Spesial Ramadhan (Edisi 16) : Menjual Makanan Di Siang Hari Bulan Ramadhan

Pertanyaan dilematis yang selalu ditanyakan masyarakat kepada kami adalah tentang hukum menjual makanan di siang hari bulan Ramadhan. Apakah memang diharamkan secara mutlak atau memang masih diperbolehkan? Pasalnya, tak jarang warung atau penjual makanan yang selalu rutin buka setiap hari mulai dari pagi sampai malam. Jika memang dipangkas jam operasionalnya, maka sangat potensial untuk menelan rugi. Lantas, bagaimana fikih menyikapinya?
Pembaca yang dirahmati Allah Swt. Jika menilik pada hukum asal jual beli, maka hukumnya diperbolehkan, selama di dalamnya tidak memuat unsur-unsur yang diharamkan oleh syariat, seperti penipuan, spekulasi barang, dan lainnya. Sehingga, menjual makanan diperbolehkan, selama tidak menjual makanan yang haram.
Kendati demikian, jika dilakukan di bulan Ramadhan, di mana terdapat kewajiban berpuasa bagi seluruh umat Islam, apakah juga tetap diperbolehkan?
Sebagaimana diketahui bahwa menahan diri dari makan dan minum merupakan kewajiban yang harus ditempuh oleh setiap yang berpuasa. Sehingga, sebisa mungkin -terutama bagi pemilik iman yang lemah- menghindar dari makanan dan minuman agar tidak terjerumus pada kemaksiatan, berupa membatalkan puasa (mokel). Hal demikian saja harus dihindari, apalagi jika bermunculan di pinggir jalan warung-warung yang memamerkan makanan-makanan yang ada. Tentunya, ini sangat menggoda bagi pemilik iman yang lemah.
Dengan demikian, demi menghormati orang yang berpuasa dan tidak menolong dalam kemaksiatan, menutup warung alias tidak menjual makanan di siang hari sangat dianjurkan. Jika tetap terpaksa membukanya dan ternyata ada orang musim yang membatalkan puasanya di warung tersebut, maka ini diharamkan atas dasar menolong dalam kemaksiatan (al-โ€˜ianah ala al-maโ€™shiyat).
Syekh Abi Bakar Syatha menjelaskan sebagai berikut:

ูˆูŽู‚ูŽูˆู’ู„ูู‡ู: ู…ูู†ู’ ูƒูู„ูู‘ ุชูŽุตูŽุฑู‘ููู ูŠููู’ุถููŠ ุฅูู„ูŽู‰ ู…ูŽุนู’ุตููŠูŽุฉู…….. ูˆูŽูƒูŽุฐูŽุง ุจูŽูŠู’ุนูู‡ู ุทูŽุนูŽุงู…ู‹ุง ุนูŽู„ูู…ูŽ ุฃูŽูˆู’ ุธูŽู†ู‘ูŽ ุฃูŽู†ู‘ูŽู‡ู ูŠูŽุฃูƒูู„ูู‡ู ู†ูŽู‡ูŽุงุฑู‹ุง.

โ€œ(Redaksi: dari segala bentuk tasaruf yang mengarah pada kemaksiatan)….. Begitu juga tergolong maksiat adalah menjual makanan yang ia yakini atau ia duga kuat akan ada seseorang yang memakannya di siang hari (Ramadhan)โ€ (Abu Bakr Syatha al-Dimyathi, Iโ€™anath al-Thalibin ala Hall Alfazh Fath al-Muโ€™in, [Beirut: Dar al-Fikr, 1997], Juz 3, Hal 30)
Dengan demikian, pada kasus menjual makanan pada saat umat muslim sedang berpuasa di bulan Ramadhan sangat berpotensi terjerumus pada lubang kemaksiatan dalam hal menolong orang-orang awam untuk membatalkan puasanya. Oleh karenanya, pada kasus ini disokong oleh kaidah fikih:

ู…ูŽุง ุฃูŽุฏู‘ูŽู‰ ุฅูู„ูŽู‰ ุงู„ู’ุญูŽุฑูŽุงู…ู ููŽู‡ููˆูŽ ุญูŽุฑูŽุงู…ูŒ

โ€œSegala sesuatu yang mengarahkan pada keharaman, maka dihukumi haramโ€ (Izzuddin bin Abd al-Salam, Qawaโ€™id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, [Beirut: Dar al-Kutub al-โ€˜Ilmiyyah, 1991], Juz 2, Hal 218)

ุงู„ุฅูุนูŽุงู†ูŽุฉู ุนูŽู„ูŽู‰ ุงู„ู’ู…ูŽุนู’ุตููŠูŽุฉู ู…ูŽุนู’ุตููŠูŽุฉูŒ

โ€œMenolong kemaksiatan adalah maksiatโ€ (al-Sarakhsi, al-Mabsuth, [Beirut: Dar al-Maโ€™rifah, t,th], Juz 4, Hal 96)
Namun, keharaman yang berlaku pada kasus ini tidak bersifat mutlak. Pasalnya, ada beberapa orang yang memang uzur atau diberikan keringanan (rukhshah) khusus untuk menjalankan ibadah puasa dan terkadang memerlukan makan minum karena kondisi yang mendesak. Misalnya, seperti wanita haid atau nifas, anak kecil, ibu hamil atau menyusui anak, orang sakit, dan yang semisalnya.
Oleh karena itu, selama aktivitas berjualan tersebut memang diperuntukkan untuk orang-orang di atas, maka diperbolehkan. Hanya saja, dihimbau bagi setiap penjual untuk mengondisikan pelanggannya tersebut untuk tidak dimakan di tempat, melainkan dibungkus dan dibawa pulang. Hal ini mencegah terjadinya penampakakan tidak menyenangkan demi menghormati orang-orang yang sedang berpuasa.
Begitu pula diperbolehkan, apabila berjualan makanan atau minuman untuk takjil berbuka puasa. Namun, tidak semestinya di pagi hari, melainkan umumnya dimulai pada pukul 15.00 WIB sore hari sampai magrib tiba.
Seluruh keterangan di atas tidak lain dimaksudkan untuk menghormati umat muslim yang berpuasa, bukan dibalik menjadi kita selaku orang yang berpuasa menghormati yang tidak puasa. Logika terbalik ini justru akan menimbulkan kesalah pahaman dan pertikaian antar umat Islam. Alangkah baiknya segala bentuk kemadaratan diminimalisir, agar seluruh ibadah kita diterima Allah Swt. Wallahu aโ€™lam…
*ย ย  *ย ย  *ย ย  *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Dewan Asatidz PP Terpadu Al Kamal Blitar.

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *