Dan apabila disebut nama Allah sendirian-tanpa disertai dengan nama Tuhan mereka-bencilah hati orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhir, dan jika disebut nama tuhan-tuhan selain Allah dengan serta merta mereka gembira (45).
Katakan olehmu”wahai Tuhanku, yang menciptakan langit dan bumi, yang mengetahui perkara yang gaib dan yang lahir, engkaulah yang menghukum di antara hamba-hambamu tentang apa yang mereka perselisihkan (46).
Dan sekiranya orang-orang yang dzalim sungguh memiliki segala apa yang ada di bumi dan seisinya-pula yang sumpamanya, benar-benar pula mereka menebus dirinya dengan kekayaannya itu dari adzab yang buruk di hari kiamat-pada hari itu nyatalah bagi mereka dari adzab Allah apa yang belum pernah mereka sangkakan (47). Dan nyatalah bagi mereka segala kejahatan yang telah mereka kerjakan dan mereka diliputi siksaan yang dahulu mereka olok-olokkan (48).
Maka manusia apabila ditimpa bencana, merekapun menyeru kepada kami, kemudian apabila kami anugerahkan nikmat dari kami, mereka berkata: bahwasanya diberikannya nikmat dariku adalah karena pengetahuanku. Sebenanya yang demikian itu adalah suatu fitnah (cobaan) baginya, akan tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui (49). Hasbi al-Shidiqi, Tafsir al-Bayan, (Bandung:al-Maarif, II, 1140-1141).
Ayat di atas memberikan penjelasan kepada kita tentang orang-orang yang tidak percaya kepada Allah dan hari akhir yang selalu memilih selain Allah untuk mendatangkan kebahagiaan dan kegembiraan dalam kehidupannya. Orang-orang semacam ini akan melupakan hak Allah untuk selalu dijadikan dasar dalam semua hal yang mereka perbuat, sebagai pusaran dalam kehidupan mereka, sebagai dzat yang hak untuk di sembah. Menurut al-Shawi dalam Tafsirnya, orang-orang semacam ini adalah orang-orang yang selalu melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat dan berpotensi fasiq (berbuat kerusakan). Atau dapat pula dikatakan ayat ini diperuntukkan untuk orang-orang yang memilih majlis-majlis (perkumpulan-perkumpulan) yang membawa kepada kemadharatan dan kerusakan, di banding tempat-tempat yang di dalamnya di lakukan amal kebaikan dan ketaatan. (al-Shawi al-maliki, Hasyiyah al-Shawi, (Beirut:Dar al-Fikr, 2002, III).
Sehingga dalam kondisi apapun, baik keadaan suka maupun duka, susah atau gembira mereka melupakan dzat yang patut untuk di sembah dan dimintai pertolongan. Padahal kekuasaan Allah meliputi segalanya, Allah adalah sang maha pencipta, yang maha mengetahui segala yang nyata atau yang tidak nyata, tempat bersandar atas segala kesulitan dan kebingungan, tempat untuk meminta (berdoa) dalam menghadapi gangguan dari orang-orang kafir, karena segala sesuatu nanti atas keputusan Allah.
Di samping itu, keingkaran mereka kepada Allah dilakukan dengan ukuran segala sesuatu dapat ditebus dengan kemampuan akal dan harta yang mereka miliki. Al-Qur’an memberikan gambaran, seandainya mereka memiliki bumi seisinya ini, niscaya amal keburukan dan kemaksiatan ini akan mereka tebus dengan hartanya. Padahal siksa Allah sebagai balasan atas keburukan dan kemaksiatan yang telah mereka lakukan akan datang dengan tidak disangka-sangka, dan tidak seperti yang mereka duga.
Juga yang menjadi sifat dari orang-orang yang tidak percaya kepada hari akhir adalah ketika mereka ditimpa kemelaratan mereka berdoa kepada Allah, kemudian seandainya Allah telah mengganti dengan nikmat darinya, mereka akan menganggap bahwa itu adalah dari usaha dan ilmu yang mereka punyai, padahal nikmat itu adalah ujian atau cobaan dari Allah, apakah mereka termasuk orang yang bersyukur atau orang yang mengingkari nikmat Allah?. Tetapi kebanyakan manusia yang tidak beriman tidak mengetahuinya. (al-Syaerozy, Tafsir al-Baydlawi,Beirut:Dar al-Fikr, 2006,II).
Akhirnya dari beberapa tafsir di atas dapat diambil pelajaran, pertama, orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran hakiki dari Allah, Rasulullah, dan kitab Allah, akan mengukur kebahagiaannya dengan hedonism (kesenangan) yang semu, dengan orientasi kehidupan duniawiyah lepas dari aspek ketaatan kepada Allah (ukhrawiyah). Kedua, Selain kesenangan yang semu, mereka juga bersikap rasional-materialis sebagai sesuatu yang dibangga-banggakan dalam kehidupannya, dengan meninggalkan hakikat nikmat yang diberikan oleh Allah kepadanya adalah ujian atau cobaan, yang pada hari pembalasan akan dipertanggung jawabkan, apakah manusia ini termasuk orang-orang yang bersyukur dengan ketaatannya atau termasuk orang-orang yang inkar terhadap semua kebenaran dan kebesaran ajaran Allah Swt. Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.
Ditulis oleh: Dr. Asmawi Mahfudz, M.Ag. Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar dan menjadi salah satu pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung.