Oleh: Muhammad Bahrudin*
Al-Quran banyak memberi gambaran tentang manusia antara lain sebagai berikut: Manusia diciptakan dengan bentuk fisik yang sangat baik dengan rupa yang seindah-indahnya dan dilengkapi dengan organ yang instimewa seperti pancaindra dan hati agar manusia bersyukur kepada Allah yang belah memberi banyak keindahan dan kesempurnaan. Manusia pun diberi kemampuan berfikir untuk memahami alam semesta dan dirinya sendiri sebagai ciptaan Allah untuk kemudian meningkatkan keimanannya kepada Allah SWT,. Manusia mempunyai akal untuk memahami tanda-tanda keagungan Allah, kalbu untuk mendapatkan cahaya yang tertinggi dan ruh yang kepadanya Allah SWT mengambil kesaksian manusia mengenai keesaan ilahi. Bahkan kepadanya agama sebagai tuntunan agar hidupnya selamat dunia dan akherat.
Manusia diciptakan Allah sebagai khalifah dibumi dan di ciptakan Allah bukan untuk main-main melainkan untuk mengembangkan amanah dan untuk beribadah kepadaNya serta selalu menegakkan kebajikan sekaligus menghilangkan keburukan (S.3:110) dengan segala tanggung jawab. Walaupun demikian fitrah manusia adalah suci dan beriman. Kecenderungan terhadap agama adalah sikap dasarnya. Dalam keadaan sadar ataupun tak sadar manusia selalu merindukan Allah, taat, khusuk, tawakal dan tidak ingkar, terutama bila sedang mengalami malapetaka dan kesulitan hebat.
Dengan sedikit uraian di atas, penulis akan memberikan pemaparan penafsiran ayat-ayat dalam Al-Qur’an tentang manusia pada QS. Al Baqarah ayat 286, QS. Ali Imran ayat 14, QS. Ar Rum ayat 20 dan 30.
1. Surat Al-Baqarah Ayat 286
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.”
Demikianlah seorang Muslim menggambarkan rahmat Tuhan-Nya dan keadilan-Nya dalam tugas-tugas yang diwajibkan-Nya atsanya dalam mengemban kekholifahannya di muka bumi, dalam mengujinya di tengah-tengah pengembanan khilafah itu, dan dalam memberikan belasan atas amalnya setelah tugasnya selesai. Ia percaya bahwa Allah yang telah menugaskan kewajiban atasnya itu lebih mengetahui hakikat kemampuan umatnya. Dan kalau tidak berada di dalam batas kemampuanya, niscaya Allah tidak akan mewajibkanya. Abaila sesekali ia merasa lemah, lelah dan merasakan bebanya berat, maka ia menyadari bahwa itu hanyalah kelemahan dirinya, bukan beban yang terlalu berat yang telah diberikan. Ini merupakan pengarahan yang sangat bagus untuk membangkitkan kembali himmah ‘hasrat dan semangat’ ketika melemah karena panjangnya perjalanan.[1]
Memang tidak ada suatu perintah didatangkan oleh Tuhan yang tidak akan terpikul oleh tiap-tiap diri. Tidak ada perintah yang berat, apa lagi alau iman telah ada. Seumpama perintah sembahyang, tidak sanggup berdiri boleh dengan duduk. Tidak sanggup duduk boleh berbaring. Dan tiddak ada air diperbolehkan untuk tayamum. Puasa unutk orang musafir atau sakit boleh diganti di hari yang lain.[2] Pada dasarnya nafs (manusia) itu cenderung untuk melakukan kebaikan.
