Alkamalblitar.com- Kamis Malam (10/11), Ma’had Aly Ashabul Ma’arif Al-Kamal menggelar kajian ilmiah dengan muhadhir atau narasumber, Dr. KH. Asmawi, M.Ag. Kajian ini merupakan salah satu respon terhadap apa yang tengah terjadi di Indonesia. Untuk itu tema yang di usung adalah Kepemimpinan Dalam Politik Sunni.
Beberapa pokok materi yang disampaikan yaitu, Sunni atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Ahli Sunnah wal Jama’ah merupakan paham yang berdasarkan pada tradisi Nabi Muhammad SAW, disamping berdasar pada Al Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pertama. Ahlusunnah memiliki pengertian orang-orang yang mengikuti Nabi, dan Jama’ah berarti mayoritas umat. Dengan demikian makna kata Ahlusunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat, baik dalam syariat (hukum agama Islam) maupun aqidah (kepercayaan).
Berbedaan yang menonjol antar Sunni dengan Syi’ah, yakni terletak pada kalimatul hak atau soutul hak (pembawa kebenaran) pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW apakah dilimpahkan kepada umat atau dikembalikan kepada ahlu al bait. Kaum Sunni mempercayai bahwa penerus Nabi Muhammad (bukan menggantikan sebagai Nabi) pasca Nabi wafat dipilih dengan cara syura. Sedangkan kaum Syi’ah meyakini bahwa Ali bin Abi Tholib adalah al Khalifah al Mukhtar (kholifah terpilih) dari Nabi Muhammad SAW, karena Nabi Muhammad sebelum wafat nenentukan Ali sebagai pengganti Beliau. kedudukan Ali dalam hal ini adalah sebagai washi Nabi. Dan washi sesudah Ali adalah Hasan, kemudian Husain dan seterusnya.
Paradigma pemikiran politik Sunni, secara umum didasarkan pada empat prinsip umum. Pertama,berdasarkan keutamaan keturunan. Kholifah atau imam (kepala negaraa) harus dari keturunan Quraisy. Point ini bisa terwujud hanya sampai pada dinasti Umayah, setelah itu (dinasti Abbasyiah) tidak menerapkan prinsip pemimpin harus dari kaum Quraisy. Kedua, baiat sebagai syarat yang disepakati oleh mayoritas umat Islam dalam pemilihan kepala negara yang dilakukan oleh ahl al hall wa al ‘aqad. Dengan baiat itu, mereka mengadakan kontrak sosial dengan kepala Negara terpilih baik disukai atau tidak, selama ia tidak melakukan perbuatan maksiat. Ketiga, prinsip syura (musyawarah atau konsultasi), yakni pemilihan kholifah melalui musyawarah atau konsultasi. Prinsip ini didasarkan pada nash al Qur’an yang menekankan pentingnya mengadakan musyawarah dalam berbagai urusan. Keempat, prinsip keadilan. Prinsip ini didasarkan pada nash al Qur’an (al Nisa ayat 135, al Maidah ayat 8 dan lain-lain). keadilan menurut Islam bersifat universal baik dalam perundang-undangan maupun dalam praktek, bahkan terhadap musuhpun harus berlaku adil. Wa Allahu A’lamu Bi Ash-Showab. [Bahru.Red]