Oleh. Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M. Ag*
Mencermati peta politik Nasional akhir-akhir ini, terutama setelah penetapan calon Gubernur dan wakil Gubernur DKI Jakarta, terasa sekali menaikkan suhu dan iklim politik Nasional. Di tambah lagi fenomena beberapa elemen masyarakat yang melaporkan Calon Gubernur Basuki Cahaya Purnama atau Ahok ke Polisi dalam kasus penistaan Agama, suasana menjadi semakin panas. Seiring dengan itu, pada hari jumat kemarin, tanggal 4 November 2016, komponen umat Islam Indonesia beserta stake holdernya, akan mengadakan demostrasi dengan tuntutan tindak lanjut penegakan Hukum terhadap, calon Gubernur Ahok. Berdasar ini itu Kepolisian Republik Indonesia menetapkan Indonesia sebagai siaga satu.
Beberapa kejadian di Jakarta, yang dimotori oleh para organisasi keagamaan, organisasi masyarakat, lembaga Swadaya Masyarakat(LSM), para Ulama dan kyai, mencerminkan betapa budaya politik dan Agama selalu menjadi tema besar dalam kehidupan Umat Islam, baik pada masa klasik sahabat, tabi’in samapai pada masa modern kontemporer sekarang ini. Acara tersebut nampaknya juga akan jadi momentum bagi umat Islam baik kelompok maupun pribadi, untuk mengevaluasi dirinya, selama ini yang telah berkhidmah (mengabdi) kepada umat, tidak diragukan lagi dalam berbagai bidang kehidupan Umat Islam,baik dalam bidang ritual ibadah, sosial (ijtima’iyah), pendidikan (tarbiyah), politik (siyasah), maupun ekonomi (iqtishadiyah).
Dalam konteks Pilkada DKI ini, akan menjadi ujian tersendiri bagi umat Islam, ujian yang dimaksud adalah pesta demokrasi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta akan mengalami ujian dalam berkhidmah untuk umat dalam bidang politik, apakah nantinya terseret dalam gebyar politik praktis yang pragmatis, atau istiqamah konsisten dengan politik keumatan dan kebangsaan?.Jawabannya tentunya akan disinggung dalam hajatan lima tahunanrakyat Jakarta tersebut. Sebagai referensi bagi umat Islam Indonesia, apa yang juga dialami oleh para Ulama di beberapa negara Muslim, seperti Iran, Mesir, Saudi Arabia, Maroko, India, dan Turki. Posisi Ulama sebagai pewaris Nabi Saw.sering bersinggungan dengan aktivitas masyarakat dalam berbagai bidangnya (Nikki R. Keddie (Ed), (California: 1978). Mulai dari masalah aqidah (teologi), ekonomi, budaya, seni, musik, ataupun politik. Apalagi dalam rentang waktu yang panjang, mulai zaman Rasul sampai sekarang, Institusi Ulama mengalami dinamika sesuai dengan gerak perubahan masyarakatnya. Contoh paling gress, dalam konteks ke-Indonesiaan, kasus pilihan Gubernur DKI Jakarta yang akan datang, semua orang yang merasa sebagai kandidat Cagub-Cawagub pasti akan merapat kepada ulama DKI Jakarta, sebagai tokoh yang representative untuk mendapatkan legitimate teologis maupun politis. Untuk itu di sinilah kita perlumemahamiposisi tentang “Ke-ulama’an” dari masa ke masa, supaya institusi Ulama di dudukkan pada proporsinya. Baik ulama sebagai simbol keagamaan pewaris Nabi (waratsah al-anbiya’), ilmuwan, cendekiawan maupun sebagai stake Holder masyarakatnya.
Kata “ulama” hanya terdapat dua kali pemakaian dalam al-Qur’an, yaitu:“Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya? Dan kalau al-Qur’an itu Kami turunkan kepada salah seorang dari golongan bukan Arab, lalu ia membacakannya kepada mereka (kuffar); niscaya mereka tidak akan beriman kepadanya”. Dan satu ayat lagi,“Dan demikian pula di antara manusia, bintang-bintang melata dan binatang-binantang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.Kedua ayat ini memakai term ulama dalam cakupan yang luas. Ulama bisa berlaku pada orang-orang Bani Israil, tidak hanya bangsa Arab (Islam). Ulama adalah orang-orang yang mengetahui kebesaran Allah melalui alam kosmos (kauniyah), sehingga menimbulkan perasaan khasyyah dan khauf kepada Allah (Al-Qurtubi, tt: XIV, 243). Substansi ulama semacam ini merupakan performance para ulama sebelum abad pertengahan. Mereka sekali-kali tidak mengenal istilah dichotomi ilmu. Ilmu yang mereka geluti meliputi hampir semua cabang ilmu.
Kedatangan Islam menurut kajian ilmiah tidak lepas dari nuansa-nuansa politis. Ini bermula dari kisah ‘Afif al-Kindi, bahwa dirinya sebagai pedagang pernah datang ke Makkah saat musim haji, kemudian Afif berjumpa al-‘Abbas (paman Nabi saw.). Pada saat itu Afif menyaksikan seorang laki-laki (Nabi Muhammad) sedang shalat, lalu disusul seorang perempuan (Khadijah) dan seorang pemuda (Ali). ‘Afif terus menanyakan perihal orang-orang (aneh) tersebut kepada al-‘Abbas. Katanya “apa Agama ini?, Abbas menjawab: “Ini adalah Muhammad ibn Abdillah putera saudara laki-lakiku, dia menganggap dirinya sebagai Rasulullah dan berobsesi untuk menggulingkan Persia dan Roma” (Ibn Atsir, 1979:57). Dengan demikian, doktrin Islam selain mengemban syari’at dan ‘aqidah, juga membawa misi siyasah (politik). Ketiga elemen tersebut merupakan unsur-unsur yang tidak bisa dipisah-pisahkan dalam kehidupan umat Islam. Namun dari sini ini pula akar pemicu terjadinya ikhtilaf (kontroversi) di kalangan mereka.
Politik umat sering diidentikkan dengan kehidupan dalam bernegara, karena negaralah institusi yang paling tinggi untuk mengatur segala urusan profan seseorang. Pemahaman ini mengantarkan discours yang berkepanjangan mengenai hubungan antara negara dengan agama dalam Islam. Diskusi tersebut—saat ini—telah membelah umat Islam menjadi dua. Kelompok pertama yang menginginkan bentuk kekhalifahan sebagai satu-satunya bentuk negara Islam, sementara yang lain lebih bersikap moderat dan mentolerir semua bentuk negara, sepanjang nilai-nilai Islam bisa dijalankan dalam negara tersebut. Bagaimanakah dengan sikap para ulama klasik?
Integritas ulama-umara tersebut tidak hanya terbatas pada level elite politik saja, hampir semua lini dalam sektor kepemerintahan waktu itu juga dipimpin oleh seorang umara yang ulama. Misalnya, para gubernur (amir), panglima perang, amil zakat, bendaharawan negara, sekretaris negara dan sebagainya. Tentu kemudian muncul pertanyaan, mungkinkah kondisi ideal khilafah Islamiyah tersebut bisa diwujudkan terus?
Sejarah mencatat, bahwa pasca Sahabat besar (khulafa’ al-rasyidin) di bawah kekuasaan Bani Umayah telah terjadi perubahan dan perombakan cukup besar dalam bidang kenegaraan. Sistem suksesi yang semula berdasarkan syura(demokrasi) digantikan dengan cara turun temurun (dinasti). Perubahan ini membawa dampak kepada pencairan integritas ulama-umara. Pada dinasti ini hampir semua pemimpin negara tidak memiliki kapasitas sebagai seorang ulama, terkecuali Umar bin Abd. Aziz (W.101 H).Mereka lebih merupakan seorang raja (sistem feodal) ketimbang sebagai khalifah. Bahkan tidak jarang diantara mereka memiliki perangai tak layak sebagai seorang pemimpin. Tipologi semacam ini masih terus bertahan pada masa Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Begitu pula pada masa pasca hancurnya Baghdad oleh Gulaghu Khan yang diteruskan oleh Dinasti Turki Usmani hingga jatuhnya wilayah umat Islam ke tangan kolonialisme Barat. Setelah umat Islam terkungkung dalam cengkraman penetrasi Barat, mereka banyak mengadopsi sistem pemerintahan ala Barat. Maka hampir semua negara Islam tidak terlepas dari sistem “jumhuriyah” (republik) ataupun demokrasi.
Meskipun terjadi pasang surut posisi ulama-umara’ dalam sejarah Islam, di sini sebenarnya ada titik-titik persamaan mengenai legitimasi politik para ulama masa klasik, baik pada masa Sahabat, bani Umayah ataupun bani Abbasiyah. Perubahan corak sistem pemerintahan dalam siasah umat Islam tidak akan melenturkan legitimasi para ulama terhadap lapangan politik(Sa’id Aqil, 1998). Mereka bisa berada di dalam sistem untuk menyatu sebagai pelaku politik, ataupun menjaga jarak untuk menjauhi pusat kekuasaan. Meskipun demikian, mengulang kembali integritas ulama-umara merupakan upaya yang sangat berat dan melelahkan. Faktor meluasnya wilayah umat Islam dan membaurnya kebudayaan umat manusia di dunia, hingga munculnya era globalisasi dan informasi turut menguatkan tesis di atas. Namun, substansi dan esensi doktrin-doktrin Islam tidak akan pernah hilang dari percaturan politik global, tanpa harus menformalkan ajaran Islam. Di sinilah kreatifitas ulama dinantikan umat.
Demikian pula dalam konteks ke-Indonesiaan kedudukan Ulama dihadapkan kepada umara mengalami dinamika sesuai dengan proses alami yang mengitarinya. Kadang sebagian dari ulama terdapat kelompok yang menjaga jarak dengan kekuasaan. Misalnya para ulama kampung yang jauh dari pusat kekuasaan. Sementara sebagian yang lain terlihat asyik masuk dalam wilayah kekuasaan itu sendiri, seperti mereka-mereka yang menduduki jabatan-jabatan penting dalam struktur pemerintahan. Mulai dari kepala Desa sampai kepada jabatan Menteri. Tetapi ada juga golongan yang bertindak sebagai penyeimbang kekuasaan umara’(eksekutif). Kelompok yang terakhir ini diisi oleh para ulama pesantren, yang secara aktiv juga terlibat dalam pemberdayaan masyarakat. Kelompok ulama yang terakhir ini, dengan jaringan institusi pesantren, alumni, santri, wali santri dan masyarakat pada umumnya menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian orang yang menginginkan jabatan politik kekuasaan di wilayah tertentu, memanfaatkan power (kekuatan) ulama sebagai legitimasi. Dengan mendapatkan legitimasi ulama, seseorang akan mendapatkan kekuatan teologis, sosiologis, sekaligus ekonomis dan politis.
Semoga hajat besar rakyat DKI dapat menjadi laborarium bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berdasar Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, berbasis masyarakat religious mayoritas muslim. Maka semua komponen bangsa, mulai Ulama- nya, umat dan pemimpinnya dalam menjalani relasi dan interaksi yang ideal akan mendapatkan hasil yang dapat bermanfaat untuk seluruh umat Islam Indonesia, terutama yang berkaitan dengan dinamika ulama dan umara’,serta benar-benar membawa keberkahan dan kemaslahatan, sesuaidengan tujuan Islam,terwujudnya masyarakat adil dan makmur dalam naungan ridla Allah Swt. (baldah thayyibah wa rabbun ghafuur). Amiiin!
* Pengajar IAIN Tulungagung dan Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal