Suasana wukuf di padang Arofah Foto: Kabarmakkah.com

Suasana wukuf di padang Arofah Foto: Kabarmakkah.com

Oleh: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag. Hari ini tanggal 23 september 2015, para jamaah haji seluruh dunia menjalani badah wukuf haji tahun ini, sebagai puncak pelaksaan ibadah dari beberapa rangkaian perjalanan manasik haji. Renungan yang dapat penulis ambil adalah sejak pemberangkatan yang kloter awal jamaah haji Indonesia sampai ritual ditanah suci jamaah Haji dihadapkan beberapa tantangan dan cobaan dari Allah swt. Mulai dari visa dari sebagian jamaah yang belum keluar sehingga adanya penundaan keberangkatan mereka, robohnya crane peralatan proyek pengembangan masjidil haram yang mengakibatkan wafat dan luka ratusan jamaah haji, termasuk Indonesia wafat 11 orang, sampai kepada terjadinya kebakaran salah satu maktab yang ditinggali oleh jamaah asal Kediri Jawa Timur. Penulis merasa prihatin sehingga harus berucap di dalam hati, “ Aku rindu pada Mu” atau “Aku memenuhi panggilanmu” (Labbaik, Allahuma Labbaik) atau juga bisa “beratnya merindukan engkau ya Rabbi”. Hal ini bukan mengada-ada, dan bukan bermaksud menyimpang dari yang sudah lazim. Ungkapan keprihatinan terhadap jamaah haji 2015 yang mendapatkan musibah yang bertubi.

Terlalu sering, bahkan terasa sebagai suatu keharusan bila kepada sesama umat Islam yang akan menunaikan rukun Islam ke-5, si pengantar berpesan, “ Panggil aku….!” Sebenarnya tidak salah saling mendoakan karena termasuk akhlaq terpuji. Tetapi Allah tidak menetapkan hal itu sebagai suatu kewajiban. Semuanaya tergantung kepada hambanya yang sudah dewasa. Hendaknya mereka bertanya kepada diri sendiri, adakah panggilan ilahi, panggilan iman ?. Dengan demikian imanlah yang mendorong dia menunaikan suatu kewajiban , bukan faktor luar. Bila seseorang memiliki kemampuan, baik secara badaniah maupun batiniyah, ia dipersilahkan Allah untuk berbakti kepadannya. Oleh karena itu, sangat tepat jika kita mendahulukan kalimat”aku rindu kepadamu”, yang merupakan panggilan imaniyah. Bila seseorang telah mampu menunaikannya hendaklah ia tidak menunda-nunda kewajiban tersebut.

Hakikat haji disebut sebagai evolusi manusia menuju Allah. Sebagai contoh simbolis dari sang pencipta Adam. Peristiwa ini menggambarkan bagaimana manusia wajib merasakan makna dan hakikat haji. Terbayanglah peristiwa tentang adam, sebagai leluhur nabi Ibrahim yang menurunkan nabi Ishaq, Ismail dan Nabi Muhammad Saw. Juga terbayang perjuangan nabi Ibrahim yang dituntut untuk membantah perintah orang tuanya, penyembah berhala. Sebaliknya Ibrahim dituntut keikhlasannya untuk mengorbankan anaknya tercinta, Ismail dengan cara menyembelihnya dengan tangan sendiri. Adapula peristiwa yang berhubungan dengan siti hajar dan siti Sarah, istri-istri nabi Ibrahim. Semua peristiwa yang terjadi dalam sejarah perkembangan Islam tersebut wajib dikaji ulang umat Islam pada saat mereka menunaikan ibadah haji. Dengan demikian makna ibadah haji meresap dalam diri para pelaksanannya.

Menunaikan ibadah haji sebaiknya jangan diniati dengan penebusan dosa. Walapun hal itu benar, seperti yang dijanjikan Allah, tetapi jangan dijadikan tujuan. Sungguh merugi dan sia-sia bahkan bisa celaka, umat yang berpikir bahwa ibadah haji adalah upaya penebusan dosa. Ia dapat dianggap berbuat riya’ tidak lillahi ta’ala. Keberangkatan haji tiada lain diniati karena kerinduan kepadannya. Rindu ingin jadi tamu dirumah –Nya , Baitullah. Banyak lagi contoh niat yang berangkat bukan karena rindu kepada Nya. Seperti orang yang naik haji untuk, yang kedua, atau ketiga kali, tidak pernah tergelitik dalam hatinnya untuk mempertimbangkan manfaatnya. Bagaimanakah pandangganya tentang sesama umat yang wajib dibantu ?, Bukankah mereka perlu diangkat dari kemiskinan, baik lahiriyah maupun baitiniyah?, bila ia menganggap kemiskinan orang lain bukan urusannya sedangkan ibadah haji itu menjadi hak pribadinnya, ingatlah pesan Rasulullah” Tidak termasuk umatku yang tidak mencintai saudarannya sama dengan dirinnya, tidak termasuk orang yang beriman Bila ia tidur lelap dal;am kekenyangan, sedang tetangganya dalam kelaparan”.

Kita teringat dengan pusisi Taufiq Ismail berjudul tukang sepatu dari Damsyik. Puisi itu mengambarkan kebulatan hati seorang tukang sepatu yang miskin untuk menunaikan haji. Namun pada saat ia bersiap-siap berangkat ketanah suci untuk pertama kalinnya , dilihatnya tetannggannya menderita kelaparan. Didorong oleh rasa peri kemanusiaan, iapun membatalkan rencanannya, lalu menggunakan uangnya untuk menolong tetangganya. Dimata manusia, perbuatan tukang sepatu itu mungkin dianggap “aneh” namun dimata sang penyair, haji si penyemir justru makbul karena ia mengorbankan kepentinganya untuk membantu sesamanya yang miskin.

Aku rindu kepadamu, aku datang menghadap Mu, ya Allah”, yang dimaksud dengan datang bukanlah secara badaniyah, tetapi imaniyah. Berhaji dengan busana ihram merupakan perlambang, betapa hidup manuisa di dunia tidak abadi. Pada saat berihram, segala sesuatu yang dicintai di alam fana ini ditingalkan, dengan tujuan semata-mata beribadah kepadanya. Insyaalaah, yang demikian adalah umat Islam yang berbangsa Indonesia. Jadilah bangsa yang selalu membawa kebahagiaan dan kedamaian.

Walaupun pada awal-awal keberangkatan jamaah haji Indonesia mengalami cobaan yang begitu berat semoga tidak mengurangi kualitas ibadahnya, malahan menambah rasa spiritualitas perjalanan ibadahnya. Karena semakin berat ibadah dijalankan akan semakin besar pahala dan hikmahnya. Sebagaimana apa yang menimpa jamaah haji tahun 2015 ini. Dalam pepatah di katakana” berakit-rakit kehulu berenang renang kemudian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”. Wa Allohu A’lam bi al-Shawab.

*Penulis merupakan Pengajar di IAIN Tulungagung dan Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Blitar