Ngaji dan Ngabdi 31: Review Pengajian Ahad Wage, Menghidupkan Agama dengan Ihya’ Ulum al-Din
Pengajian ini dimulai tahun 2002 yang diasuh oleh Kyai Mahmud Hamzah sebagai pengampu kitab kuningnya, dan Kyai Zen Masrur sebagai imam tahlil. Struktur acara dalam pengajian ini dimulai dengan tawasul dan tahlil oleh Kyai selama 20 menit, kemudian pembacaan kitab kuning Qami’ al-Tughyan, selama satu jam dan dilanjutkan ramah-tamah sesama alumni, juga bersama pengasuh PP Terpadu al-Kamal Blitar. Dilihat dari struktur acaranya banyak dimensi bisa didapatkan dari acara pengajian Ahad Wage ini. Amaliyah yang sifatnya menyambung sanad ruhaniyah antara murid dan guru-guru yang telah wafat terakomodasi dalam acara tawasul dan tahlil. Ini penting dilakukan oleh santri dan alumni sebagai pelaku perjuangan syiar agama Islam di masyarakatnya masing-masing. Dengan selalu nyambung ruhani kepada para guru akan mendapatkan motivasi tersendiri dari para pendahulu, orang-orang shalih yang telah berjasa kepada kita dalam menanamkan semangat perjuangan. Juga dengan tawasul dan tahlil, kita mendoakan para guru-guru, sebagaimana harapan para orang tua, bahwa anak yang shalih adalah anak yang selalu mendoakan orang tuanya. Orang tua kita dari sisi ilmiyah dan ruhaniyah adalah para guru, orang tua dari sisi biologis adalah orang tua yang telah melahirkan kita dan membesarkan kita di rumah. Maka dengan berdoa kepada orang tua sebagai suatu tanda bahwa kita adalah orang yang shalih di mata orang tua kita, baik orang tua dalam bidang ilmu maupun orang tua biologis kita.
Di lihat dari sisi pengajian kitab kuning, berarti ini para alumni dan santri selalu berusaha untuk pengayaan ilmu pengetahuan. Ini penting dilakukan oleh para alumni untuk selalu belajar dan belajar, mengaji dan mengaji, “uthlub al-ilma min al-mahdi ila al-lahdi”, juga sebagai aktivitas bersyukur kita kepada Allah yang telah memberikan banyak nikmat dan anugerah kepada kita, terutama diberi kesempatan mulia sebagai insan yang berada dalam majelis ilmu. Sudah diketahui bersama tentang keutamaan majelis ilmu, baik dari sisi pengajarnya (‘alim), muridnya (muta’alim), materi yang diajarakan (ilmu), semuanya adalah hamba-hamba Allah yang mulia, kumpul dalam sebuah acara mulia, dan berharap semuanya menjadi insan yang mulia di sisi Allah dan di sisi manusia, bahkan nantinya di akhirat akan berkumpul menjadi hamba yang mulia juga. Hanya yang menjadi catatan kita adalah keistiqamahan kita dalam menjalani acara mulia ini. Membutuhkan komitmen bersama, baik dari sisi pengasuhnya, alumninya, pengurusnya, santri atau masyarakat secara umum. Agar Pengajian Ahad Wage ini benar-benar bisa konsisten sejak dimulai oleh para pengasuh pesantren dahulu sampai nanti hari kiamat.
Kalau dilihat dari sisi materinya, pengajian ini menekankan kepada pelajaran tashawuf atau akhlaq. Harapanya dengan pengajian ini semua elemen peserta pengajian ini benar-benar menjadi insan yang berakhlaq, baik dalam keadaan sendiri, bersama keluarga atau bersama masyarakatnya. Mereka-mereka berakhlaq al-karimah dalam hal hubungannya dengan sesama manusia ataupun berakhlaqul karimah kita beribadah kepada Allah. Maka ketika kita mendapatkan ilmu akhlaq yang berisi tentang cabang iman yang utama adalah kalimat tauhid, dan iman yang paling bawah adalah menyingkirkan kotoran yang ada di jalanan (dalam permulaan qami’ al-thughyan), ini dapat dipahami sebagai manifestasi keimanan dalam kehidupan sosial sehari-hari kita. Keimanan tidak hanya milik diri sendiri dalam beribadah kepada Allah, tetapi berimplikasi kepada hubungan kepada sesamanya, dalam bahasa lain dengan theology social.
Inilah yang dicita-citakan oleh para pendiri pengajian Ahad Wage PP al-Kamal Blitar, para santri dan alumninya dapat menjadi hamba Allah yang kamil (mempunyai perilaku spiritual yang baik dan juga perilaku sosial yang Tangguh). Relevan dengan kata al-Ghazali dalam mendefinisikan akhlaq, yaitu sebuah sifat yang tertanam dalam hati yang dapat memunculkan perilaku (ahwal) tanpa berpikir dan perenungan (bi ghari fikrin wa rawiyatin). Artinya orang yang berakhlaq itu adalah menyatunya hati, pikiran dan anggota badan dalam sebuah perbuatan. Maka orang yang dikatakan akhlaqul karimah dalam versi al-Ghazali ini adalah pembiasaan dalam melakukan sebuah perbuatan. Misalnya seorang berakhlaq kepada tetangganya dalam mengucapkan salam, maka ketika bertemu tetangga secara spontan selalu akan mengucapkan salam. Orang yang berkhlaq kepada orang tuanya, dalam keadaan apapun, dalam situasi apapun dia akan selalu berbakti kepada orang tuanya tanpa harus diperintah, tanpa berpikir. Karena akhlaq-akhlaq ini sudah menjadi pembiasaan bagi seseorang.
Pada bulan September kemarin, kita sudah mengkaji tentang ajaran untuk menyibukkan diri (isytighal) dalam menuntut ilmu. Syekh Abu Bakar al-Makki dalam bahasan ini menjelaskan tentang keutamaan ilmu yang ada dalam kitab Ihya’ulum al-Din al-Ghazali. Menurutnya mengaji ihya’ akan memperoleh obat dari penyakit-penyakit hati yang parah, karena ilmu-ilmu yang ada dalam ihya’ ini yang dapat menyembuhkan, mencerahkan, dan memberikan nasehat-nasehat kepada hati manusia yang sakit, terutama disebabkan oleh problematika akhir zaman ini. Kitab ihya’ al-Ghazali adalah sebuah karya brilian yang mengagumkan, memberikan penjelasan maksud dari kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW. Syekh Abu Bakar al-Makki mengutip beberapa syair dari habib Abd Allah al-Hadad, yang maksudnya; dengan ihya’ hati kita akan menjadi hidup, dapat menghilangkan kesempitan dan kesusahan. Kitab ihya’ terkandung di dalamnya ilmu yang bermanfaat, kitab ihya, mengandung ilmu al-Qur’an dan al-Sunnah, juga atsar sahabat dan ulama-ulama salaf yang lain. Apabila ilmu yang ada dalam ihya’ dijelaskan oleh orang-orang alim, maka akan menjadi nyata keutamaan ilmu-ilmu yang ada di dalamnya, serta akan menghilangkan keraguan bagi orang-orang yang masih mempertanyakannya.
Memang banyak ulama dari berbagai mazhab, terutama oleh pengkaji studi islam bahwa ihya’ ulum al-din adalah magnum opusnya al-Ghazali. Yang mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan. Ini dapat kita buktikan dengan melakukan pelacakan, terhadap penelitian-penelitian ilmu-ilmu keislaman, obyek penelitian tokoh dan pemikirannya, pasca abad pertengahan, paling banyak adalah pemikiran al-Ghazali, terutama terhadap karya Ihya’ Ulum al-Din. Al-Ghazali dalam ihya’nya menjelaskan Islam dari berbagai perspektif, baik filsafat, normatifitas Nash al-Qur’an dan Hadits, pendekatan historis dari para sahabat dan tabi’in, sisi mistisisme tashawuf, kajian tentang hukum, ekonomi, politik, budaya, sosiologi dan sebagainya. Maka karena dari karya al-Ghazali inilah umat islam dapat menjawab problematika muslim yang beragam, dengan argumentasi-argumentasi ala al-Ghazali. Maka dari itu al-Ghazali disebut dengan hujat al-Islam. Dan memang nampaknya kitab al-Ghazali ini dapat menghidupkan kembali kelesuan umat islam setelah lama berada dalam keterpurukan dan kemunduran. Dengan penjelasan al-Ghazali, ajaran Islam mensinergikan berbagai berbagai dimensi, baik lahir maupun batin, syariah, akidah, dan tashawuf. Untuk itu para pengkaji ihya’ akan mendapatkan siraman ilmu yang merasuk kepada alam pikiran, anggota badan, dan hatinya, sehingga merasa hidup dan bangkit sesuai dengan yang dikehendaki oleh al-Ghazali, adanya kebangkitan agama Islam. Semoga kita semua diberi kesempatan untuk mengkaji Ihya’ ulum al-Din, kalau bisa sampai khatam. Dan sampai sekarang salah satu kitab yang dikaji oleh berbagai kalangan baik oleh pesantren, perguruan tinggi, majlis ta’lim, orang desa, orang kota, di negara manapun, baik barat atau timur adalah kitab Ihya’ ulum al-Din. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
*Pengasuh PP al-Kamal Blitar, Pengajar UIN Tulungagung dan Pengurus NU Blitar