Ngaji Untuk Agama Bukan Ngaji Untuk Politik

Oleh : Afrizal Nur Ali Syah Putra*

Indonesia adalah negara maritim, Negara yang banyak pulau-pulau dan berbagai macam suku dan kemajemukan ini bukan sebatas suku, ras dan budaya, bahkan dari segi agamapun indonesia memiliki agama yang majemuk, walaupun islam adalah agama mayoritas umat Indonesia. Dewasa ini bangsa Indonesia disuguhi dengan banyak tidakkan intoleran terhadap umat beragama, berawal dari salah satu bapak gubernur yang dipandang banyak orang menistakan agama sampai kabar hangat sekarang bahwa salah satu dari ketua ormas islam dilaporkan karena dituduh menistakan agama Kristen.

Menurut penulis, ungkapan salah satu bapak gubernur yang dinilai telah menistakan agama itu adalah memang niatnya bukan menyinggung agama, tetapi lebih kepada menyinggung politisi agama, yang menggunakan ayat ayat tertentu untuk kepentingan politik, tetapi ungkapan salah satu ormas islam yang diduga telah menistakan agama Kristen ini sifatnya lebih mendasar atau telah masuk kedalam dasar keimanan umat kristiani. Sayang sudah terlanjur basah tapi hanya keluar pernyataan dangkal dan tidak berbobot, salah satu bentuk ucapannya adalah “kalau tuhan beranak, yang jadi bidannya siapa? Pernyataan seperti ini adalah pernyataan yang tidak berbobot yang mana bobotnya tidak lebih dari kebanyakan salah paham muslim-muslim yang belum pernah belajar mengenai perbandingan agama. Seharusnya muslim sejati harus menebar kasih saying dan keharmonisan serta bertoleransi dengan artian saling mengjormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain, tidak memaksakan mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama masing-masing. Nabipun dalam riwayatnya juga memberi contoh sikap toleran kaum yahudi.

Sangat disayangkan ucapan salah satu pemimpin ormas islam tersebut, disana terdapat redaksi yang mana menintolerir keragaman umat. Mungkin begitulah perbedaan orang yang mengaji dengan dasar mahabbah dan mengaji dengan dasar dorongan politik, adalah akhlaq. Orang mengaji dengan dorongan mahabbah tidak akan memaki maki orang yang berbeda pendapat, meskipun berbedaan pendapatnya membuatnya jengkel. Justru karena perbedaan pendapat inilah keharmonisan dan dialektika cinta untuk semua alam terbentuk.

Lalu bagaimana orang yang ngaji karena dorongan politik? Yaa, seperti itulah mungkin. Dia akan memperlakukan agama seperti partai politik, sehingga dia tidak bisa membedakan antara dakwah dengan kampanye. Semua yang berbeda pendapat akan dianggap lawan politiknya yang harus disingkirkan, bahkan kalau bisa dihilangkan dari muka bumi untuk selama-lamanya, orang yang ngaji karena dorongan politik syiarnya bukan menggugah kesadaran tapi lebih membangun katakutan. “jika kalian taat ajaran kami, maka kalian akan selamat, dan jika tidak, kalian akan kami hancurkan”. Agak susah memang berhadapan dengan orang yang ngaji karena dorongan politik. Karena bagi mereka dialog hanya basa basi, berbeada pendapat diartikan menghalangi tujuan politik, berbaik sangka kepada para penguasa  ditafsirkan anjing pemerintahan. Tampaknya pemikiran orang seperti itu Cuma “sikar, sikat dan sikat” sedangkan madzhabnya adalah “semua salah kecuali aku dan aku benar serta semua salah”. Mungkin orang-orang seperti mereka lupa bahwa rasullah selalu membangun perdamain kepada kaum musyrikin quraisy.

Melihat kejadian seperti itu dalam menghadapi jamaah pengajian politik memang butuh kesabaran ekstra. Senjata ampuh untuk menghadapi mereka adalah hanya doa dan akhlak seperti doa nabi :

اللهم اهد قومي لانهم لايعلمون

اللهم ارزقنا مساء

تنفرح فيه هموما

وتنشرح فيه صدورنا

وتقبل فيه توبتنا

 وتتتسع ازرقنا

وتستحاب دعواتنا

امين..

 
*Mahasiswa Semester 7 Jurusan Pendidikan Bahasa Arab di IAIN Tulungagung dan juga menjadi salah satu Mahasantri Ma’had Ali Ashaabul Ma’arif Al-Kamal Blitar.

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *