Di Bulan Ramadhan, seringkali kita mendengarkan penceramah-penceramah mencuplik teks berbunyi: “Barangsiapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka“. Atau bunyi teks Arabnya:
ﻣَﻦْ ﻓَﺮِﺡَ ﺑِﺪُﺧُﻮﻝِ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺟَﺴَﺪَﻩُ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﻨِّﻴْﺮَﺍﻥِ
Dengan semangat menggebu-gebu, tanpa menelusuri kredibilitas suatu hadits, ada diantara penceramah dengan gaya meyakinkan menjelaskan tentang kegembiraan suatu kaum tentang hadirnya bulan Ramadhan. Dengan keagungan dan keistimewaan syahru siyam, Allah telah menggaransi kepada umatnya tentang keharaman masuk neraka, cukup dengan senang dengan datangnya bulan ini.
Pertanyaannya, teks tersebut termasuk hadits atau bukan ? Teks di atas cenderung mashur dikalangan masyarakat, dan mayoritas masyarakat awam tidak mempermasalahkan keotentikan haditsnya. Mereka meyakini, bulan Ramadhan merupakan kebahagiaan yang luar biasa, bulan Ramadhan adalah bulan penuh ampunan, berkah, dan rahmat. Dengan hadirnya bulan ini, umat muslim mendapatkan karunia nikmat dari Allah swt secara tak terhingga. Konon, kesakralan bulan Ramadhan membuat sahabat menangis kala bulan suci tersebut telah berakhir.
Dalam dunia akademik, tentunya kurang afdhal bila tidak mendapat perhatian. Hadits ini perlu diklarifikasi kembali keafsahannya. Tujuannya bukan untuk mencela dan berprasangka buruk, melainkan murni meneruskan thuras khazanah keilmuan ulama’ terdahulu, guna untuk menentukan shahih, hasan, dhaifnya suatu hadits.
Ada beberapa cara untuk menelusuri hadits di atas, apakah memang terdapat dalam kitab hadits mu’tabarah, atau justru sebaliknya. Berdasarkan penelusuran dengan bantuan Maktabah Syamilah, penulis mengunakakan kata kunci pada lafadz “ﻣَﻦْ ﻓَﺮِﺡَ ﺑِﺪُﺧُﻮﻝِ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ “ untuk melacak bunyi teks tersebut keseluruh kitab hadits mu’tabarah. Ternyata, dari hasil penelusuran yang diperoleh, tidak ada satupun kitab hadits yang meriwayatkan bunyi teks di atas.
Hanya saja, hadits tersebut ada dalam kitab durratun nasihin karya Utsman Ibn Hasan Ahmad As-Syakir al-Khubawi (w. 1241 H). Pembahasan ini tercantum di bab fadhilah bulan Ramadhan. Sayangnya, keotentikan hadits yang tercantum didalamnya belum jelas. Pertama, hadits tersebut tidak mencantumkan sanad. Kedua, Kitab tersebut bukan berupa kitab hadits. Ketiga, Syekh Utsman al-Khubawi lebih dikenal sebagai tokoh penghikayat- bukan sebagai ahli hadits (lihat: Syekh Utsman al-Khubawi: 7).
Dengan melihat hadits di atas, tampaknya kita bisa menduga apabila hadits ini tergolong dari hadits maudhu’. Karena ada beberapa unsur yang harus terpenuhi dalam hadits Nabi, yakni sanad, periwayat, dan matan. Sedangkan, dalam teks (hadits) di atas tidak mencantumkan salah satu unsur tersebut, yakni sanad. Dalam penelitian hadits, adanya sanad sangat mempengaruhi keotentikan hadits. Walaupun adanya berita yang disandarkan kepada Nabi, namun tidak memiliki sanad sama saja dianggap bukan sebagai hadits.
“Sanad merupakan sebagian dari Agama, dan sanad pantas untuk disejajarkan dengan Agama. Semakin banyak periwayat hadits yang meriwayatkan suatu hadits, maka semakin baik. Demikian juga terhadap matan hadits. Matan merupakan inti dari hadits, seharusnya kriteria dari matan sesuai dengan sabda Nabi, tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadits Mutawatir. Jadi, Obyek dalam menentukan penelitian kualitas suatu hadits ialah dengan sanad dan Matan (M. Syuhudi Isma’il: 1993).”
Jika dilihat dalam versi Imam Nawawi, kualitas sanad bisa menentukan maqbul dan mardud-nya suatu hadits. Hubungan antara hadits dan sanad ibarat hubungan antara hewan dan kakinya. Sehingga bila sanad suatu hadits berkualitas shahih, maka hadits tersebut dapat diterima. Sebaliknya, bila kualias sanad hadits tidak shahih, maka hadits tersebut tidak dapat diterima. Jika ditinjau dari pernyataan Imam Nawawi, tampaknya hadits di atas belum bisa dipertanggungjawabkan. Dalam kata lain, keshahihannya belum bisa dijadikan sebagi pijakan. Mengingat, sanadnya masih menimbulkan kontroversi. Belum ada di kitab hadits mu’tabarah yang menjelaskan tentang hadits di atas, baik dalam periwayatan bil lafdzi maupun maknawi.
“Sesungguhnya, dari kacamata ilmu hadits, untuk menilai sebuah hadits shahih atau tidak, sudah cukup dengan meneliti sanad atau matannya saja (Mustafa Ali Ya’qub:2003).”
Apabila dilihat dari segi sanad tentunya sudah selesai. Namun, kita jangan terburu-buru menjustifikasi hadits ini palsu. Jika ditinjau dari matan, nampaknya hadits ini memang bertentangan dengan akal sehat. Dengan begitu mudahnya Allah memberikan kemurahan tentang keharaman jasad manusia ke dalam api neraka. Bila dianalogikan, banyak umat manusia senang akan datangnya bulan Ramadhan, mereka memanfatkan bulan ini untuk mencari nafkah. Misal: banyak para pedagang baju, kaki lima, parsel, sayuran dll sebagainya yang memanfaatkan situasi ini untuk mengais keuntungan besar-besaran. Tentunya mereka senang di bulan ini. Pertanyaannya, bila dikaitkan dengan hadits di atas, apakah dengan kesenangan saja tanpa diimbangi semangat meningkatkan kualitas ibadah dalam mendekatkan diri kepada Allah bisa mengantarkan kita jauh dari Neraka ? Dengan mudahnya cukup dengan senang bisa menjauhkan dari api neraka. Padahal, dalam firman-Nya, ada beberapa simbol ayat yang harus dipahami, yakni :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Ada beberapa kata kunci yang perlu kita pahami dengan hadirnya bulan puasa. Pertama, ayat di atas merupakan ajakan bagi orang yang memiliki iman, walaupun seberat apapun. Kedua, ajakan berpuasa dalam rangka meningkatkan kualitas taqwa, agar terhindar dari sanksi dampak buruk, baik dari segi duniawi maupun ukhrawi.
Hal ini mengisyaratkan kepada kita, bila kesenangan di bulan Ramadhan tidak cukup dalam meningkatkan kualitas ibadah tanpa diimbangi dengan iman dan taqwa. Seharusnya, di bulan Ramadhan difungsikan sebagai sarana muhasabah atas dosa-dosa di dunia, dan dimanfaatkan untuk menebus perkara-perkara buruk selama kita hidup, demi mendapatkan rahmat dan hidayah dari-Nya. Supaya dalam menjalankan hidup senantiasa terarah, demi mewujudkan keselamatan dunia untuk menuju akhirat.
Dalam memahami teks (hadits) di atas, walaupun validitasnya masih diragukan keshahihannya, kita bisa memanfaatkan ke hal yang positif. Dalam artian, jangan memaknai teks di atas secara lafdziyah (tekstual). Alangkah baiknya, sebagai umat muslim senantiasa berkusnudzon bila teks di atas mengisyaratkan untuk memanfaatkan momen ini dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan. Seharusnya, kita patut berbangga dengan hadirnya bulan Ramadhan. Dengan hadirnya bulan ini, allah memberikan kemurahan secara besar-besaran untuk menebus kesalahan atas kelakuan hidup semasa di dunia. Dengan kesungguhan dan kemantapan hati untuk memperoleh ridha-Nya, tidak mungkin Allah menganulir janji-janji-Nya. Justru Allah akan memberikan imbalan yang setimpal atas usaha hamba-Nya dalam meningkatkan kualitas ibadah di bulan Ramadhan.
Menanggapi kontroversi di atas, apabila dari pembaca atau peneliti bisa menemukan otentisitas teks hadits di atas, baik dari segi kualitas urutan sanad maupun matan, alangkah baiknya bisa di syi’arkan. Penulis hanya mengambil pelajaran dari teks di atas, bila menemukan suatu hadits yang sanadnya masih dipertanyakan, seyogyanya jangan sampai menelan secara mentah-mentah. Dalam meneruskan tradisi ulama tentang keilmuan, seyogyanya diperlukan kajian lebih lanjut. Kita bisa mengambil hikmah dari teks di atas, bila dalam memahami suatu hadits tidak secara tekstualis. Akan tetapi pahamilah maksud dan tujuan makna yang terkandung didalamnya. Wa Allahu a’lam bi as-shawab.
Penulis: Muhammad Sanusi Al Khanafi (Pengurus Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal)