Oleh: Lucky Tjatra Brillian*
Malam itu hujan deras mengguyur desa kecil Emak. Aku yang tergopoh-gopoh keluar dari sedan hitamku, disambut tak kalah tergopoh-gopohnya oleh Emak.
“Ayo, ayo masuk, ini handuknya. Emak buatkan teh dulu ya, atau kopi?” Emak bertanya bak tak lagi membutuhkan jawaban.
“Kopi saja, Mak.” jawabku sambil mengusap rambut dengan handuk dari Emak.
Sejenak kemudian Emak ngeloyor pergi ke dapur, meninggalkanku di ruang tengah Emak. Rumah yang semenjak dulu masih sama. Megah pada masanya, hanya pada akhirnya tergantikan oleh arsitektur terbitan barat. Rumah ini, saksi bisu masa kecilku. Hanya catnya yang setiap dua tahun sekali diganti. Selebihnya sama, bahkan fotoku saat masih tengkurap tanpa baju, 21 tahun yang lalu.
Emak merupakan nenek dari ibuku. Menjadi janda sejak dua tahun yang lalu. Meski sudah berumur, Emak masih bugar memelihara beberapa ribu burung puyuh petelur yang dirawatnya sendiri dan beberapa ekor sapi yang dirawat bersama pak likku. Emak tinggal bersama dua orang sepupuku. Mbak Siska dan Mas Yudha, mereka seumuran denganku, maka mereka juga bekerja. Jadilah Emak yang seorang mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Terkadang, Ibu membantu Emak, hanya Ibu juga sibuk. Tak bisa setiap hari membantu Emak.
Aku? cucu pertama Emak dari anak tunggalnya, ibuku. Aku semenjak SMP selalu sekolah di luar kota. Jarang pulang. Sekarang tempatku bekerja sambil mengenyam studi S2 malah semakin jauh dari rumah Emak. Malam ini aku bisa pulang ke rumah Emak karena kepentingan tugas. Mungkin akan menginap beberapa hari, bahkan minggu.
“Byoh, byoh, byoh,, kenapa mendadak sekali pulangnya? malam-malam lagi. Apa gak takut nyetir sendiri?”
Emak datang membuyarkan lamunanku. Membawa secangkir kopi hitam yang masih berasap. Aku hanya tersenyum.
“Matur suwun, Mak” ucapku menyeruput kopi hitam dari Emak, yang bahkan lebih nikmat daripada kopi-kopi di starbuck’s.
“Sudah biasa, Mak. Emak enggak perlu khawatir”
“Yah, begitu kalau masih muda. Enggak punya takut. Apa sudah bilang sama ibumu kalau malam ini kamu di sini?” Emak seperti biasanya selalu mengkhawatirkanku.
“Sudah, Mak, kulo sampun matur.”
“Sebenarnya pekerjaan apa yang akan kamu kerjakan di desa yang hampir mati ini?”
“Anu, Mak. Kulo mau menghentikan penambangan pasir ilegal di bantaran kali Brantas.”
Emak terdiam. Matanya menatapku sendu. Membuatku memalingkan muka. Lebih baik begitu daripada kemudian aku menangis.
“Byoh, byoh, byoh tekadmu sungguh mulia Nduk. Hanya saja kamu terlambat satu langkah.”
Aku tercengang. Pikiranku sudah tertuju pada hal-hal negatif. Jangan-jangan bantaran Brantas itu sudah tiada. Terkikis Brantas sendiri, juga dikeruki tangan-tangan jahil. Atau malah penambangan itu yang sudah dihentikan.
“Dua hari yang lalu, lelaki-lelaki yang biasa “sobo” kantor kesini sambil membawa dua kapal keruk, Nduk.”
Yang dimaksud Emak lelaki-lelaki yang biasa “sobo” kantor adalah kaum-kaum yang menadah penambangan pasir di bantaran Brantas itu. Mereka memang selama ini hanya berada di kantor desa. Mengurus administrasi dan kesekretariatan penambangan.
Sedangkan yang diterjunkan langsung di TKP bersama segala resikonya adalah para warga yang tak memiliki pekerjaan selain manol. Pencari pasir di bantaran Brantas.
“Apa pemerintah desa tidak melarang, Mak?”
“Nduk, para pamong sudah angkat tangan atas itu. Itu sudah menjadi urusan yang punya tanah. Kalau mereka mau menjual tanah itu, ya silahkan.”
Aku hendak membantah, tapi malam semakin larut. Kopiku juga telah tandas. Maka malam itu, pembicaraan berakhir tanpa menemukan solusi. Setidaknya, belum.
***
“Nduk, sudah pagi. Ayo ikut Emak nyari sayur!”
Aku dengan berat hati bangun. Ah, ini di desa, bukan kota tempatku bekerja.
Setelah membasuh muka, Emak mengajakku ke bantaran kali Brantas, mencari kangkung untuk sarapan. Belum sampai ke tempat yang terdapat banyak kangkungnya, langkahku terhenti.
Bagian yang berbatasan langsung dengan kali Brantas adalah bagian yang landai. Dari tempatku berdiri, aku dapat melihat hamparan yang landai itu mulai berlubang di mana-mana, dengan berbagai ukuran dan berair. Seperti kawah-kawah pada permukaan bulan. Dulu, 17 tahun yang lalu, aku senang bermain di bagian yang landai itu. Lapang, berbatu, dan pada beberapa titik terdapat ilalang yang elok dipandang. Dengan angin yang berhembus kencang, pepohonan besar hanya ada di pinggiran, aku bersama kakakku senang menerbangkan layang-layang di sana. Dari satu sisi terdapat pohon mangga manalagi milik Mbah Kakung, jika berbuah boleh dipanen oleh siapa saja. Selain itu, Mbah Kakung juga mendirikan saung kecil yang tak jauh dari pohon mangga. Maka lengkaplah tempat bermainku di bantaran kali Brantas, dulu.
“Nduk, Masa alah, kamu itu muda kok jalannya lelet, bagaimana kalau besok tua?” Emak berteriak dari jauh dan suaranya menggema. Tergesa, aku menyusul Emak. Untung, Emak memanggil, jika tidak, sepertinya aku akan sesenggukan mengenang masa lalu.
Tak butuh waktu yang lama untuk mencari sayur kangkung. Kangkung memang berhabitat pada pinggiran salah satu kawah buatan hasil penambangan pasir yang menganga cukup lebar itu.
“Nduk, Alon-alon, ada yang pernah mati tenggelam dalam kubangan-kubangan seperti itu.”
“Loh, itu dalam ya Mak?”
“Dalam sekali, Nduk. Kubangan itu dikeruk ke samping dan ke dalam. Apalagi pakek kapal keruk. Mencari pasir menjadi lebih cepat dan mudah.”
Aku menyisih, mengambil kamera digital yang sudah kukantongi sebelum berangkat tadi. Aku memotret Emak yang sedang membungkuk mencari kangkung dengan aritnya, dengan latar belakang sebuah kubangan besar hasil penambangan pasir.
“Hei, siapa kamu? Jangan mengambil gambar di sini!”
Aku terkejut, Emak langsung menoleh ke sumber suara. Aku masih berdiam di tempat. Ketakutan.
“Pak, byoh, byoh, byoh Pak Karyo. Kok enjing-enjing pun teng mriki to, Pak?”
Orang yang dipanggil Pak Karyo oleh Emak bergeming. Masih melototi aku yang sama sekali tak berani berkutik.
“Itu cucuku, Pak. Itu lo, anaknya Mira yang mbarep, lagi liburan.”
Emak mengikat kangkung yang telah dicarinya, lantas menghampiri lelaki paruh baya yang dipanggilnya Pak Karyo. Mereka berbisik-bisik sejenak.
“Nduk, sini Nduk. Pak Karyo mau kenalan.”
Mau tak mau, aku menghampiri mereka berdua. Berjabat tangan dengan Pak Karyo yang jangkung, setengah botak, dan berkumis. Tangannya bau minyak rambut masa 80-an. Membuat isi perutku bergejolak.
“Sekarang kerja dimana, Nduk?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling setelah mengetahui namaku. “Saya masih kuliah, Pak. S2 jurusan Bahasa Inggris.”
Ngapunten pak saya bohong, ucapku dalam hati. Aku paham betul, hanya orang-orang tertentu yang boleh tahu identitasku sebenarnya.
“Wah, bagus itu. Kapan-kapan ajarilah warga desa untuk belajar bahasa Inggris, biar enggak cuma Jawa-Indonesia bahasanya.”
Aku tersenyum ramah menanggapi ucapannya.
“Kenapa tidak boleh memotret, Pak?, padahal angle-nya bagus lo.”
“Yah, agar tidak terciduk, Nduk. Bahaya kalau fotonya nanti menyebar ke mana-mana, terus ada pemerintah yang tahu. Penambangan pasir nanti bisa ditutup. Jadi banyak orang pengangguran. Kalau urusan sama uang pasti repotlah, Nduk. Tapi kita tak bisa hidup tanpanya.”
“Ah, saya pulang dulu saja ya. Mau masak kangkung ini.” Emak beranjak dari duduknya. “Kalau sudah selesai cepat pulang ya!”
Setelah Emak pergi, perbincanganku dengan Pak Karyo hanya bualan. Kebanyakan Pak Karyo yang bertanya, berusaha membuka kedokku. Namun, ya tetap saja gagal, dan akan selalu begitu.
“Pak Karyo! Astaga, saya cari Bapak dari tadi, ternyata di sini sama wedokkan baru.”
“Ada apa, Kang?”
“Orang-orang kota datang, Pak. Sekarang ada di rumah Bapak.”
Wajah Pak Karyo berubah pias sejenak. Kemudian ia kembali tersenyum.
“Nduk, saya ada tamu, Mangga.”
“Emp.. Pak.. saya boleh ikut menemui tamu, Bapak?”
Pak Karyo menoleh padaku. Menimbang sejenak.
“Ini urusan bisnis, Nduk. Nanti kamu bosan mendengarkannya.”
“Justru karena urusan bisnis, Pak.”
“Loh, kenapa, Nduk?”
“Siapa tahu ada “joko” yang mau sama saya.”
Akhirnya Pak Karyo tersenyum, lantas mengangguk tanpa ragu. Tanpa menghubungi Emak terlebih dahulu, aku mengikuti langkah Pak Karyo. Jalan yang kami lewati tidak securam dan seterjal jalur yang kulewati bersama Emak. Hanya sepanjang jalur ini lebih gersang. Di sekitarnya hanya ada beberapa pohon kelapa, itupun sebagian besarnya dimakan oleh wawung, hewan pengerat sejenis tupai.
Rumah Pak Karyo adalah rumah termewah dibandingkan dengan jajaran rumah sekitarnya. Sudah bergaya arsitektur modern, ketika rumah lainnya masih berupa joglo. Tamu-tamu Pak Karyo lebih “Wah” lagi. Empat orang pria bersetelan jas kinclong, dengan mengendarai leopart versi limited edition, belum terpasang plat nomor kendaraan. Mereka tampak mencolok di desa. Melihat mereka di gubuk Pak Karyo, aku seakan melihat permata di atas tumpukan batu kali Brantas. Mereka adalah tangan kanan perusahaan yang menaungi penambangan pasir di bantaran Brantas.
“Pak Karyo, kebutuhan pasir dan batu koral meningkat, mana mungkin seusai didatangkannya kapal keruk, hasil penambangan malah menurun?”
“Tenang saja, Pak,” Pak Karyo dengan senyuman “Sebentar lagi, seluruh tanah ngledokkan akan menjadi kuasa kita.”
“Ah, tidak mungkin, kemarin kamu pernah melaporkan bahwa ada pengacara yang datang ke desa ini untuk mengusung kasus penambangan. Sehebat apa pengacara itu?”
Aku terpaku di tempat. Pak Karyo dan keempat tamunya memandang ke arahku dengan beringas. Yang terakhir kuingat adalah ketika salah satu dari pria berjas itu membekapku dan aku jatuh pingsan.
Aku gagal hari itu, tamu-tamu Pak Karyo langsung membawaku kembali ke kota. Tanpa berkata apa pun pada Emak. Seluruh barang bawaan, termasuk mobilku ditinggal di rumah Emak. Mereka mengancam perusahaan tempatku bekerja agar tidak memberiku lisensi untuk mengusut masalah ini, bahkan tidak memberiku izin untuk mengambil barang-barangku yang tertinggal di rumah Emak.
Aku juga lost contact dengan kerabat yang ada di desa. Aku baru bisa menghubungi Emak 8 bulan setelah tragedi itu, ketika ibu mengunjungi Emak karena ibu mendengar kabar Emak tertimpa musibah. Ibu langsung memerintahkanku pulang ke rumah Emak. Apa pun resikonya. Tanpa berpikir dua kali, aku pulang. Tak peduli esok aku dipecat, atau malah tak lagi bernapas. Yang terpenting saat ini adalah Emak, dan apapun yang ada di desa, bantaran kali Brantas.
“Byoh, byoh, byoh Nduk.” Kembali Emak menyambutku dengan senyuman yang berlinang air mata. Emak memelukku erat, dan Emak menangis dipelukanku. Lantas melepaskan pelukannya ketika handphone-ku berdering. Ada telepon dari managerku.
“Di mana kamu sekarang?”
Aku masih menyiapakan mental untuk berkata-kata, namun lelaki di ujung sana meneruskan kalimatnya.
“Saya bersama beberapa senior lawyer akan mengobservasi TKP kasus yang dulu saya tugaskan kepadamu. Ternyata kasus itu sedemikian parah, saya menyesal menarikmu sebelum kasus itu terselesaikan.”
Malam itu, dadaku sedikit membusung atas pujian dari orang nomor satu di kantorku. Selebihnya, aku hanya bisa bersyukur atas terusutnya kasus penambangan pasir ilegal di bantaran kali Brantas. Meski terlambat delapan bulan yang membuat bantaran Brantas ambrol, dan kebun warisan Mbah Kakung terendam banjir selama enam bulan.
“Byoh, byoh, byoh Thole-thole bagus ini temannya si Nduk?”
Ke-enam rekan kerjaku tersenyum ramah pada Emak. Pagi harinya ketika mereka hendak mengobservasi bantaran kali Brantas.
“Padahal bagus-bagus lo Nduk. Tapi kok kamu enggak ambil satu dari mereka buat diajak nikah?”
“Byoh, byoh, byoh, Emak” gumamku, dalam hati.
*Santri kelas 2 tingkat Wustho Khos Madin Al-Kamal