Filsafat Dalam Analisis Wacana

Oleh : Afrizal Nur Ali Syah Putra*
Tujuan bisa sama, tetapi cara untuk mencapai tujuan itu boleh saja berbeda. Hal yang demikian itu terberlaku pada tokoh analisis bahasa. Tujuan mereka jelas sama, yaitu menjernihkan penggunakaan bahasa dalam filsafat serta menyembuhkan kekacauan yang dibuat filsuf terdahulu. Oleh karena itu timbul beberapa aliran dalam MAB. Pada umumnya aliran yang ada dalam MAB itu memiliki tolak yang berbeda beda tentang masalah penggunaan bahasa bagi maksud-maksud filsafat.
A. Atomisme logic
Pemikiran atomisme logis Bertrand Russell adalah mampu menyintesiskan berbagai macam filsuf sebelumnya maupun sezamannya. Bertrand Russdell menekankan konsep atomisme tidak didasarkan pada metafisika melainkan lebih pada logikanya sebab logika merupakan hal paling dasari dalam filsafat. Russell membangun bahasa yang mampu mengungkapkan  realitas berdasarkan formulasi logika.
Menurut Russell tugas filsafat adalah analsisis logis dan disertai dengan sintesis logis, mengandung pengertian bahwa untuk mendapatkan kebenaran diajukan dengan mengajukan alasan-alasan yang bersifat apriori yang tepat bagi suatu pernyataan. Sistesis logis dilakukan dengan menentukan makna atas pernyataan atas dasar empiris. Dengan pola ini Russell berhasil memecahkan problema filsafat melalui analisis bahasa.
Metode analsis bahasa dalam pemecahan masalah filsafat yang mendasarkan pada analisis apriori dan sintesis aposteriori merupakan  alur pikir kritisisme Immannuel Kant. Atomisme logis didasarkan juga alasan bahwa atom-atom yang ingin dicapai Russell bukan merupakan atom fisik, melainkan atom logis.
a. Corak Logic (Logical Types)
Dengan bertitik tolak pada bahasa logika, russel bermaksud menentukan corak logik yang terkandung dalam suatu ungkapan, dia melihat bahwa penyimpangan yang terjadi dalam bahasa filsafat adalah ketidak pahaman terhadap bahasa logika oleh karena itu russel mensinyalir adanya perbedaan corak logic yang berbeda. Penjelasan russel mengenai suatu pengertian atau istilah yang mempunya corak logic yang sama  diungkapkan memalui contoh: ‘’ A dan B hanya dapat dikatakan mempunyai corak logic yang sama, jika unsur A mengngandung kesesuain dengan unsur B, sehingga akibat yang berlaku atau unsur lawan bagi B dapat digantikan pada. Kita ambil suatu taswir sekarang : Socrates dan aristoteles memiliki corak yang sama, sebab Socrates adalah seorang filsuf dan aristoteles seorang filsuf, keduanya mengandung fakta yang sama (sama-sama filsuf).
Banyak orang tentu menyadari bahwa setiap kata itu mempunya fungsi logic yang berbeda, kata kerja misalnya tidak dapat digunakan sebagai kata benda, dan kata sifat tidak bisa digunakan sebagai kata penghubung. Apa yang penting disini adalah, kesimpulan logic itu secara umum digambarkan atau dilukiskan russel, berdasarkam fakta.
Melalui penentuan corak logic russel berhasil memecahkan sejumlah paradox yang tampaknya mustahil untuk dikatakan sebagai benar, yang telah membingungkan para filsuf sejak zaman yunani. Misal sifat yang dikenakan pada epimenedes – seorang warga masyarakat kreta – sebagai seorang pembohong. Jika ia mengatakan ‘’semua masyarakat kreta itu pembohong’, padahal ia sendiri adalah warga kreta, berarti pernyataan yang demikian itu adalah bohong dan karena itu salah.
Contoh serupa dapat kita lihat pada pernyataan berikut:

  • Segala pentuk perapatan itu salah (ini pun termasuk salah satu bentuk perapatan, oleh karena itu juga salah)
  • Semua peraturan mengandung kekecualian (pernyataan ini termasuk suatu peraturan oleh karena itu mengandung kekecualian pula).
  • Setiap pernyataan ilmiah yang tidak didasarkam atas verifikasi itu hanya omong kosong (pernyataan ini pun termasuk omong kosong karena tidak didasarkan atas verifikasi apa pun).

Bentuk-bentuk pernyataan yang bersifat paradox itu berhasil diatasi russel dengan membedakan antara semua unsur yang termasuk kedalam suatu himpunan, sebagai sesuatu yang tidak dengan sendirinya merupakan himpunan itu sendiri. Misalnya  jika dikatakan Socrates dan plato termasuk anggota atau unsur dari himpunan ‘’filsuf’’, maka itu tidak berarti kelas ‘’filsuf’’ itu sendiri merupakan seorang filsuf. Sebab kelas ‘’filsuf’’ lebih tinggi tingkatannya dari pada seorang filsuf, sehingga masing-masing terletak pada jenis hirarki yang berbeda pula.
b. Prinsip Isomorfi (Kesepadanan)
Menurut pandangan russel, seluruh pengetahuan hanya dapat dipahami apabila apabila diungkapkan dengan bahasa logika, analisis bahasa yang benar itu dapat menghasilkan pengetahuan yang benar pula tentang dunia, karena unsur paling kecil dari bahasa (proposisi atomic) merupakan gambaran unsur yang paling terkecil dari sebuah fakta (fakta atomic). Prinsip isomorfi berkaitan dengan dasar acuan bagi suatu kata atau ungkapan. Dengan memberikan dasar acuan itu russek menganggap telah ‘’mengisi’’ setiap pernyataan dengan fakta.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang pemberian dassar acuan bagi kata atau istilah sebagai unsur-unsur bahasa itu, kita dapat melihat pada pengelompokan berikut:

  • Nama diri : yaitu jenis jenis kata yang mengacu pada nama pengganti diri atau sesuatu yang ditujukan oeh nama diri tersebut. Misalnya: si badu, jawa, kuda.
  • Nama diri logic : yaitu jenis jenis kata deiktik atau jenis-jenis kata yang mempunyai acuan lebih dari satu yang arti/ maknanya sangat tergantung pada sipenutur atau situasi penuturnya. Misalnya: jenis kata petunjuk ‘’ini’’, ‘’itu’’, dan jenis kata ganti ‘’aku’, ‘’dia’’, ‘’engkau’’, dan lain-lain.
  • Pemberian batas penumggal : yaitu rangkaian kata (gatra) yang mengacu pada seseorang atau sesuatu menurut batasan yang telah ditentukan dalam pemberian tersebut.

Hal yang tidak kalah pentingnya sehubungan dengan prinsip isomorfi adalah, kecenderungan pandangan russel kearah metafisik. Sebab mengatakan bahwa dunia dapat diasalkan kepada fakta atomic, jelas sekali merupakan suatu pendapat metafisik’’.
c. Fungsi Kebenaran
Visi russel menganalisis bahasa diperkuat dengan dasar-dasar logika, salah satu diantaranya ialah fungsi kebenaran, menurut Russell, analisis logis terhadap bahasa akan menempatkan studi tentang tata bahasa yang mampu menjelaskan secara lebih terang persoalan-persoalan filsafat ketimbang sesuatu yang biasanya dianggap sudah benar oleh kebanyakan filsuf. Russel megajukan contoh tentang pernyataan yang terkait dengan kalimat yang bertata bahasa tunggal, namun struktur logisnya jama’ sebagai berikut:
‘’Saya pergi keluar dan mendapakan hari sedang hujan’’. Kalimat ini dapat dipecah kedalam dua pernyataan yang mempunya struktur logis sendiri-sendiri yaitu: (1) saya pergi keluar, (2) saya mendapatkan hari sedang hujan. Kedua kalimat itu dihubungkan secara logis dengan penghubung ‘’dan’’, ‘’atau’’ sehingga jika kalimat pertama diganti dengan symbol ‘’p’’ kalimat kedua dengan symbol ‘’q’’, maka kalimat tersebut dapat disingkat menjadi p dan q. ini berarti kalimat ‘’saya pergi keluar dan memdapatkan hari sedang hujan merupakan sebuah fungsi kebenaran dari ‘’saya pergi keluar’’ dan ‘’saya mendapatkan hari sedang hujan’’. Kalau disederhanakan dalam bentuk table kebenaran, maka pernyataan 1(p) dan pernyataan 2(q) dapat mengandung beberapa kemungkinan sebagai berikut:

P q p dan q (p.q) P atau q (p v q)
-p -q -(p.q) -(p v q)
-p q -(p.q) (p v q)
P -q -(p.q) (p v q)
P q (p.q) (p v q)

 
Berdasarkan table fungsi kebenaran maka dapatlah ditarik kesimpulan atau rumusan sebagai berikut: bahwa (p.q) hanya benar jika p benar (p) dan q (q), sedangkan (p v q) hanya salah jika keduanya, baik p maupun q (-p) dan (-q) itu salah.[1]
d. Proposisi Atomic Dan Proposisi Majemuk
Pembahasan Russell tentang proposisi majemuk ini berkaitan dengan upaya untuk menjelaskan kesepadanan antara struktur bahasa dan struktur realitas. Menurut russel suatu proposisi yang suatu fakta atomic itu dinamakan proposisi atomic. Proposisi atomic ini merupakan proposisi yang paling sedarhana Karena sama sekali tidak memuat unsur unsur majemuk. Misalnya: x adalah y (ini adalah putih) atau xRy (ini berdiri disamping itu) setiap proposisi atomic mempunyai arti dan makna sendiri sendiri yang terpisah satu sama lain.[2] Russel mengajukan sebuah contoh untuk menjelaskan proposisi majemuk itu sebagai berikut:
Socrates adalah seorang warga Athena yang bijaksana. Ini merupakan proposisi majemuk yang terdiri dari dua fakta atomic, yaitu:

  1. Socrates adalah seorang warga Athena
  2. Socrates adalah seorang yang bijaksana

Kedua proposisi atomic itu membentuk proposisi majemuk setelah dihubungkan dengan kata ‘’yang’’. Menurut Russel ‘’kebenaran atau ketidak benaran suatu proposisi molekuler atau ketidak benaran proposisi atomic yang terdapat didalamnya. Atau dengan kata lain, proposisi molekuler atau majemuk itu merupakan ‘’fungsi kebenaran’’ dari proposisi-proposisi atomic. Sebab tidak ada fakta molekuler atau fakta majemuk, yang ada adalah fakta atomic.[3]
B. Positivisme logic
Positivisme logis menerima pandangan filosofis atomisme logis tentang logika dan cara analisisnya, namun menolak metafisika atomisme logis. Positivisme logis menggunakan dua cara, yaitu: Pertama, bertujuan menghilangkan metafisika. Ungkapan metafisika itu pada hakikatnya tidak mengtungkapkan apa-apa sehingga bersifat nirarti atau tidak bermakna. Kedua, positivisme logis menggunakan teknik analisis demi penjelasan bahasa ilmiah dan bukan menganalisis pernyataan-pernyataan fakta ilmiah. Tugas filsafat adalah memperhatikan analisis-analisis dan penjelasan tentang pernyataan dan proposisi, terutama ilmu pengetahuan.
a. Prinsip Pentasdikan (Verification Principle)
Ayer salah satu penganut positivesme logic berpendapat, prinsip pentasdikan adalah pengandaian untuk melengkapi suatu kriteria, sehingga melalui suatu kriteria tersebut dapat ditentukan apakah suatu kalimat mengandung makna atau tidak. Melalui prinsip pentasdikan ini tidak hanya kalimat yang teruji secara empiric saja yang dianggap bermakna, tetapi kalimat yang dapat dianalisis, hal ini ditegasnya ayer dalam pernyataan berikut: ‘’suatu cara yang sederhana untuk merumuskan al itu adalah dengan mengatakan bahwa suatu kalimat mengandung makna, jika dan hanya jika proposisi yang diungkapkan itu dapat dianalisis atau dapat ditasdik secara empiric.
Penafsiran yang diajukan ayer terhadap prinsip pentasdikan ini berhasil mengatasi kelemahan yang terdapat dalam pandangan tokoh positivism sebelumnya yang hanya menerima proposisi yang ditasdik secara empiric. Hal mana terlihat jelas dalam pandangan moritz schlock, yang mengkaitkan prinsip pentasdikan itu dengan kalimat protocol, atau kalimat yang dapat diperiksa benar atau salahnya memalui pengamatan empiric secara langsung. Menurut pandangan ayer prinsip pentasdikan seperti yang dilakukan schlock itu merupkan variable dalam arti ketat. (ayer menambahkan pengertian variable dalam arti lunak atau longgar). Kedua macam variable ini dijelaskan ayer sebagai berikut: veriable dalam arti ketat (strong variable) yaitu, sejauh kebenaran suatu proposisi itu didukung pengalaman secara menyakinkan, sedangkan variable dalam arti lunak adalah, jika suatu proposisi itu mengandung kemungkinan bagi pengalaman atau merupakan pengalaman yang memungkinkan.
Melalui dua variable ini ayer – terutama dalam variable dalam arti lunak – telah membuka kemungkinan untuk menerima pernyataan dalam bidang sejarah dan juga prediksi ilmiah sebagai pernyataan yang mengandung makna.
b. Proposisi Analitik
Sebagaimana telah dirumuskan ayer bahwa suatu kalimat mengandung makna jika ada dan hanya jika proposisi yang diungkapkan itu dapat dianalisis dan ditasdik secara empiric. Ini berarti ada dua macam proposisi, yaitu proposisi empiric dan proposisi analitik. Bagi anyer proposisi empiric lebihmudah dipahami, karena ia mengkaitkan langsung dengan pengalaman yang pasti atau pengalaman yang mungkin.
Berbeda halnya dengan proposisi analitik, kebenaran ataupun ketidak benarannya tidak didasarkan pada pengalaman. Apa yang dimaksudkan ayer dengan proposisi analitik ini yaitu, proposisi yang:

  1. Benar melalui pembatasan – semata mata benar berasarkan makna yang terkandung dalam susunan simbolnya.
  2. Tidak didasarkan pada pengalaman, melainkan berdasarkan pada ‘’a priori’’.
  3. Mengandung kepastian dan keniscayaan, yaitu yang dinamakan tautology.
  4. Mengandung makna sejauh proposisi yang bersangkutan didasarkan pada penggunaan istilah yang pasti, jadi maknanya terletak pada bahasa atau ungkapan verbal.

c. Implikasi prinsip verifikasi bagi filsafat.
Posivisme logis yang didasari logika, matematika, serta ilmu pengetahuan alam yang positif dan empiris. Maka analisis logis tentang pernyatan-pernyataan ilmiah maupun pernyataan filsafat sangat ditentukan oleh metode ilmu pngetahuan positif  dean empirik. Menurut mereka,  suatu ungkapan atau proposisi dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverifikasi, yaitu dengan menguji atau membuktikan setiap empiris.
Hasil verifikasi tidak mengharuskan hal yang benar, bermakna meskipun belum diverifikasi, tetapi memiliki kemungkinan  untuk diverifikasi. Menurut Ayer verifikasi merupakan pengandaian untuk melengkapi suatu kriteria sehingga melalui kriteria tersebut dapat ditentukan apakah kalimat itu mengandung makna atau tidak. Tidak hanya kalimat teruji dan terbukti secara empirik saja yang bermakna, melainkan juga kalimat yang dapat dianalisis lebih lanjut.
Menurut Ayer, ada verifikasi ketat dan longgar. Verifikasi ketat (strong verifiable) adalah sejauh kebenaran proposisi itu didukung oleh pengalaman secara meyakinkan.  Verifikasi lunak adalah sejauh proposisi itu mengandung bagi pengalaman atau merupakan pengalaman yang memungkinkan. Prinsiop ini memppunyai pengaruh luas dalam ilmu pengetahuan.[4]
d. Beberapa Kelemahan Prinsip Verifikasi
Setelah kita melihat implikasi penerapan prinsip verifikasi bagi filsafat, terlihat adanya upaya yang gigih dari penganut bahasa positivism logis untuk memberikan pengaruh terhadap  signifikan bahasa. Upaya ini mengandung beberapa kelemahan yang cukup mendasar yaitu:

  1. Pertama, secara nyata terlihat adanya semacam paksaan untuk melakukan tolak ukur disatu bidang fisika, terhadap bidang ilmu lainnya yaitu filsafat. Padahal menurut beerling, filsafat itu tidak boleh diukur dengan ukuran ilmu ilmu khusus. Ia mempertimbangkan sendiri ilmu-ilmu dengan ukurannya sendiri dan bagaimanakah kita dapat memutuskan sesuatu yang benar.
  2. Penerapan prinsip-prinsip verifikasi kedalam teknik analisis bahasa ternyata mengandung kesukaran-kesukaran yang tidak dapat diatasi begitu saja. Sebab kalau para penganut positivism logis mencurigai ungkapan-ungkapan metafisik sebagai sesuatu yang tidak bermakna.
  3. Para theology juga menolak penerapan prinsip verifikasi kedalam bahasa theology.
  4. Tolak ukur nirarti yang dikenakan prinsip verifikasi terhadap pernyataan-pernyataan dalam bidang etika dengan alasan pernyataan semacam itu hanya mengungkapkan ekpresi semata, pada dasarnya dapat dikembalikan kepada fungsi bahasa. Fungsi bahasa tidak semata-mata kognitif, tetapi juga emotif, imperative, bahkan seremonial.

C. Filsafat Bahasa Biasa (The Ordinary Language Philosophy)
Para tokoh filsafat analitika bahasa menyadari bahwa dalam kenyataannya banyak problema filsafat dapat diatasi melalui analsisi bahasa. Maka, bahasa merupakan pusat perhatian. Ungkapan metafisika mendapat perhatian serius, bahkan aliran atomisme logis dan positivisme ingin membersihkan filsafat dari metafisika.
Para tokoh filsafat analitika bahasa memusatkan perhatian pada aspek semantik bahasa sehingga melalui kategori logika mereka menentukan  bahasa yang bermakna dan yang tidak bermakna. Berdasarkan logika bahasa ungkapan-ungkapan metafisika dari kalangan idealisme, terutama bidang teologi, etika, aksiologi, estetika, dan terutama ontologi pada hakikatnya tidak bermakna. Bertrand Russell menegaskan bahwa ungkapan metafisika pada hakikatnya adalah omong kosong karena tidak melukiskan realitas dunia dan keberadaan peristiwa secara empiris. Formulasi logika bahasa menemui berbagai keterbatasan dan kesulitan sehingga ungkapan bahasa dalam Tractatus sebenarnya tidak bermakna.
a. Tata Permainan Bahasa
Philosophical Investigations merupakan berntuk filsafat bahasa biasa yang paling kuat sekaligus petunjuk jalan atas terbukanya pemikiran fulsafat yang menaruh perhatian terhadap bahasa biasa. Menurut Wetgenstein “makna sebuah kata itu adalah penggunaannya dalam bahasa dan bahwa makna bahasa itu adalah penggunaanya di dalam hidup”. Ia menekankan bahasa dakam fungsi sebagai aklat komunikasi kehidupan manusia, tidak hanya memiliki struktur logis saja, melainkan juga aspek kontekstual dalam kehidupan. Makna kata adalah penggunaannya dalam bahasa. Orang tidak dapat menduga bagaimana sebuah kata itu berfungsi. Orang hanya harus melihat melihat penggunaannya dan belajar daripadanya. Filsafat sama sekali tidak boleh turut campur dalam penggunaan bahasa yang sesungguhnya, dan sebenarnya filsafat hanya dapat menguraikannya.
Istilah  language games dipakai oleh Wittgenstein sebab bahasa merupakan sebagian dari suatu kegiatan atau merupakan suatu bentuk kehidupan. Keberagaman kehidupan memerlukan bahasa yang kontekstual. Bahasa tertentu memiliki aturan tertentu sebagaimana layaknya sebuah permainan. Ada aturan yang harus dipatuhi dalam permainan tersebut dan sebagai pedoman dalam tata permainan. Demikian pula dengan tata permianan bahasa, yang memiliki  aturan sendiri-sendiri yang tak dapat dicampuradukkan. Ragam ilmiah memiliki aturan tersendiri yang harus diikuti oleh komunitasnya dan tidak dapat diterapkan dalam konteks kehidupan manusia lain pada umumnya.
Makna sebuah kata adalah teragntung penggunaannya dalam suatu kalimat, adapun makna kalimat adalah tergantung penggunaannya dalam bahasa, sedangkan makna bahasa adalah tergantung penggunaannya dalam konteks kehidupan. Meskipun mengandung pengertian yang bersifat umum, makna kata  sangat tergantung pada cara penggunaannya dan konsekuensinya juga sangat  tergantung pada game atau aturan main dalam konteks penggunaannya.
b. Kelemahan Bahasa Filsafat
Ada beberapa kelemahan pengguna bahasa dalam filsafat, yang baik secara langsung maupun tidak, ditunjukkan oleh wittgenstin dalam periodenya.

  1. Penggunaan istilah atau ungkapan dalam filsafat yang tidak sesuai dengan aturan permainan bahasa.
  2. Adanya kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum berbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya. Atau dengan kata lain, kita mencari kesatuan pengertian dalam keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan, ketunggalan dalam kemajmukan.
  3. Penyamaran pengertian atau pengertian yang terselubung melalui pengajuan istilah yang tidak dapat dipahami.

c. Tugas Filsafat
Kelemahan bahasa filsafat dapat diatasi dengan meletakkan tugas filsafat sebagai analisis bahasa. Untuk itu ada dua macam cara untuk meletakkan filsafat sebagai analisis, yaitu:

  1. aspek penyembuhan dengan cara menghilangkan kekacauan yang terjadi dalam bahasa filsafat
  2. aspek metodis, yaitu cara berfilsafat seharusnya ditempuh dengan memperhatikan hal-hal berikut:
  • dalam berfilsafat harsulah meletakkan landasannya pada penggunaan bahasa sehari-hari dengan tetap memperhastikan aturan permainan bahasanya;
  • upaya untuk keluar dari kemelut kekacauan filsafat akibat penggunaan bahasanya. Untuk mengtasi itu menurut Wettgenstein haruslah melalui penampakan jalan bahasa.
  • Metode analisis bahasa harus diletakkan dalam posisi netral, tidak turut campur dalam memberikan interpretasi filosofis, yaitu memberikan penafsiran tentang realitas.

Filsafat tidak turut campur dalam memberikan interpretasi, hanya memberikan atau memaparkan secara objektif sebab filsafat tidak dapat memberikan dasar apa pun. Filsafat membiarkan segala sesuatu sesuai dengan apa adanya.[5]
D. Contoh Wacana Dalam Filsafat Bahasa
Kurikulum yang selama ini diformat oleh para pemegang kebijakan pendidikan bahasa Arab seringkali dinilai kurang produktif, terlalu gemuk dengan materi dan tidak terorientasi dengan kompetensi akhir yang harus dimiliki oleh peserta didik. Syaratnya materi yang harus dipasok ke dalam sel-sel otak peserta didik, memotivasi para pengajar untuk hanya bertugas sebagai penyampai pokok bahasan, sehingga daya kreasi pengajar tumpul dalam mengadakan pengayaan strategi pengajaran Pembelajaran Bahasa Arab yang diselenggarakan pada gilirannya kemudian hanyalah berpola untuk memindahkan isi (content transmission) dari pengajar ke peserta didik. Hal ini tentu saja membuat proses belajar mengajar menjadi bersifat monoton, satu arah dari pengajar ke peserta ajar (one way communication), tidak diarahkan ke partisipatori total peserta didik. Dan akhirnya, pola pengajaran menjadi sangat monolog.

  • Analisis

Kalau kita lihat dari wacana diatas, pemerintah belum menemukan kurikulum bahasa arab yang sesaui, entah kurikulum dari awal sampai kurikulum k-13 pemerintah belum mampu menciptakan kurikulum yang baik untuk bahasa arab. Karena sampai saat ini, dalam memperlajari bahasa, siswa tidak menumbuhkan kreativitasnya tetapi kreativitas yang mana dialokasikan kepada bahasa itu sendiri malah digiring kepada gerbang kematian, yang akhirnya perserta didik kehilangan tentang hakikat bahasa itu sendiri
KESIMPULAN
          Ada beberapa sekte dalam mentukan sebuah kebenaran bahasa dan wacana, seperti yang telah diulas diatas, ada 3 sekte yaitu sekte atonomis logic, positivesme logic dan filsafat bahasa biasa, dalam menemukan suatu kebenaran ketiga sekte ini mempunya cara yang berbeda-beda.

  1. Sekte atonomis logic memperoleh kebenaran dengan konsep corak logic, prinsip isomorfi, fungsi kebenaran dan proposisi atomic dan majemuk
  2. Sekte positivism logic memperoleh kebenaran dengan konsep prinsip pentasdikan, proposisi analitik verifikasi bagi filsafat
  3. Sekte filsafat bahasa biasa memperoleh kebenaran dengan konsep tata permainan bahasa, kelemahan bahasa filsafat dan tugas filsafat

 
*Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIN Tulungagung dan Sebagai Tenaga Pengajar di Pondok Pesantren Terpadu Al-Kamal.
DAFTAR RUJUKAN
Mustansyir Rizal. 2007. Filsafat Analitik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Ahmad Acep Hermawan. 2009. Filsafat Bahasa Cetakan 2. Bandung : PT. Rosdakarya
Kasdiharyanta. Filsafat Bahasa Filsafat analitik dalam http://kasdiharyanta-kasdih.blogspot.co.id/2015/01/filsafat-bahasa-filsafat-analitik.html diakses 08 maret 2016
[1] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik Cetakan Ke 2, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), h.43-52
[2] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 52
[3] Mustansyir, Filsafat Analitik Cetakan Ke 2…, h. 58
[4] Ibid, h. 78-86
[5] Kasdiharyanta. Filsafat Bahasa Filsafat analitik dalam http://kasdiharyanta-kasdih.blogspot.co.id/2015/01/filsafat-bahasa-filsafat-analitik.html diakses 08 maret 2016 pukul 22.30 WIB
 

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *