Ngaji dan Ngabdi 19: Mempertahankan Kitab Kuning dan Bahasa sebagai Potensi Pesantren
Salah satu kekuatan dari Pondok Pesantren Terpadu al-Kamal adalah sudah diterapkannya bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa resmi Pesantren, selain potensi Madrasah Diniyah yang sudah menjadi ruh dari setiap Pesantren. Sejak tahun 1990 an memang para sesepuh dulu sudah membuat pondasi Pesantren Terpadu artinya, Pondok Pesantren al-Kamal menpertemukan antara aspek klasik yang terangkum dalam kurikulum kitab kuning madrasah diniyah dan pengajian harian, juga aspek modern dengan potensi komunikasi bahasa asing terutama Bahasa Arab dan Inggris. Kalau mendengar penjelasan langsung dari Yai Mahmud Hamzah, tentang keterpaduan di Pesantren al-Kamal mempunyai latar belakang sebagai usaha untuk membekali para santri yang mapan dalam pemahaman keagamaan dengan pengajian kitab kuning. Salah satu hal yang dapat memudahkan pemahaman kitab maka para santri diberikan materi Bahasa Arab. Dengan penguasaan Bahasa Arab para santri akhirnya dapat terbantu dalam membaca, memaknai, memahami isi kanduangan dari kitab kuning. Di samping itu bahasa pada masa modern merupakan aspek penting dalam pergaulan umat manusia. Seseorang santri tatkala mempunyai penguasaan Bahasa Arab maka dia akan lebih mudah untuk menjalin komunikasi dengan sesama. Apalagi kalau dia mempunyai niatan untuk melaksanakan komunikasi international, penguasaan bahasa asing adalah sebuah keniscayaan. Maka ketika saya baru masuk ke al-Kamal sebenarnya kagum dengan para santri-santri yang terbiasa membaca kitab kuning secara gundulan, juga berkomunikasi Bahasa Arab secara aktif.
Artinya Pondok Pesantren al-Kamal ini sebenarnya mempunyai filosofi yang begitu tinggi yang diramu oleh para kyai-kyai pendahulunya. Yakni alumni Pesantren al-Kamal mempunyai pemahaman kitab kuning sebagai cermin tafaquh fi al din, juga santri yang mampu berperan di kancah global dengan modal bahasa International. Maka meneruskan dan mempertahankan karakteristik pesantren semacam ini bukan hal mudah bagi saya, karena sejauh pengalaman saya di pesantren, ketika seorang santri mapan dalam bidang kajian kitab kuning kadang dia lemah untuk mempraktikkan bahasa arab secara aktif, demikian juga sebaliknya ketika santri fokus dalam penguasaan bahasa asing dia biasanya lemah juga dalam penguasaan kitab kuning. Maka misi keterpaduan yang sudah diterapkan di Pondok Pesantren al-Kamal ini patut di apresiasi, dipertahankan, bahkan harus dikembangkan.
Ada beberapa kegiatan menarik di Pesantren ini yang mungkin harus selalu dijaga konsistensinya agar program keterpaduan pesantren tetap terjaga. Diantaranya adalah mewajibkan santri memiliki kamus baik bahasa Arab atau bahasa Inggris. Biasanya peraturan ini dimulai ketika santri masuk ke Pesantren, mereka sudah diwajibkan mempunyai kamus, selain materi kitab-kitab kuning sebagai bahan ajar di Madrasah diniyah. Dengan memiliki kamus para santri dibimbing untuk mencari kosakata asing secara mandiri, menghafalkanya yang kemudian harus diterapkan dalam pembicaraan sehari-hari. Begitu indahnya para santri setiap belajar, baik dalam kelas formal, kelas madrasah diniyah, belajar bersama, mereka membiasakan diri untuk membuka kamus tatkala menemui kosakata asing yang belum diketahuinya. Manfaat membuka kamus selain dia dapat belajar mandiri, para santri akan memperoleh pengetahuan kosakata dari sumbernya yang otoritatif (mu’tabar), bukan dengan krungon-krungonen. Dia akan mengetahui asal usul kata, perbendaharaan kata, perkembangan dan perubahan makna dan istilah kalimatnya dan sebagainya. Maka sebenarnya santri yang terbiasa membuka kamus ini dia akan memperoleh banyak ilmu, khususnya pengembangan ilmu bahasa.
Program lain dalam pemberdayaan bahasa adalah pengajian dengan sistem sorogan dan muthalaah. Biasanya kegiatan ini diberikan di salah satu jam pelajaran madrasah diniyah dan pengajian pagi hari, para santri bermusyawarah sesuai dengan kitab yang ditentukan oleh kyai dan para asatidh madrasah. Dalam musyawarah ini salah satu dari mereka maju untuk memimpin melakukan kajian kitab kuning, mulai membicarakan makna mufradat secara bersama-sama, menjelaskan i’rab secara tertib sesuai dengan kaidah nahwu dan sharafnya, menjelaskan isi kandungan kitab kuning sesuai dengan materi pada hari itu. Model pembelajaran seperti ini faedahnya sangat besar sekali bagi para santri. Di antaranya ada kemandirian belajar, merangsang kecerdasan intelektual para santri, kedewasaan berpikir, inovasi dalam pembelajaran, dan yang lebih penting lagi adalah penanaman ilmu ke hati mereka akan lebih rasikh (mendalam). Sistem ini mengakomodasi berbagai macam disiplin ilmu digunakan untuk membedah kitab kuning, mereka menggunakan kaidah bahasa nahwu sharafnya, mereka juga latihan kitabah-nya dengan menuliskan maqra’ (materi yang dibaca pada saat itu), penerapan muhadatsah-nya, penguasaan dalam terjemahnya, juga pemahaman keilmuan kitab kuning yang ditentukan, baik fiqih, akhlaq akidah dan sebagainya. Belum lagi kalau diskusi materi dikembangkan sesuai dengan problematika yang ada di tengah-tengah masyarakat, maka materi muthalaah akan semakin dinamis dan menarik.
Kegiatan bahasa yang lain adalah bimbingan penambahan perbendaraan kata yang biasanya dilaksanakan sesudah jamaah shalat Maghrib. Kegiatan ini sebagai media pembelajaran santri untuk selalu menambah perbendaharaan kata-kata bahasa asing yang dibutuhkan, terutama berkaitan dalam kehidupan sehari hari, baik dalam lingkungan kamarnya, lingkungan madrasahnya, di kamar mandi, kosakata yang dibutuhkan ketika mendapatkan sambangan wali santri, ketika bergaul dengan masyarakat, kosakata dalam pembelajaran formal dan sebagainya. Dalam sebuah forum di serambi masjid atau di unit asramanya masing-masing, semua santri dari berbagai tingkatan biasanya berkumpul mengadakan kegiatan ini, dengan dibimbing oleh seorang ustadh secara bergantian. Hanya saja beberapa tahun terakhir ini, ketika jumlah santri semakin banyak nampaknya program ini tidak begitu efektif, dikarenakan terlalu banyak jumlah pesertanya. Sehingga seorang ustadh mengalami kesulitan untuk mengendalikan forum. Ini yang menjadi catatan saya yang harus dibenahi dan dicarikan strategi supaya kegiatan penambahan mufradat ini lebih efektif sebagaimana dahulu lagi.
Program takhasus lughah pada pagi hari sebagai kegiatan wajib bagi santri baru selama setahun menjalani kursus bahasa. Setelah jamaah subuh biasanya santri pada kelas satu semua menjalani pengajian lughah dengan sistem klasikal. Saat ini biasanya jumlah kelas kursus bahasa jumlahnya 10-13 kelas sesuai dengan jumlah santri baru yang masuk. Hanya saja dengan jumlah kelas yang banyak ini harus diimbangi dengan sumber daya ustadh yang banyak pula, sedangkan mengajar bahasa itu tidak banyak orang yang mempunyai kualifikasi sebagai pengajar bahasa. Karena mengajar bahasa, terutama bahasa Arab adalah para asatidh yang menguasai teori-teori bahasa dan mempraktikkannya. Baik dari sisi kaidah, muhadatsah, kitabah, tarjamah, sampai kepada gaya bahasa yang diperlukan dalam memperdalam ilmu bahasa. Sehingga asatidh bahasa lebih banyak diisi oleh alumni-alumni al-Kamal yang masih mengabdi di Pondok Pesantren, senyampang mereka mengaji, juga mengabdi dalam rangka menyalurkan dan ekpresikan potensi diri.
Program pengajian bahasa dengan sistem klasikal ini sesuai dengan paket kurikulumnya biasanya dijalani santri selama satu tahun setelah dirasa memenuhi syarat dengan dilakukan ujian bahasa diakhir tahun mereka kemudian mengadakan acara taqrir lughah, atau penetapan dan pengukuhan bahasa resmi pesantren wajib dilaksanakan oleh santri-santri. Dalam merealisasikan acara haflah taqrir biasanya juga diisi dengan perlombaan yang bernuansa kebahasaan. Misalnya pidato bahasa asing, debat bahasa asing, khutbah bahasa asing, tafsir menggunakan bahasa asing, menyanyi bahasa asing, menulis artikel bahasa asing, outbond bahasa asing, menulis cerpen bahasa asing, menulis kisah bahasa asing dan sebagainya. Akhir dari perlombaan itulah dilaksanakannya acara penetapan bahasa asing oleh Pengasuh Pesantren, yang sebelumnya mengundang mubaligh yang ceramah dengan menggunakan bahasa Arab atau Inggris. Sejak ditetapkannya bahasa sebagai bahasa resmi sehari-hari bagi para santri, maka kalau ada santri yang melanggar dalam penggunaan bahasa maka dilaksanakanlah mahkamah al lughoh (mahkamah bahasa). Biasanya acara ini dilaksanakan dua minggu sekali, karena harus bergantian dengan mahkamah al amni (mahkamah keamanan). Dalam mahkamah bahasa ini pengurus bahasa biasannya membacakan santri-santri yang melakukan pelanggaran dalam penggunaan bahasa resmi pesantren, dan diberi sangsi sesuai dengan tata tertib yang telah disepakati oleh para pengurus pusat dan pengurus unit.
Dari rangkaian kegiatan kebahasaan ini nampaknya memerlukan evaluasi, inovasi dalam rangka mempertahankan dinamisasi program-program Pesantren, terutama menjaga konsistensi madrasah diniyah sebagai institusi untuk ta’lim kitab kuning dan lembaga bahasa sebagai media untuk pengajaran bahasa asing. Kalau tahun-tahun silam Pesantren biasanya selalu mengadakan studi banding ke berbagai lembaga-lembaga terkait sesuai dengan kebutuhan Pesantren. Kadang studi banding ke dinas lingkungan hidup, ke lembaga pesantren yang lain, Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) atau ke ormas-ormas keagamaan yang dapat memberikan ilmu untuk mengembangkan dalam mengelola pondok Pesantren. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
*Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal