Oleh Mirza Syauqi Futaqi, S.Hum*
Pagi menjelang siang sambil mengurangi rasa lelah beraktifitas, saya kembali membuka harian Mesir, Al Masri al Yaum. Di dalam harian tersebut, lagi-lagi saya temukan opini menarik Prof. Hasan Hanafi yang berjudul Hal Yumkinu Mu’alajah At Tathorruf Bi At Tashawwuf. Opini tersebut membahas tentang penanganan ekstrimisme melalui tasawuf. Hasan Hanafi memang seorang pemikir yang cenderung mengedepankan rasio sehingga dalam beberapa tulisannya cenderung memandang miring praktek tasawuf.
Di dalam opini tersebut, tasawuf menurut Hasan Hanafi adalah sebuah sikap lari dari realitas atau kenyataan karena seseorang atau masyarakat tidak mampu memahami dan menghadapi realitas seperti melawan pemerintah yang tirani. Bagi mereka lebih baik, pergi menghadap Allah (menempuh kehidupan tasawuf dan lari dari kenyataan) dari pada tetap bertahan dengan pemerintah yang tirani.
Menurut Hasan Hanafi menangani ekstrimisme dengan tasawuf bukanlah solusi. Menangani ekstrimisme dengan tasawuf sama saja dengan menangani ekstrimisme politik dengan ekstrimisme agama. Keduanya tetaplah ekstrimisme. Ekstrimisme (politik) adalah kedzaliman dan kesewenang-wenangan sedangkan ekstrimisme agama adalah tasawuf. Ekstrimisme (politik) mengatahui apa yang dia mau dan dia masih rakus dan meminta lebih sedangkan ekstrimisme agama adalah lari dari apa yang sudah dia ketahui (kenyataan) mencari pengetahuan yang lebih agung dan membedakan hakikat dengan khayalan dan realitas dengan ilusi.
Hasan Hanafi menambahkan bahwa revolusi adalah lawan tasawuf dan tasawuf adalah lawan revolusi. Kemudian dia memberikan contoh terkait bentuk oposisi biner antara tasawuf dengan revolusi. Ketika Sholahuddin al Ayyubi hendak membebaskan Syuriah dan Palestina dari tentara salib, pertama-tama Sholahuddin membersihkan daerah-daerah tersebut dari para sufi sebagai batalion kelima guna melawan musuh karena cinta ilahi di dalam hati para sufi membuat umat manusia menjadi pecinta sehingga ketika musuh datang kepada mereka, seraya mereka berkata “selamat datang kekasih Allah” seperti dalam syair terkenal Ibnu Arabi:
لقد كنت قبل اليوم أنكر صاحبى/ إذا لم يكن دينى إلى دينه دانى
Sebelumnya, sungguhku mengingkari kawanku jika agamaku tak dekat dengan agamanya.
وقد صار قلبى قابلا كل صورة/ فمرعى لغزلان ودير لرهبان
Namun saat ini, hatiku telah menerima segala kenyataan, padang rumput bagi rusa, kuil bagi rahib,
وبيتٌ لأوثــانٍ وكعـــبةُ طـائــــــفٍ/ وألـواحُ تـوراةٍ ومصـحفُ قــــــرآن
Rumah bagi berhala, ka’bah orang yang thawaf, sabak-sabak taurat dan mushaf alquran
أديـنُ بدينِ الحــــبِ أين توجّـهـت ركـائـبهُ/ فالحبُّ ديـنى وإيـمَانى
Agamaku agama cinta, kemanapun dia menghadap maka cinta adalah agama dan imanku
Sebenarnya, Hasan Hanafi selain mengkritisi tasawuf sebagai solusi ekstrimisme dia juga menyampaikan solusi alternatif. Namun, karena perhatian saya lebih tertuju pada pandangannya tentang tasawuf, maka paparan tentang Hasan Hanafi saya rasa cukup dan sudah waktunya beralih pada kritik terhadapnya.
Sebuah Kritik
Saya memang suka dengan pemikiran Hasan Hanafi sehingga setiap membuka harian Mesir Al Masri al Yaum maka pertama saya akan membaca opini Hasan Hanafi. Namun, dalam mengaguminya, saya tidak ingin tenggelam dalam kekaguman kacamata kuda. Tentu ada beberapa hal dari pemikiran dan pandangan Hasan Hanafi yang perlu dan harus dikritisi sehingga tidak diterima begitu saja.
Dalam opini Hasan Hanafi yang berjudul “Hal Yumkinu Mu’alajah At Tathorruf Bi At Tashowwuf” saya sangat keberatan dengan pendapatnya bahwa tasawuf adalah pelarian dari kenyataan hidup sehingga tasawuf bersifat kontra revolusioner. Menurut saya tuduhan-tuduhan tesebut sangat mereduksi tasawuf yang sebenarnya dan jauh dari esensi tasawuf.
Saya hendak mengkritik pandangan Hasan Hanafi bukan menggunakan dalil al Quran atau hadist karena kritik dengan dalil tersebut, menurut pandangan saya malah akan menuai berbagai penafsiran dan alih-alih membongkar kesalahannya tetapi malah akan memperpanjang persoalan. Saya hendak mengkritik Hasan Hanafi menggunakan kritik epistemologi dan historis.
Epistemologi adalah ilmu/pengetahuan yang membahas ilmu/pengetahuan (sumber ilmu, alat untuk mendapat ilmu, proses ilmu didapat, cakupan ilmu, kekurangan ilmu dan kelebihan ilmu). Hasan Hanafi menilai tasawuf dari apa yang dipraktekkan oleh para sufi, seperti mengasingkan diri, menghindar dari perpolitikan dsb. Jika dilihat dari perspektif epistemologi, ada ketidakjelihan dalam analisisnya, yaitu alat dan sumber ilmu yang digunakan oleh Hasan Hanafi.
Dalam mendapat ilmu (tentang para sufi yang dianggap lari dari kenyataan) Hasan Hanafi menggunakan alat pengetahuan “panca indra” dan sumber pengetahuan “fakta empiris/dunia kasar”. Mari kita ungkap kelemahan alat pengetahuan yang digunakan Hasan Hanafi. Panca indra hanya memiliki jangkauan ilmu yang terbatas pada fakta-fakta empiris dan dia tidak dapat mengungkap hal-hal yang ada dibalik fakta-fakta empiris (beyond empirical facts) tersebut. Jangankan untuk sesuatu yang ada di balik fakta empiris, panca indra tidak pernah mampu melihat fakta empiris yang dihalangi oleh fakta empiris lainnya. Misalnya, seseorang tidak bisa melihat apa yang ada di dalam lubang semut, di balik tembok, di dalam kotak. Belum lagi, panca indra sering kali tertipu oleh fakta-fakta empiris yang ada. Misalnya ketika tongkat di masukkan kolam, maka tongkat tersebut akan tampak patah padahal sebenarnya tidak. Maka dapat disimpulkan bahwa panca indra hanya memiliki cakupan pada dunia benda/fakta empiris dan tentu dalam jumlah yang sangat terbatas.
Guna mengurangi keterbatasan panca indra, alat pengetahuan yang dipadukan dengan panca indra adalah rasio. Rasio mampu mengembangkan ilmu yang didapat oleh panca indra. Namun, perlu dipahami bahwa lagi-lagi rasio hanya bisa menangkap pengetahuan berbekal dari panca indra (dan panca indra memiliki cakupan yang terbatasan). Maka dapat disimpulkan bahwa panca indra dan rasio tetaplah bergantung pada sumber pengetahuan “fakta empiris/dunia kasar”. Padahal realita yang ada tidak hanya mencakup fakta empiris/dunia kasar, dalam dunia mistis masih ada relitas yang lebih tinggi yang tidak bisa ditangkap oleh alat dan sumber pengetahuan tersebut.
Beralih ke tasawuf. Tasawuf adalah sebuah domain yang memiliki misi penyucian jiwa sehingga seorang hamba dapat mendekatkan diri kepada Dzat yang paling utama. Domain tersebut hanya bisa diraih dengan alat pengetahuan “hati” dan hanya bersumber dari “Allah”. Lantas muncul pertanyaan “bukankah saya dapat mempelajari tasawuf melalui buku?” tentu pertanyaan tersebut akan saya jawab iyaa..tapi perlu diketahui bahwa tasawuf yang tertuang di dalam buku bukan lah tasawuf yang hakiki. Ilmu/pengetahuan tasawuf hanya bisa didapat dengan hati yang suci melalui berbagai praktik atau penempuhan. Dapat saya beri perumpamaan api. Saya yakin semua orang tau bahwa api itu panas. Tetapi makna panas diantara orang yang hidup di Antartika yang jarang melihat api, dengan orang yang sering melihat api dan dengan orang yang tangan atau anggota tubuhnya pernah terbakar oleh api tentulah berbeda. Orang yang tangan atau anggota tubuhnya pernah terbakar oleh api tentulah memiliki pemaknaan dan ilmu yang mendalam tentang api dibanding orang yang jarang melihat api dan orang yang tangannya belum pernah terbakar oleh api.
Oleh karena itu, dapat kita lihat ketidakjelihan Hasan Hanafi yaitu pada alat dan sumber ilmu. Hasan Hanafi melihat tasawuf dengan alat ilmu “panca indra” dan sumber ilmu “fakta empiris/dunia kasar”. Padahal tasawuf adalah domain yang hanya bisa di dapat melalui alat ilmu “hati” dan sumber ilmu “Allah”.
Setelah menguraikan kritik epistemologis, mari beranjak ke kritik historis. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa Hasan Hanafi berpendangan bahwa tasawuf bersifat kontra revolusioner, tasawuf adalah bentuk pelarian dari kenyataan. Dia mengukuhkan pendapatnya dengan memberikan bukti sejarah yaitu pembersihan tasawuf yang dilakukan oleh Sholahuddin al Ayyubi saat hendak membebaskan Syam dan palestina dari tentara salib.
Sebenarnya menganggap tasawuf bersifat kontra revolusioner dengan hanya satu atau beberapa bukti sejarah seperti yang disampaikan Hasan Hanafi tidaklah tepat. Karena masih terdapat bukti lain bahwa tasawuf bersifat revolusioner, tasawuf bisa menjadi paradigma perlawanan terhadap tirani. Pada zaman Abasiyah, seorang sufi terkenal Husein bin Mansyur al Hallaj telah dihukum mati dengan sangat tidak manusiawi. Salah satu alasan kenapa al Hallaj dihukum mati karena dia turut andil dalam perlawanan terhadap pemerintah yang dianggap dzalim.
Pada zaman Abasiyah, seperti yang dijelaskan oleh Muhyidin al Ladzaqani seorang pemikir Syuriah dalam makalahnya yang berjudul Al Mutasowwif Al Lughzu... Al Hallaj Bainal Qaramithah Wal Mutashawifin, para sufi terbagi menjadi dua. Pertama, para sufi yang memang lari dari dunia dan mendapat penghidupan dari penguasa karena mereka tidak melawan pemerintahan yang dzalim. Kedua, para sufi yang memberontak terhadap pemerintah yang dzalim diantaranya adalah al hallaj.
Meskipun al Hallaj seorang sufi, dia tetap turut berpartisipasi secara intens dalam perlawanan terhadap pemerintahan yang dzalim meski hal itu menyebabkan dirinya berakhir di panggung eksekusi dengan sangat tidak beradab dan manusiawi. Bahkan al Hallaj menjadi penghubung antara para sufi dengan gerakan Qaramithah. Hal itu dia lakukan karena dia sadar bahwa perlawanan terhadap kedzaliman adalah perintah Allah. Guna menunjukkan keluhuran sifat keperwiraan, al Hallaj menulis buku yang berjudul Thawasinul Azal Wal Iltibas. Dalam buku tersebut, al Hallaj menunjukkan sifat keperwiraan yang mendorong masyarakat untuk melawan dan memberontak terhadap kedzaliman dan melindungi orang-orang yang terdzolimi. Melalui buku itu juga, al Hallaj menunjukkan perbedaan posisinya dengan para sufi yang kontra revolusioner. Pada masa al Hallaj terdapat syair terkenal yang berbunyi :
ليس التصوف حيلة وتكلفا
وتقشفا وتواجدا بصياح
Tasawuf bukanlah tipu muslihat, kepura-puraan, kesengsaraan, dan teriakan cinta
بل عفة ومروءة وفتوة
وقناعة وطهارة بصلاح
Namun, tasawuf adalah kesucian, keberanian, keperwiraan, kerelaan, kesucian dengan kesalehan
تاء التقى صاد الصفاواوالوفا
فاء الفتوة فاغتنم يا صاح
Ketaqwaan, kejernihan, kesetiaan, keloyalan dan keperwiraan. Sahabatku jangan kau lewatkan semua itu.
Melihat itu semua, maka dapat saya simpulkan bahwa pandangan Hasan Hanafi bahwa tasawuf bersifat kontra revolusioner dan tasawuf adalah pelarian dari kenyataan adalah pandangan yang kurang tepat. Namun, sebaliknya, tasawuf dapat menjadi paradigma perlawan terhadap kedzaliman guna mewujudkan kesejahteraan dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.
*Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan sebagai alumni PPTA 2013