Jiwa Kepahlawanan Santri
Usai adanya proklamasi kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, ternyata bukanlah akhir dari perjuangan warga  Indonesia. Hal ini dikarenakan walaupun telah mendeklarasi kemerdekaan tersebut, pada beberapa wilayah Nusantara masih saja harus ada perjuangan dan pengorbanan  untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hal ini ditandai oleh adanya pertempuran pertama antara pejuang masyarakat Indonesia dan pasukan negara asing selesainya deklarasi kemerdekaan yang terjadi tepatnya di Surabaya yg lebih dikenal dengan sebutan pertempuran Surabaya.
Pada tanggal 19 September 1945, terjadi peristiwa di Hotel Yamato, Surabaya. Masyarakat Surabaya, utamanya para pemuda, berdatangan ke sana karena melihat bendera kebangsaan Belanda berkibar pada pucuk bangunan hotel itu. Inilah yang menandakan tentara Belanda sama sekali tidak menghormati kenyataan historis proklamasi 17 Agustus 1945. Keributan tidak terhindarkan, seorang kader Pemuda Anshor, Cak Asy’ari, berupaya mencapai ketinggian Hotel Yamato. Alhasil dia berhasil mencapai tri warna serta merobek bagian berwarna biru dari kain bendera itu. Sangsaka Merah-Putih kembali berkibar.
Sepanjang September 1945, situasi di Surabaya betul-benar  di atas ambang emosi. Laskar rakyat Indonesia terus berupaya merogoh alih persenjataan berasal dari gudang-gudang yang dahulunya milik tentara Jepang. Di antara pergerakan bersenjata itu ialah Barisan Hizbullah dan Sabilillah yang terus melakukan konsolidasi demi mempersiapkan taktik terbaik. Sebagai berita, keduanya dibuat atas prakarsa K.H. Abdul Wahid Hasyim kala Jepang masih bercokol di Indonesia. Baik Hizbullah ataupun Sabilillah adalah wadah ihtiyar fisik umat Islam, khususnya kaum santri, pada zaman mempertahankan kemerdekaan.
Memasuki November, situasi semakin mendekati perang besar . Inilah pertaruhan eksistensi Republik Indonesia, yang memproklamasikan kemerdekaannya bukan karena pemberian  penjajah, melainkan usaha mati-matian menggunakan darah serta air mata para pahlawan.
Pada 7-8 November 1945, Resolusi Jihad yang digaungkan pertama kali oleh sang  K.H. Hasyim Asy’ari dikukuhkan pada konteks yang lebih luas, yakni Kongres Umat Islam (KUI) di Yogyakarta. Ini juga sebagai respon atas ultimatum Sekutu. Sehari sebelum pecah pertempuran besar  di Surabaya, K.H. Hasyim Asy’ari selaku komando tertinggi Hizbullah memerintahkan segenap kekuatan bersenjata dari kalangan santri untuk memasuki Surabaya. Perintahnya jelas : tidak akan menyerah untuk mempertahankan kemerderkaan RI. K.H. Abbas Buntet Cirebon diperintahkan memimpin secara langsung komando pertempuran. Di antara para komando resimen yang membantu K.H. Abbas ialah sebagai berikut: K.H. Abdul Wahab Hasbullah, Sutomo (Bung Tomo), Roeslan Abdulgani, K.H. Mas Mansur, serta Doel Arnowo.
Dalam konteks Pertempuran 10 November 1945, Resolusi Jihad disebarkan oleh Bung Tomo melalui pidato-pidatonya. Wacana Resolusi Jihad sampai kepada Bung Tomo dengan berbagai cara. Bung Tomo merupakan seorang yang dekat dengan kalangan ulama, seperti K.H. Hasyim Asy’ari dan putranya, K.H. Wahid Hasyim. Bung Tomo diberi secarik kertas berisi fatwa Jihad melawan Belanda oleh KH. Hasyim Asy’ari. Secarik kertas tersebut diberikan kepada Bung Tomo ketika ia melakukan kebiasaan lamanya, yakni berkunjung ke pesantren untuk menemui para kiai dan memohon doa.
Bung Tomo berpidato dan disiarkan melalui jaringan radio. Pidatonya itu begitu membakar semangat juang rakyat Indonesia yang sedang menandakan jihad fi sabilllah mempertahankan kedaulatan Indonesia hingga titik darah penghabisan. pidato  Bung Tomo diakhiri dengan pekik takbir: “Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!”. Ketulusan hanya mengharapkan ridha Allah SWT. Pada peristiwa hari itu, ribuan pejuang gugur secara syahid.
Demikianlah, peristiwa  10 November 1945 akan selalu dikenang menjadi Hari Pahlawan Nasional. Resolusi Jihad yang digagas KH Hasyim Asy’ari mengindikasikan ketegasan kalangan santri, serta umat Islam Indonesia pada umumnya, senantiasa ikhlas berjuang demi kemerdekaan negeri ini.
Ditulis oleh Milda Nafi’ah (Pengurus Pusat PPTA)