Memahami Substansi Spiritualitas Haji

Penulis: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag.*
Wukuf di Padang Arafah, sebuah aktivitas ibadah yang tidak dapat ditinggal oleh orang yang menjalankan rukun Islam yang ke lima itu. Kemudian jumat malam mereka akan meninggalkan arafah, menuju Muzdalifah untuk mencari batu kerikil sambil mabit, kemudian ke mabit ke Mina dilanjutkan untuk melempar jumrah.
Melihat itu, penulis ingin berilustrasi, praktek Ibadah Haji sebenarnya sarat dengan nilai-nilai, baik nilai sosial, ekonomi, politik dan lain-lain. Di antaranya dilihat dari ritual pakaian Ihram, larangan menumpahkan darah, Thawaf, dan Wuquf. Sejatinya, substansi nilai tersebut bisa diimplementasikan dalam kehidupan sosialnya ketika kembali ke tanah air, sehingga secara fungsional bisa berperan dalam usaha untuk menuntaskan problem yang dihadapi bangsa ini yang semakin hari semakin komplek. Masalah ini dalam ilmu fikih dikenal istilah penarikan hikmah dari satu ibadah (hikmah at-Tasyri’), yang peranannya sama pentingnya dengan pelaksanaan ibadah itu sendiri. Haji Mabrur yang diinformasikan oleh syari’at`, secara bahasa dan istilah mempunyai relasi kuat dengan kepedulian sosial. Kata mabrur yang berasal dari kata bir dalam bahasa arab diartikan sebagai kebaikan. Nah, dalam al-Qur’an makna itu dilebarkan bahwa kebaikan hanya diperoleh jika menafkahkan harta yang kita cintai untuk meringankan beban hidup orang lain di sekitar kita (QS ‘Ali Imran:9).
Begitu juga jika ditilik ibadah lainnya dalam rukun Islam setelah syahadat sebagai pengakuan akan Tuhan dan Nabi, seperti shalat, puasa dan zakat. Spirit komunalitas Haji setidaknya menyimpulkan kekaguman, sekaligus kekagetan. Di tengah negeri yang masih terlilit krisis ekonomi, jumlah kuota haji tidak mengalami perubahan yang signifikan, bahkan tahun ini grafiknya cenderung naik.
Anehnya, problem kemiskinan tidak berbanding lurus dengan spirit komunalitas tadi. Sejatinya, secara organik dan fungsional ibadah haji memerankan dirinya dalam usaha untuk menuntaskan problem kemiskinan bangsa. Komunitas kaya yang mampu menunaikan haji dan telah berhaji semestinya siap jadi agen penting dalam mobilitas kepedulian sosial. Secara individual mereka mempunyai modal cukup dan sepulangnya dari perjalanan haji bisa memetik hikmah haji dengan merefleksikan “kesalehan sosial”-nya. Mendarmakan sebagian harta untuk dhu’afa, sama derajatnya dengan mengeluarkan biaya ke tanah suci bagi orang yang mampu.
Makna Luhur Ritual Haji Praktek Ibadah haji sarat dengan kepedulian sosial. Pertama; afirmasi terhadap ego pribadi atas sesama yang dibuktikan dengan penanggalan pakaian yang biasa dipakai digantikan dengan hanya dua helai kain putih (kain ihram). Bukankah pakaian dalam prakteknya telah melahirkan kasta sosial, ekonomi, dan atau politik? yang mana dalam ritual ibadah haji itu diganti dengan kain sederhana yang warnanya sama dengan kain kafan (pembungkus mayat) sebagai simbol akhir sebuah persamaan ketika hidup berakhir. Lepaskan dan berperanlah sebagai manusia sesungguhnya.
Kedua; pelarangan terhadap perbuatan membunuh, menumpahkan darah, dan mencabut pepohonan. Pada dasarnya manusia berfungsi sebagai penjaga atas makhluk-makhluk lainnya untuk mencapai tujuan penciptaannya. Begitu juga larangan untuk memakai wangi-wangian, bercumbu atau berhubungan suami-isteri, dan menggunting kuku, yang semuanya itu melambangkan hiasan yang terkadang menyilaukan hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Ketiga; mengelilingi ka’bah (thawaf) untuk mengingat isteri Nabi Ibrahim yang merupakan budak dari kalangan hitam ketika menggendong putranya, Isma’il. Akan tetapi, Tuhan telah menjadikannya mulia bukan karena kedudukan dan status sosialnya, tapi karena keyakinan dan usaha gigihnya untuk hijrah dari kebathilan menuju kebaikan, dari keterbekangan menuju peradaban.
Keempat; di ‘Arafah semua jamaah haji berkumpul di padang luas nan gersang wuquf (berhenti) sampai terbenam matahari. Praktek ini, sekali lagi, akan membuat setiap individu sadar akan status kemanusiaannya sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain.Kelima; keberangkatan ke Muzdalifah dengan mengumpulkan batu yang akan dipergunakan di Mina. Tahap akhir dari ibadah ini menyimpulkan bahwa setelah penyucian diri yang dilakukan dengan melaksanakan ritual-ritual tadi di atas, dituntaskan dengan melenyapkan musuh (melempari setan dengan batu) dalam diri kita dan memulai hidup sadar atas status kemanusiaan universal.
Substansi ibadah haji lebih dilihat sebagai titik strategis tanpa menegasikan hukum wajib haji itu sendiri. Karena, artikulasi nilai-nilai yang disimpulkan dalam ibadah haji tadi mempunyai korelasi kuat dengan kecendrungan peremehan atas realitas kemiskinan di sekeliling kita. Ada cerita sufi yang menarik berkaitan dengan haji Mabrur. Satu saat, ada sepasang suami-isteri yang dikenal cukup taat beribadah dan mempunyai cukup bekal untuk melakukan ibadah haji. Hanya karena kebiasaan dia menolong sesama kaum yang lemah (mustadh’afin), ketika betemu dengan orang yang kelaparan, maka diberikanlah bekal yang seadanya tadi dan setelah itu pulang kembali ke kampungnya. Ketika sampai di rumah, suami-isteri itu dikejutkan oleh orang yang berjubah putih dan langsung menyalaminya. Dengan kaget mereka berkata, “kami tidak jadi hajinya”. Penyambut tadi menjawab, “kalian sudah jadi haji mabrur, karena tadi telah menyantuni orang meski tidak berangkat ke tanah suci”.
Dalam konteks ini, seolah mengajak kita sadar akan pesan suatu ibadah dan tidak terjebak pada formalitasnya semata. Dengan pengamalan semua nilai-nilai luhur ibadah haji, yakni kepedulian sosial, niscaya nestapa kemanusiaan yang melilit negeri ini sepertinya dapat diselesaikan. Karena, kemiskinan yang melanda tidak sedikit disebabkan oleh struktur sosial yang melingkupinya. Tanpa melakukan perubahan terhadap cara pandang atas problem kemiskinan dalam kacamata keberagamaan. Pengentasan kemiskinan akan jauh panggang dari api. Pandangan ini setidaknya dibangun dari kedudukan agama sebagai gugusan nilai yang bisa membentuk struktur masyarakat yang adil dan beradab. Islam, seperti diidamkan oleh para sendekiawan muslim lain, “Ibadah haji bisa menjadi lanskip teosentris-humanisme, yang membuat muslim tidak saja bersaksi akan adanya Tuhan dan Nabi, tapi selalu menyuguhkan aksi konkrit untuk kemanusiaan universal.
* Pengajar IAIN Tulungagung dan Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Blitar

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *