog bermakna jiwa atau tingkah laku seseorang. Jadi bisa disimpulkan Psikologi adalah sesuatu yang timbul pada diri manusia baik secara hati nurani dan sikap pada manusia.
[2] Eksplisit menurut kamus ilmiah bermakna cakupan secara luas atau bisa dikatakan universal, dinyatakan secara terang-terangan. Sedangkan implisit bermakna cakupan yang sempit atau bisa dikatakan ruang lingkup yang ada pada dalam drinya.
[3] Menjustifikasi menurut kamus ilmiah bermakna memberi keputusan, mengadili pada obyek.