Pengantar Studi Al Qur'an (Terj. The Qur’an: An Introduction)

Buku yang ditulis oleh Abdullah Saeed ini versi aslinya adalah berupa bahasa Inggris, The Qur’an: An Introduction, yang pertama kali diterbitkan pada April 2008 di Routledge, Britania Jaya. Sedangkan dalam versi terjemahannya Dr. phil. Sahiron Syamsuddin dan Shulkhah M.Pd, pertama kali diterbitkan di Yogyakarta oleh Baitul Hikmah Press pada November 2016 dengan ketebalan mencapai 363 halaman. Buku ini merupakan salah satu karya tulis yang di dalamnya membahas beragam tema tentang studi Al-Qur’an. Kajiannya banyak mengulas beberapa aspek tentang Al-Qur’an, dimulai dari sisi kesejarahannya (konteks sosio-historis pada saat pertama kali diwahyukan), dan diakhiri dengan persoalan penafsiran Al-Qur’an pada era Modern atau kontemporer. Sebagai buku yang bertajuk pengenalan atau pengantar, sajiannya cukup padat dan ringkas. Namun urainnya sudah cukup jelas dalam memberikan gambaran. Sementara bahasa yang digunakan tidak terlalu berbelit-belit di luar konteks pembahasan dan ungkapan-ungkapannya yang lugas semakin mempermudah pembaca untuk memahaminya.
Buku ini memuat 12 Bab besar terkait beragam aspek Al-Qur’an. Pada bab pertama, Abdullah Saeed mengawali pembahasannya tentang Al-Qur’an dihubungkan dengan konteks kesejarahannya. Hal ini tentu tidak akan lepas dari pembicaraannya terkait konteks sosio-historis kehidupan Nabi Muhammad SAW dan juga tradisi budaya yang berkembang di kalangan penduduk Arab Mekah pada saat itu. Sebab keduanya merupakan bagian dari konteks sejarah diwahyukannya Al-Qur’an pada abad ke-7 masehi tersebut. Poin penting dalam tema ini adalah menurut Abdullah Saeed, pesan-pesan penting dari Al-Qur’an tertanam dalam konteks spesifik abad ke-7 Arab dan disampaikan melalui bahasa serta simbolisme yang dapat dipahami oleh audien pertama. Selain itu, menurutnya Al-Qur’an tidak serta merta menolak secara keseluruhan terhadap unsur budaya pra-Islam, tetapi diterima dalam bentuk modifikasi dan perubahan agar terhindar dari praktek politeistik. Pada dasarnya ajaran nabi pada masa itu menurutnya secara sosial bersifat progresif, yaitu cenderung mengarah pada kemajuan dan perbaikan. Di samping itu juga Abdullah Saeed menyinggung bahwa referensi Al-Qur’an tentang perempuan tampak diskriminatif untuk sekarang ini. Dia menekankan bahwa Al-Qur’an seharusnya dibaca dalam konteksnya secara keseluruhan dan memperhitungkan budaya serta norma-norma sosial yang ada pada saat wahyu tersebut diturunkan.
Selanjutnya bab kedua adalah tema terkait dengan hakikat wahyu dan Al-Qur’an. Saeed mengakui sepenuhnya bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dan Al-Qur’an yang ada di tangan kita ini adalah otentik. Namun dia tidak sependapat dengan argumen para ulama klasik yang menekankan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dan tidak ada peran selain dari-Nya. Saeed lebih sepakat dengan pemikiran beberapa pemikir kontemporer utamanya Fazlur Rahman, yang menyatakan bahwa nabi dan umat pada masa itu turut berperan dalam proses pewahyuan. Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Qur’an diturunkan tidak pada ruang hampa budaya. Al-Qur’an pada masa dan proses pewahyuannya benar-benar terlibat aktif dalam sejarah. Dengan kata lain Saeed seolah ingin menegaskan bahwa ada kaitan erat antara nabi, wahyu, dan konteks sosio-historis saat Al-Qur’an diwahyukan. Konteks sosio-historis menjadi elemen wahyu yang penting dan interpretasi harus berangkat dari realitas dimana wahyu itu diturunkan. Dari sinilah terlihat bahwa Saeed berupaya untuk mengembangkan tafsir kontekstual. Sedangkan fokus penafsirannya lebih cenderung pada ayat-ayat etika hukum. Sebab menurutnya selama ini umat Muslim cenderung melihat bahwa Al-Qur’an adalah kitab hukum padahal di sebenarnya kandungan ayat hukum di dalamnya tidak lebih dari setengahnya. Pandangan ini menurutnya akan semakin menenggelamkan ayat-ayat yang sebenarnya mengandung dimensi moral etis menjadi dipandang sebagai ayat berbasis hukum.
Kemudian pada bab ketiga, Abdullah Saeed mengangkat tema tentang Al-Qur’an sebagai kitab. Menurutnya konsep atau pemahaman bahwa Al-Qur’an di klaim sebagai kitab sudah ada sejak masa sebelum wafatnya nabi, meskipun jelas pada masa itu Al-Qur’an belum disusun menjadi sebuah kitab tertulis. Al-Qur’an menempati posisi sentral dalam tradisi tekstual Islam, namun bukan menjadi satu-satunya sumber hukum Islam, prinsip dan juga tradisi itu diambil. Dia juga mengulas terkait dengan tantangan oleh para sarjana Barat yang berusaha untuk menggoyahkan keyakinan umat Islam terhadap orisinalitas Al-Qur’an.
Pada bab ke-empat, materi yang diangkat dalam buku ini adalah terkait dengan tema-tema utama dan beragam jenis teks Al-Qur’an. Menurut penulis buku ini, tema-tema utama dalam Al-Qur’an semuanya berkisar pada tema sentral yaitu tentang Allah dan hubungan-Nya dengan manusia. Di samping itu pula, menurutnya Al-Qur’an mengandung sejumlah anjuran etis dalam menjalani kehidupan, salah satunya adalah umat Islam harus menghindari ekstremisme.
Selanjutnya pada bab kelima buku ini mengangkat tema terkait dengan penerapan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Abdullah Saeed, melalui tingkat paling sederhana yaitu membaca Al-Qur’an sudah menjadi bagian sentral dalam praktik keagamaan umat Islam. Praktek ini sudah dilakukan sejak zaman nabi. Ia dibacakan dalam setiap acara baik formal maupun non-formal. Al-Qur’an telah menyentuh segala aspek dari kehiduapan umat Islam. Bahkan sebagai wujud penghormatannya, umat Islam memiliki cara dan etika tersendiri untuk merawat dan memuliakannya.
Kemudian pada bab ¬enam, buku ini menyajikan pembahasan terkait dengan pengetahuan di Barat dalam mengkaji Al-Qur’an. Pengetahuan ini lebih dikenal denga istilah ‘orientalis’. Kajian yang dilakukan oleh para orientalis tersebut memberkan dampak yang signifikan terhadap pemahaman historis dan kontemporer atas Al-Qur’an di Barat. Awal mula pengetahuan Islam tentag Al-Qur’an di Barat terjadi pada abad ke-8 karena adanya interaksi yang intensif antara Spanyol dengan muslim dab Budaya Islam. Kajian ini terus berkembang hingga melahirkan tokoh-tokoh besar kesarjanaan Al-Qur’an di Barat seperti halnya Theodor Noldeke, John Wansbrough, Patricia Crone dan Michel Cook, serta Andrew Rippin. Menurut Abdullah Saeed, teori-teori alternatif yang berkembang di Barat telah banyak mempertanyakan tentang kapan Al-Qur’an disusun, siapa identitas penulisnya, dan pada bahasa apa ia asala mulanya ditulis. Hal ini yang nampaknya kemudian justru beberapa kajian mereka (meski tidak semuanya) kemudian mengarah pada sikap skeptik terhadap orisinalitas Al-Qur’an.
Selanjutnya pada bab delapan buku ini membahas terkait dengan penerjemahan Al-Qur’an. Pada tema ini yang diuraikan adalah mulai dari konteks historisnya penerjemahan Al-Qur’an baik yang dilakukan oleh kalangan Muslim maupun Non-Muslim, hingga fase-fase yang dialami dalam praktek penerjamahan tersebut. Pada dasarnya penerjemahan Al-Qur’an di kalangan Muslim menurut penelusuran Abdullah Saeed sudah terjadi sejak abad pertama dalam Islam namun bukan dalam rangka penerjemahan secara keseluruhan. Penerjemahan itu hanya dilakukan dengan mengalihkan bagian-bagian tertentu kepada bahasa pribumi oleh mereka yang tidak menggunakan bahasa Arab. Sedangkan di kalangan non-Muslim baru terjadi pada abad ke-12 oleh Peter the Venerable, kepala biara dari Cluny di Eropa. Namun penerjemahan ini menurut Saeed dilakukan sebagai bentuk perlawanannnya terhadap Islam baik secara teologis maupun akademis.
Pada bab selanjutnya yaitu bab delapan dari buku ini mengangkat pembahasan dengan tema mencari keterkaitan antara Al-Qur’an dengan kitab suci lainnya, khususnya yaitu pada agama abrahamik (Yahudi, Kristen dan Islam). Bagi umat Islam sendiri, keyakinan terhadap kitab suci Yahudi dan Nasrani merupakan satu dari pilar agama Islam, yaitu rukun iman. Namun menurut Abdullah Saeed saat ini pandangan sebagian besar kaum muslim terhadap dua kitab tersebut terpecah mulai dari yang meyakini bahwa kitab-kitab tersebut masih tetap otoritatif, hingga mereka yang meyakini bahwa kitab-kitab tersebut tidak lagi murni sehingga tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum yang valid.
Kemudian bab sembilan dalam buku ini menguraikan tema tentang beberapa ajaran etika hukum dalam Al-Qur’an. Poin pentingnya menurut penulis buku tersebut ada pada kesimpulan bahwa sebagian besar teks etika-hukum Al-Qur’an cenderung bersifat instruktif, dan upaya untuk merelevansikan ajaran tersebut untuk era modern sangatlah kompleks.
Selanjutnya pada bab sepuluh buku ini memberikan bahasan tentang beberapa gagasan dan prinsip pokok penafsiran Al-Qur’an. Pada bab ini Abdullah Saeed memetakan uraiannya dimulai dari basis penafsiran yang ia pilah menjadi dua hal yaitu penafsiran yang berbasis tradisi (ma’tsur) dan berbasis akal (ra’yi) disertai dengan konteks historisnya. Pemiliahan ini menurutnya dapat untuk memberikan batasan terhadap peran akal secara independen dalam menafsirkan sekaligus mempertimbangkan sumber yang berasal dari Al-Qur’an maupun hadis nabi dan generasi pertama umat Islam.
Masih berkaitan dengan penafsiran, pada bab sebelas buku ini tema yang diangkat adalah tentang pendekatan-pendekatan dalam penafsiran Al-Qur’an. Dalam bab tersebut Abdullah Saeed menguraikan tentang konteks historis penafsiran awal pada masa nabi yang menurutnya lebih cenderung pada gambaran model ‘tafsir praktis’ dari penggalan ayat Al-Qur’an tertentu. Selain itu juga dipaparkan terkait dengan pendekatan-pendekatan dalam penafsiran Al-Qur’an baik pada masa awal yang meliputi pendekatan teologis, mistis, hukum dan filosofis serta pendekatan yang berkembang pada era modern mulai abad ke-19.
Terakhir pada bab dua belas uraian terkait dengan modernis tafsir dikupas lagi oleh penulis pada bab ini. Disini Abdullah Saeed melakukan telaah pada lima pemikir kontemporer Al-Qur’an. Mereka adalah Fazlur Rahmna, Amina Wadud, Muhammad Shahrur, Muhammad Arkoun dan Khaled Abu El Fadl. Kelimanya ini menurut Saeed merupakan perwakilan dari penerapan pendekatan tafsir kontekstualis. Namun di awal tema ini terlebih dahulu ia memaparkan terkait dengan perbedaan antar madzhab tekstualis dan kontekstualis dalam hal penafsiran Al-Qur’an. Menurutnya, tafsir tekstualis masih mendominasi kerangka pemikiran para sarjana tafsir Al-Qur’an hingga saat ini. Dan ini sekaligus yang menjadi sumber kegelisahan dan latar belakang pemikiran Saeed dalam menyusun kerangka metodologi penafsiran. Menurutnya, maraknya model penafsiran tekstual oleh para kaum tekstualis yang menafsirkan Al-Qur’an secara literer berimplikasi pada pengabaian pada konteks sosio-historis pewahyuan Al-Qur’an. Hal inilah yang kemudian mendorongnya untuk membangun sebuah model tafsir yang peka konteks.
Dari kesekian bab yang ada dalam buku ini semuanya mencakup informasi yang sangat dibutuhkan utamanya bagi kalangan yang ingin melakukan kajian lebih lanjut tentang Al-Qur’an dan penafsirannya. Meskipun pemaparannya tentang studi pemikiran tokoh, khususnya yang dari Barat masih sangat terbatas namun sudah cukup mewakili dan memberikan gambaran tentang kerangka pemikiran mereka terkait dengan Al-Qur’an.
Buku karya Abdullah Saeed ini merupakan salah satu buku pengantar studi Al-Qur’an yang komprehensif jika dilihat dari cakupan informasinya yang begitu luas. Karena sorotan kajiannya yang berawal dari konteks historisitasnya hingga kajian kekinian pada era modern.
Dari sekian pemaparan yang ada dalam buku terjemahan Sahiron Syamsuddin ini, argumen-argumen yang disuguhkan oleh Abdullah Saeed tidak sedikit yang berusaha ia dukung dengan beberapa cuplikan ayat Al-Qur’an maupun hadis. Hanya saja kejanggalan yang ada sejauh mata ini membacanya tidak satupun ayat maupun matn hadis yang dia cantumkan sebagaimana redaksi aslinya. Semua hanya dicantumkan dalam bentuk versi terjemahan yang kemudian pada footnote disertakan sumber surat maupun kitab hadis yang dinukilnya. Hal ini sebenarnya bisa dianggap sepele atau sudah umum, sebab banyak buku kajian lain di luar sana yang memaparkan ayat Al-Qur’an hanya sebatas terjemahannya saja. Namun hal ini tentunya akan berbeda ketika melekat pada suatu karya yang dominan kajiannya adalah berupa studi Al-Qur’an.
Jika dilihat dari beberapa argumennya, dalam buku ini sangat kental sekali terlihat bahwa Abdullah Saeed merupakan tokoh pemikir yang turut mendukung pendekatan penafsiran kontekstualis. Salah satunya dapat dilihat dalam pernyatannya terhadap ungkapan Fazlur Rahman, dia berusaha menegaskan bahwa jika ada hubungan yang lebih erat antara Al-Qur’an dan nabi beserta komunitasnya sekaligsu konteks sosio-historisnya, maka intrepetasi Al-Qur’an akan lebih bebas. Dan pemahaman semacam ini menurutnya mungkin sangat bermanfaat.
Dalam bagian tema yang lain, Abdullah Saeed menyebutkan bahwa memahami aspek-aspek utama dari konteks pewahyuan dapat mempermudah untuk membuat sebuah relasi atau hubungan antara teks Al-Qur’an dengan lingkungan teks tersebut muncul. Dalam sebuah referensi lain yang masih sejalan dengan Saeed, disebutkan bahwa memang dengan menambahkan variable kontekstualisasi pada penafsiran cenderung dapat menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya.
Dalam pembahasan yang lain, Abdullah Saeed menyatakan bahwa referensi AlQur’an saat ini terbilang diskriminatif terhadap perempuan. Menurutnya Al-Qur’an harus dibaca dalam konteks seluruhnya baik dari sisi budaya maupun norma sosial yang mengitari saat wahyu itu diturunkan. Apa yang berusaha ditampilkan oleh Abdullah Saeed dapat dikatakan tidak lain karena adanya spirit dasar ingin membuktikan bahwa jargon Al-Qur’an shalihu likulli zaman wa al-makan itu benar adanya. Ini sama halnya dengan ikhtiar J.M.S Baljon dalam menulis bukunya yang berjudul Modern Muslim Koran Interpretation. Baljon menuturkan bahwa buku itu ditulis di atas rencana atau keinginan dasaranya untuk menyesuaikan antara teks dengan tuntutan zaman yang berbeda jauh dengan masa kenabian. Semakin besar intensitas kontaknya dengan peradaban asing melalui ekspansi dominasi Muslim yang kian cepat merambah, maka ia menganggap semakin perlunya interpretasi ulang terhadap Al-Qur’an.
Dalam ulasannya yang lain terdapat sebuah pemaparan Abdullah Saeed yang menyatakan sisi kealfaan dari salah satu cabang ulum Al-Qur’an yaitu tekait dengan riwayat asbab an-nuzul. Riwayat ini dimaksudkan untuk menjelaskan konteks langsung dari ayat-ayat tertentu, namun menurutnya ternyata kemampuan itu sangat terbatas bahkan belum cukup untuk menjelaskan konteks sosio-historis pewahyuan. Karena menurutnya banyak riwayat yang saling bertentangan dan merupakan hasil dari sangkaan secara historis sehingga sulit disatukan dalam ilustrasi yang lebih spesifik.
Pernyataan di atas tampaknya bisa lebih diperjelas lagi terkait dengan riwayat dan sangkaan historis yang dimaksudkan oleh Abdullah Saeed. Sebab berdasarkan penelitian mutakhir saat ini terkait dengan ilmu asbab an-nuzul, sekarang tidak hanya mencakup atau terbatas pada riwayat baik dari Al-Qur’an maupun hadis. Namun terdapat cakupan yang lebih luas lagi di luar itu, yaitu berkaitan dengan hasil bacaan mufasir terkait sejarah, tradisi yang berkembang, situsi politik, dan juga kebiasaan yang dilakukan oleh bangsa Arab pada saat itu. Dalam pemilahan yang lebih formal, terdapat dua varian asbab an-nuzul, yaitu asbab an-nuzul mikro dan makro. asbab an-nuzul mikro adalah riwayat-riwayat mengenai turunnya suatu ayat Al-Qur’an. Sedangkan asbab an-nuzul makro cakupannya lebih luas, tidak hanya terpaku pada riwayat para sahabat melainkan seluruh situasi yang dimungkinkan memiliki keterkaitan dengan munculnya ayat tersebut.
Terlepas dari adanya berbagai kritikan ini tidak mengurangi sedikitpun nilai atau apresiasi terhadap karya monumetal Abdullah Saeed. Sebab bagaimanapun juga karya ini merupakan sumbangan intelektual yang sangat berarti, utamanya bagi kalangan akademisi pengkaji Al-Qur’an.
Dari telaah kritis ini dapat disimpulkan bahwa buku yang ditulis oleh Abdullah Saeed tersebut pada dasarnya bermaksud untuk mengusung sekaligus mendukung terhadap upaya penafsiran kontekstual terhadap Al-Qur’an. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar Al-Qur’an senantiasa dapat menjawab problema dalam kehidupan yang semakin berkembang. Penyajian argumen dalam buku ini begitu sistematis dengan memakai pijakan dasar berupa konteks sosio-historisnya hingga kemudian merambah pada pendekatan penafsiran yang semakin berkembang di era modern seperti saat ini. Landasan pemikiran Saeed berangkat dari kegelisahannya terhadap maraknya tafsir tekstual yang kian menenggelamkan spirit dasar Al-Qur’an itu sendiri. Dia berupaya untuk mengembangkan tafsir kontekstual dengan terinspirasi dari pemikiran Fazlur Rahman. Melalui metodologinya, dia mencoba untuk menggagas teori makna yang universal dan partikular dalam Al-Qur’an yang menurutnya itu bukan hal yang mudah untuk diungkap. Gagasan inilah sesungguhnya yang menjadi pembeda antara pemikirannya dengan pemikiran tokoh kontekstualis yang lain. Namun terlepas dari adanya sisi-sisi yang kurang terpenuhi dalam buku ini, apa yang telah disumbangkan oleh Abdullah Saeed merupakan langkah konkrit yang dia tempuh sebagai bukti keseriusannya dalam ‘mencintai’ Al-Qur’an melalui kajian yang begitu mendalam.
Peresensi: Muhammad Bahrudin, S.Pd. (Pengajar di Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal)
Daftar rujukan:
Saeed, Abdullah. 2016. Pengantar Studi Al-Qur’an. Yogyakarta: Baitul Hikmah Press.
Faiz, Fahruddin. 2005. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial. Yogyakarta: eLSAQ Press.
Baljon, J.M.S. 1990. Al-Qur’an Dalam Interpretasi Modern. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Qadafy, Mu’ammar Zayn. 2015. Sababun Nuzul Dari Mikro Hingga Makro. Yogyakarta: In Azna Books.
Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity. Chicago: The University Press.
Suriansyah, Eka dan Suherman. “Melacak Pemikiran Al-Qur’an Abdullah Saeed” dalam Jurnal Kajian Islam I Volume 3, Nomor 1 (Artikel: Pdf), h. 44, diakses pada tanggal 18 Februari 2017 pukul 20:15 WIB
Sumber:http://amanahru.blogspot.co.id/2013/11/interpreting-quran-sebuah-telaah-buku.html diakses pada tanggal 18 Februari 2017 pukul 20:00 WIB.
 

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *