Islam dan Kebangsaan (Aksi dan Peranan Santri dalam Mewujudkan Persatuan Indonesia)

Oleh : Muh. Imam Sanusi Al-Khanafi, S.Ag*
Pada tanggal 22 Oktober merupakan hari Santri Nasional, dikatakan demikian dikarenakan pada tanggal tersebut merupakan peristiwa yang paling mengenang, diantaranya peristiwa  kyai dan santri. Sebenarnya presiden Indonesia menetapkan hari santri pada tanggal 1 Muharram. Akan tetapi,  tanggal tersebut merupakan hari seluruh umat Islam seluruh dunia. Maka dari itu, pada waktu musyawarah, ketua PBNU berpendapat kalau hari santri nasional ditetetapkan dengan mengambil peristiwa dimana peranan kyai dan santri sangat menonjol, pada saat itu jatuh pada tanggal 22 Oktober. Alasannya adalah pada saat itu para kyai dan ribuan santri kumpul dan bersatu, yang terorganisasi dengan diketuai oleh KH. Hasyim Asy’ari untuk menghadapi serangan Belanda. Pada waktu itu beliau KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad bahwa membela tanah air hukumnya fardhu a’in, setiap individu berkewajiban membela tanah air, baik dari rakyat pinggiran, menengah maupun atas. Jadi membela tanah air hukumnya sama dengan sholat lima waktu, sama juga dengan wajibnya puasa bagi umat islam.
Pada saat  itu sebelum hari santri diputuskan, di hotel Salak Bogor mengadakan seminar dan sekaligus musyawarah, dengan dihadiri oleh berbagai ormas seperti Nahdhlotul Ulama’ (NU), Muhamadiyah, al-Irsyad, Persatuan Umat Islam (PUI), Persis, al-Ittihadiyah, Pesatuan Islam Tionghoa, Al-Washliyah, Az-Zikra, Persatuan Tarbiyah Indonesia (PERTI), Ikatan Da’i Indonesia (IKADI), Syarikat Islam Indonesia (SII), dan Mathlalul Anwar. Dalam acara seminar tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa tanggal 22 Oktober merupakan tanggal yang cocok untuk dijadikan sebagai hari santri. Pada akhirnya, tanggal 22 Oktober ditetapkan  oleh presiden sebagai hari santri. Pada tanggal 10 November 1945, santri menghadapi para sekutu dengan kekuatan senjata yang begitu lengkap, modern dan kelengkapan senjata yang luar biasa yang diketuai oleh Brigjen Mallaby. Akan tetapi, pada hari pertama peperangan antara Indonesia dan Belanda, Brigjen Mallaby gugur oleh salah satu orang prajurit yang tidak diketahui namanya dalam versi sejarah. Menurut versi NU, salah satu pahlawan yang berhasil membinasakan Brigjen Mallaby bukan tentara, akan tetapi salah satu seorang santri Pesantren Tebu Ireng yang berhasil memasang bom di mobil Mallaby, bom yang dipasang di mobilnya meledak dan berhasil membunuhnya termasuk ajudan dan sopirnya, bahkan salah satu santri tersebut juga ikut gugur sebagai pahlawan.
Itulah salah satu rentetan sejarah bangsa kita ini, banyak sekali dalam rentetan sejarah kemerdekaan Indonesia, salah satunya peranan seorang kyai dan santri yang kurang begitu diabadikan dan ditulis dalam dokumen sejarah. Padahal, semenjak awal pertama kali kolonial Belanda datang ke Indonesia, kyailah yang  paling gigih melawan sekutu. Sampai – sampai sang kyai mengharamkan umat Indonesia memakai pakaian, dasi, celana yang seperti Belanda. Pada dasarnya tidak haram, dan kyaipun juga sebenarnya tahu kalau memakai pakaian barat tidak haram. Akan tetapi, fatwa ini dikeluarkan untuk membangun serta membakar semangat cinta tanah air dan membangun sikap tegas, kebencian  kepada Belanda, dan demi mempertahankan ciri khas budaya negara timur yakni tanah air Indonesia.  Seperti dalam jargonnya “ Khubbul wathon minal iman”.
Dalam sejarah umat Islam nusantara, peranan santri juga ikut andil dan beperan dalam menghadapi kerajaan Majapahit. Pada waktu itu, kerajaan Majapahit dipimpin oleh Raden Brawijaya ke V yakni Raja terakhir kerajaan Majapahit. Dari Hasil pernikahan prabu Brawijaya V dengan seorang putri dari China bernama Siu Ban Ci menghasilkan seorang putra bernama Senopati Jimbun atau Raden Patah. Kemudian Jimbun masuk Islam ditangan Sayyid Rahmatullah Rahmat atau Sunan Ampel. Dari hasil mondok di ampel denta milik Sunan Ampel inilah nama Jinbun diganti dengan Raden Patah. Dari Raden Patah inilah berdirilah kerajaan Islam di Demak. Pada saat itu masyarakat Majapahit berbondong-bondong ikut ke Demak supaya bisa dipanggil santri. Karena hakekat santri dimata penduduk Majapahit begitu bermakna, sebab santri pada saat itu begitu bersih, dicuci mukanya tangannya dan kakinya lima kali dalam sehari, tepat janji, amanah dan tidak membeda- bedakan agama, dan kitab suci hindu hanya boleh dibaca oleh kalangan brahmana dan satria (kaum besar), sedangkan Islam untuk semua kalangan.  Akhirnya Raja Brawijaya yang beragama Hindu ditinggal oleh rakyatnya, dan begitu ditinggal rakyatnya, akhirnya Raja Brawijaya juga masuk Islam. Dengan ini imperium sang penguasa kerajaan Majapahit runtuh, penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit tidak karena peperangan. Melainkan kalah dengan do’anya  Santri. Padahal penggawa-penggawa majapahit begitu ampuh dan sakti  tanpa ada tandingan, akan tetapi pepatah jawa mengatakan “suro dirojoyoningrat lebur dening pangastuti” (kebesaran orang jawa kalah dengan pangastuti atau doa’nya para santri).
Itulah peranan santri dalam ranah agama dan kebangsaan. Santri sebenarnya memiliki andil dalam  menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dan mengembangkan ajaran-ajaran yang diturunkan oleh Rasulullah  melalui ajaran Walisongo. Dalam hal ini, watak kebangsaan tersebut sebenarnya melekat pada sejarah dan jatidirinya. Akan tetapi belum banyak diketahui umum, termasuk dikalangan akademisi. Pandangan uamum selama ini menyatakan bahwa “cinta tanah air adalah sebagaian dari iman”. Bahkan ada yang menyebut ungakapan ini berasal dari Hadis Rasulullah saw. Dalam hal ini , santri harus merumuskan konsep yang lebih terbuka dan menopang martabat bersama dalam rumusan semboyan di atas. Sesuai dengan konsep Wali Songo, kecintaan kepada daerah dan bangsa harus dijadikan etos dan kekuatan yang akan digunakan untuk menghalau ancaman dari luar, sehingga antara satu daerah dan daerah lain saling menguatkan.
Untuk itu untuk menghadapi zaman yang semakin terbolak- balik. Santri harus menanamkan Akidah, syariat dan tasawuf begitu juga benih–benih radikal harus benar – benar dijauhkan dari dunia. Wujudkan dan tanamkan benih–benih santri dengan  mengembangkan jiwa patriot dan semangat kebangsaan demi melanjutkan cita- cita para leluhur demi mewujudkan peradaban, kebudayaan bangsa indonesia yang moderat, wasathan, pluralis, humanis dan harmonis. Wa Allahu A’lamu Bi Ash-Showab.
 
*Adalah Mahasantri Ma’had Aly Ashabul Ma’arif Al-Kamal.

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *