“Aduh, mau mandi tak ada gayung,” gerutu Ustadz Hadi. Akhir-akhir ini memang krisis gayung. “Mesti beli lagi nih. Masak mandi tak pakai gayung.”
Ustadz Hadi menoleh ke sana kemari mencari santri untuk disuruhnya membeli gayung. “Hai, Le, sini!”
Santri berkopiah hitam itu mendekat ke arah Ustadz Hadi.
“Le, belikan mighrofah ya!” Ustadz Hadi menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan. Tak ada uang pecah memang. Si santri langsung berangkat ke toko di sekitar pondok. Walau belum tahu apa itu mighrofah, nanti ia bisa tanya sama penjualnya, batinnya.
Ia berjalan ke toko kebutuhan sehari-hari. “Mbak, beli mighrofah.”
“Mighrofah? Barang apaan itu?”
“Yang nyuruh ustadz kok Mbak.”
Si Mbak terdiam, “Kayaknya di sini tak ada barang dagangan yang bernama mighrofah. Adik cari di toko lain saja ya.”
Ia berjalan ke toko sayuran di sebelahnya.
“Di sini tak ada sayuran yang bernama mighrofah, Dik. Adanya cuma bayam, petai, terong, sawi. Tuh, adik bisa lihat sendiri,” kata ibu, pedagang sayur.
Si santri tak putus asa. Ia berjalan ke toko buah. Siapa tahu, mighrofah itu nama buah.
“Mighrofah? Buah apaan itu? Seumur-umur saya jualan buah, tak pernah menjual buah bernama mighrofah,” kata pedagang buah, seorang pria agak tua.
Si santri berjalan ke toko sebelahnya lagi, toko buku. Siapa tahu, mighrofah itu nama judul buku atau nama kitab.
“Beli apa Dik?” tanya pedagang berjilbab.
“Mighrofah Mbak.”
“Buku apaan itu? Saya sudah lama berjualan buku, Dik. Tapi, belum pernah menjual buku atau kitab yang bernama mighrofah,” jelas si pedagang.
Ia tak putus asa. Ia berjalan lagi ke toko sebelahnya, toko onderdil sepeda motor sekaligus bengkel. Siapa tahu, mighrofah itu nama onderdil motor atau merk olie terbaru.
“Pak, beli mighrofah.”
Pedagang itu memandang penuh tanya ke santri. “Mighrofah? Apaan itu?”
Si santri bingung, “Mungkin nama onderdil sepeda motor baru Pak.”
“Atau, merk olie terbaru, Pak?”
“Dari dulu adanya Mesran, Dik. Bapak belum pernah dengar ada olie yang merknya mighrofah.”
Sudah lima toko ia datangi, tapi tak ada satupun yang menjual mighrofah. Sebenarnya mighrofah itu barang apaan sih? Ia bingung. Satu-satunya harapan adalah sebuah toko yang belum ia datangi, yaitu toko pulsa. Siapa tahu mighrofah itu merk pulsa terbaru, selain Mentari, AS, dan IM3. Atau mungkin, mighrofah itu merk HP terbaru selain yang sudah ada, seperti Nokia, Siemens, Motorola dan Sony Ericson.
“Mas, beli mighrofah.”
Si pedagang kaget. “Apa, Dik? Migropah? Apaan itu? Di sini adanya pulsa sama hape Dik, tak ada barang yang namanya migropah. Maaf ya, cari di toko lain saja.”
Toko sudah habis. Ia terpaksa kembali ke pondok dengan tangan kosong. Uang lima puluh ribuan di tangannya jadi basah terkena keringatnya.
Ustadz Hadi leyeh-leyeh di kamarnya. “Lho, mana mighrofah-nya?”
“Saya sudah datangi semua toko di sekitar pondok, tapi tak ada satu pun yang menjual mighrofah. Maaf, Ustadz,” kata si santri menunduk, merasa bersalah.
“Kamu belum tahu ya, mighrofah itu artinya apa?” tanya Ustadz.
“Belum, Us,” jawab si santri lirih.
“Aduh.” Ustadz Hadi menepuk jidatnya sendiri. “Kamu santri baru ya?”
Si santri menjawab, “Iya, Ustadz.”
“Aduh!” untuk kedua kalinya, Ustadz Hadi menepuk jidatnya sendiri.*
Ditulis oleh: Moh. Sofakul Muttaqin, lahir di Blitar, 15 Januari 1984. Sejak tahun 2000 hingga saat ini masih betah tinggal di Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal. Cerpen “Belikan Mighrofah!” pernah dimuat di majalah pondok Jendela Edisi 01 Tahun I 16-31 Desember 2007.