Kata kasabat dalam ayat di atas menunjukkan kepada usaha yang baik sehingga memperoleh ganjaran adalah patron yang digunakan bahasa arab untuk menggambarkan pekerjaan yang dilakukan dengan mudah, sedangkan Iktasabat adalah patron yang digunakan unutk menunjuk pada hal-hal yang sulut lagi berat.[3]
Tanggung jawab pribadi, maka seseorang tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari apa yang diusahakanya sendiri, dan seseorang tidak akan memikul dosa kecuali dari apa yang dikerjakanya. Kembalinya manusia kepada Tuhanya adalah bersifat personal. Keyakinan ini akan menjadikan manusia selalu membela hak Allah, dalam menghadapi semua bujukan, penyelewengan, penyesatan,dan perusakan. Tidak ada seorangpun yang mengambil alih memikul dosanya dan melepaskanya dari azab Allah di akhir. Karena itu, setiap orang harus berani membela dirinya dan hak-hak Allah terhadap dirinya, selama dia merasa bahwa kelak dia akan menerima balasan Allah secara personal, diri sendiri dan tidak ada orang lain yang menakut-nakuti dalam perjawaban dri pribadi ini.[4]
Seakan-akan kaum mukminin itu telah mendengar dan memahami hakikat ini. Karena itu, meluncurlah dalam hatinya do’a dengan penuh rasa takut dan kekhawatiran, sebagai mana yang telah disebutkan dalam nash al-Qur’an dengan metode diskripsinya. Kita seakan-akan sedang menyaksikan pemandangan do’a, dan kaum mu’minin sedang berbaris khusyu, sesudah adanya pengumuman tentang hakikat pertanggung jawaban dan pembalasan.[5]
2. Surat Al-‘Imran Ayat 14
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak [6]dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Secara sekilas jika kita melihat ayat tersebut adalah menguraikan tentang hal-hal yang menjadikan kecintaan kepada syahwat. Syahwat adalah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat inderawi atau material. Dari ayat tersebut dapat kita lihat secara teliti bahwa yang dijadikan indah adalah kecintaan, bukan ha-hal yang akan disebutnya. Bisa jadi ada di antara apa yang disebut dalam rinciannya itu bukan merupakan dorongan hati yang sulit atau tidak terbendung. Tetapi kalau dia telah dicintai oleh seseorang, maka ketika itu ia menjadi sulit atau tidak terbendung.[7]
Kita dapat berkata yang menjadikan indah adalah Allah. Adalah merupakan fitrah, yakni bawaan manusia sejak lahir bahwa ia mencintai lawan jenisnya serta harta benda yang beraneka ragam. Ada enam macam hal yang manusia sangat menyukainya karena hendak ingin menguasai dan mempunyainya, sehingga yang nampak oleh manusia hanyalah keuntungannya saja sehingga manusia tidak memperdulikan kepayahan buat mencintainya. Yaitu dari hal perempuan dan anak laki-laki, dan berpikul-pikul emas dan perak, dan kuda kendaraan yang di asuh dan binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah enam macam yang sangat disukai, diinginkan, dan dengan berbagai macam usaha manusia ingin mempunyainya.[8]
Akan tetapi, fakta juga membuktikan bahwa di dalam fitrah manusia ada sisi lain yang mengimbangi kecendrungan-kecendrungan itu dan menjaga manusia agar tidak tenggelam dalam sisi ini saja serta kehilangan tiupan keluhuran atau petunjuk dan pengarahannya. Sisi lain ini adalah sisi persiapannya untuk meningkatkan derajatnya dan persiapan untuk mengendalikan jiwa serta menghentikannya pada batas-batas yang sehat dalam mengaktualisasi keinginan-keinginan itu.[9]Pada dasarnya cinta Harus bersemi dalam jiwa setiap orang, sementara perasaan benci harus dijauhi dan dihilangkan. Pasalnya, jiwa itu aka mulia karena cinta,akan sempit dan berkarat karena sifat benci (marah). Sikap saling mencintai antara sesama adalah anjuran Allah, supaya terbangun sebuah keluarga yang dilandasi oelh kasih sayang, saling mencintai dan satu perasaan antar sesama. Mencintai teman (yang sesuai dengan syariat) adalah suatu hal yang sangat penting dalam hidup. Karena, dia akan mampu menumbuhkan sikap optimis, kegembiraan, dan perasaan senang dalam bekerja ataupun beraktivitas laiannya dalam hidup ini. Namun, harus ada keseimbangan antara rasionalitas dan perasaan. [10]
Allah swt., mejadikan manusia untuk menjadi khalifah di bumi. Mereka ditugaskan membangun dan memakmurkannya. Untuk maksud tersebut, Allah menganugerahkan naluri kepada manusia berupa naluri mempertahankan hidup di tengah aneka makhluk, baik dari jenisnya maupun dari jenis makhluk hidup yang lain yang memiliki naluri yang sama. Naluri inilah yang merupakan pendorong utama bagi segala aktivitas manusia. Dorongan ini mencakup dua hal pokok, yaitu “memilihara diri” dan memelihara jenis”. Dari keduanya lahir aneka dorongan, seperti memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, keinginan untuk memilki dan hasrat untuk menonjol. Semuanya berhubungan erat dengan dorongan/fitrah memelihara diri, sedang dorongan seksual berkaitan dengan upaya manusia memelihara jenisnya.
Ketika al-Qur’an mengakui dan menegaskan adanya kecintaan kepada syahwat-syahwat itu, atau dengan kata lain dorongan-dorongan untuk melakukan aktivitas kerja, maka dorongan itu harus lebih besar yakni memperoleh apa yang berada di sisi Allah. Karena itu, ayat di atas diakhiri dengan pernyataan wallahu indahu khusnul ma’ab (di sisi Allah terdapat kesudahan yang baik).
Sekali lagi, kalau syahwat di atas digunakan sebagaiman digariskan oleh Allah swt serta sesuai tujuan Nya memperindah, maka semuanya disebut di atas adalah baik. Yang mencintai lawan seksnya, bahkan melakukan hubungan seks demi memelihara diri dan memperoleh keturunan, bukan saja tidak berdosa tapi malah mendapat pahala.
Kalau yang memeperindahnya adalah setan, maka syahwat-syahwat tersebut menjadi tujuan. Ia diupayakan dan dimanfaatkan untuk tujuan di sini dan sekarang, di dunia ini, bukan di akhirat kelak. Misalnya jika setan memperindah kecintaan pada seks, maka sudah tidak memandang lagi sebagai tujuan, yang penting melampiaskan walaupun dengan cara kotor. Hal inilah yang tidak dikendaki oleh Allah dan bukan itu tujua Allah memperindah syahwat untuk manusia.[11]
3. Surat Ar-Rum Ayat 20
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.
Dan diantara bukti-bukti kekuasaan-Nya adalah menciptakan asal-usul kejadian kamu dari tanah yang kamu ketahui tidak mempunyai unsur kehidupan. Kemudian tiba-tiba, tanpa campur tangan kamu dan tanpa dapat diduga oleh siapapun kamu menjadi manusia-manusia yang berkembang biak dan bertebaran bukan hanya dipermukaan bumi tetapi di angkasa, bahkan ada manusia yang pernah samai ke bulan dan banyak yang membayangkan dapat hidup bertebaran di planet-planet lainnya.
Ada juga yang memahami kata tanah di sini dalam arti sperma sebelum pertemuannya dengan indung telur. Mereka memahami demikian atas dasar bahwa asal-usul sperma adalah dari makanan manusia baik tumbuhan atau hewan yang bersumber dari tanah. Kata basyar digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan manusia secara umum, yamg kesemuanya memiliki persamaan dalam potensi kemanusian tanpa mempertimbangkan perbedaan-perbadaan dalam sifat-sifat individual, atau tingkat kecerdasan pikiran dan emosi masing-masing. Kata ini juga mengesankan pencapaian masa kedewasaan dan kemampuan berhubungan seks. Al-Razi dalam tafsirnya memperoleh kesan dari kata basyar sebagai makhluk yang mempunyai potensi mengetahui. Sedang kata tantasyirun dipahami oleh ulama’ itu sebagai potensi penggerak. Oleh karena itu potensi pengetahuan dan penggerak, sungguh jauh dari sifat tanah, namun itu dimiliki manusia yang asalnya dari tanah. Ini adalah sesuatu yang sangat menabjubkan dari ciptaan Allah.[12]
Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak, akibat hubungan seks atau bertebaran mencari rezeki. Kedua hal ini tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Karena itu pula Maryam a.s. mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak, padahal dia belum pernah disentuh oleh basyar (manusia dewasa yang mampu berhubungan seks). (QS Ali ‘Imran [3]: 47). Kata basyiruhunnayang digunakan oleh Al-Quran sebanyak dua kali (QS Al-Baqara[2]: 187), juga diartikan dengan hubungan seks. Demikian terlihat basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikan mampu memikul tanggung jawab. Karena itulah tugas kekholifahan dibebankan kepada manusia. [13]
4. Surat Ar-Rum Ayat 30
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Ayat di atas menjelaskan unutk mempertahankan dan meningkatkan upaya menghadapkan diri kepada Allah secara sempurna, karena selama ini kaum muslimin apalagi Nabi Muhammad SAW telah menghadapkan wajah kepada tuntunan agamanya. Dari perintah di atas tersirat juga perintah untuk tidak menghiraukan ganguan kaum muslimin. [14]
Secara umum kata fitrah digunakan untuk penciptaan awal. Firah manusia adalah kejadianya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya. Adapun fitrah dalam pengertian khusus menurut agama (Islam) adalah sebagaimaan diisyaratkan Allah dalam QS. Al-a’raf: 172-173 dan dijelaskan pada QS. Ar-Rum: 30 di atas. Yang pertama mengisyaratkan bahwa manusia sejak awal kejadianya telah membawa fitrah al-tauhid (berketuhanan Yang Maha Esa). Sedang yang kedua menjelaskan manusia itu pada dasarnya diciptakan dalam keadaan hanif (membawa potensi agama yang lurus) yang disebut fitratallah, yakni agama yang berdasarkan pada ma’rifat kepada Allah dan mentauhidkan-Nya.[15]
Eksistensi kefitriaan agama ini juga diakui oleh para psikolog baik terdahulu maupun sekarang. Pernyatan-pernyataan ketidak fitrian agama dari Sigmun Freud, Julian Huxley, Durkheim, Darwin, A. Comte, F. Nietsche, Karl Marx dan lain-lain ternyata pada akhirnya tidak mendapat bukti lebih lanjut. Bahkan murid Freud sendiri, Carl Gustav Jung setelah menerapkan psikoanalisanya mendapatkan apa yang disebut Naturaliter Religiosa yang mengandung pengertian bahwa dalam tiap-tiap jiwa manusia ada fungsi percaya kepada Tuhan. Dr. Alexis Carel dalam Man The Unknown menyatakan bahwa manusia pada beberapa keadaan ruhaniahnya merasakan kebesaran dan keagungan ampunan Tuhan. William James menegaskan bahwa,” selama manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama (berhubungan dengan Tuhan). Dalam buku The Lesson of History, Will Durrant (seorang peneliti yang tidak mempercayai agama manapun)- menyatakan bahwa, “agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu bila telah dibunuh, maka saat itupun dia sudah mati. Lain halnya dengan agama, sekiranya ia seratus kali dibunuh, ia akan muncul lagi dan kembali hidup setelah itu”.[16]
Sebagian Ulama’ tafsir dalam menafsiri ayat laa tabdiila mengatakan bahwa ayat ini adalah kalimat berita sesuai dengan apa adanya yag berarti bahwa Allah swt memberikan fitrahnya secara sama rata diantara semua makhluknya, yaitu fitrah (pembawaan) yang lurus. Tiada seorangpun yang dilahirkan melainkan dibekali dengan fitrah tersebut dalam kadar yang sama dengan yang lain.[17]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dari Abu Hurairah diceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda:
ما من مولد يولد الا علي الفطرة فأبواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه
Artinya: tidak ada anak yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikanya yahudi,nashrani atau majusi (HR. Bukhari)
*Tenaga pengajar di SMP Al-Kamal dan Pon Pes Terpadu Al-Kamal.
[1]Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an jilid 2 , (Jakarta: Gama Insani, 1992), h. 113
[2]Hamka, Tafsir al-Azhar juz III, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1986), h. 93
[3]M. Quraish shihab, Wawasan al-Qu r’an, (Bandung: Mizan, 2007), h. 287
[4] Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an.,… h. 314
[5]Ibid.,
[6]Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah binatang-binatang yang Termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri.
[7]Quraish Shihab. Tafsir Al Misbah Vol.2. Cetakan ketiga, 2005. Jakarta : Lentera Hati, h. 24
[8]Hamka, Tafsir al-Azhar juz III.,… h. 118
[9]Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an jilid 3, (Jakarta: Gama Insani, 1992), h. 113
[10]Akhmad Khalid Allam, Al-Qur’an dalam keseimbangan alam dan kehidupan, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 168
[11]Ibid., hal 25-26
[12]M. Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah vol. 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 32-33
[13]M. Quraish shihab, Wawasan al-Qu r’an.,.. h. 279
[14]M. Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah vol. 11.,… h. 52
[15]Tim sembilan, Tafsir Maudhu’i Al-Munthaha, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), h. 41
[16]Ibid., h. 48-49
[17]Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim terjemahan Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Algensindo, 2006), h. 114