Oleh: Lucky Tjatra Brillian
Aku mulai ragu.
Ketika mesin itu berdesing pelan. Menimbulkan geleyar panas pada dadaku yang berdegup tak karuan karena gugup. Tuhan, jangan kau kacaukan misi pertamaku kali ini. Batinku dalam hati. Ya, dari perhitunganku bersama tim, kegagalan dalam misi ini hanya bisa terjadi jika Tuhan ikut campur tangan dalam mengacaukannya. Bayangkan saja, sebuah sistem keamanan sekaliber internasional berhasil dibobol, dan akan memberiku akses selama 5 detik untuk mengambil apa yang harus aku ambil. Dalang segala kekacauan yang ada pada organisasi tersibuk yang ada di dunia. Sebuah micro-chip usang yang bahkan sudah sangat out of date. Dengan julukan Nafsu Amarah.
Micro-chip ini disisipkan oleh para pemberontak bermuka dua, yang kami sebut dengan D’Evil. Tak jelas apa tujuan dan motif mereka, tapi yang jelas semua ini mengganggu kinerja kami. Harus dimusnahkan. Tapi kami terhalang sistem keamanan yang telah kami buat sendiri. Micro-chip itu terletak bersandingan dengan micro-chip asli milik tim kami, Nafsu Lawwamah. Yang mengendalikan kami. Jika aku menyentuh bagian yang salah, bahkan meskipun dengan pinset terkecil pun, bisa menyebabkan alarm keamanan berbunyi. Itu harga yang harus dibayar jika berusaha mengusik kinerja kami yang tak tahu waktu. Ya, kami bekerja 24 jam sehari, tanpa henti. Jika kami berhenti lebih dari 1 menit, sistem kehidupan kami hancur lebur, mati pada detik ke-60 kami berhenti. Sebegitu vitalnya kami. Ya kan? Tapi sebut saja kami ini Organisasi Manusia.
Ah, ya. Ini misi pertamaku. Tidak sulit sebenarnya, namun sangat berbahaya. Menolak apa yang diinginkan oleh micro-chip Nafsu Amarah. Misi ini berhubungan langsung dengan kinerja pusat organisasi, karena yang diinginkannya tidak sesuai dengan prinsip kami selama ini.. Selama 17 tahun aku bergabung dengan organisasi ini, ini kali pertamaku menjalankan misi. Karena dalam organisasi kami, semua kinerja terbagi sesuai dengan bidang masing-masing. Dengan aku, Sang Penentu, begitu mereka menyebutnya, padahal namaku Hati, tidak pernah mendapatkan pekerjaan. Tidak hanya pada organisasi kami, tapi juga pada organisasi lain yang serupa dengan kami. Ternyata, kami tidak se-tidak-penting yang aku bayangkan. Buktinya kini misi berbahaya itu menghampiri timku. Saking berbahyanya, mungkin, hingga yang dipertaruhkan untuk mati adalah bagian yang paling tidak penting.
Mesin yang membawaku ke pusat bagian organisasi berdesing lagi. Di ruangan yang ingar-bingar seluruh anggota organisasi berpesta, ruangan ini disebut dengan Otak. Alunan musik menggema hingga ke telingaku. Ini terlalu bising, padahal seingatku organisasiku benci keributan. Atau hanya aku yang lebih suka berbincang dengan Tuhan dalam kesunyian? Entahlah, kukira ini sama saja.
“Kamu sudah siap?” seorang wanita dewasa menghampiriku. Dia adalah ketua organisasi. Kami memanggilnya Nyonya Akal. Aku hanya mengangguk. Dia tersenyum lebar. “Jangan sampai gagal, Hati. Kamulah satu-satunya harapan kami.”
“Bagaimana dengan Tim Indra?” tanyaku pada Nyonya Akal. Ini kalimat pertama yang keluar semenjak… Aku bergabung dengan organisasi ini. Yah, selama itu pulalah, aku dianggap tidak berguna hingga tidak ada yang bertanya padaku. Pun mereka selalu terlihat sibuk sehingga aku enggan bertanya. Takut mengganggu kesibukan mereka.
Nyonya Akal menggeleng. Aku tahu maknanya. Bahwa setiap anggota organisasi bisa saja menjadi pemberontak. Setiap saat mereka mau melakukan itu. Dan Tim Indra, Mata, Telinga, Hidung, Lidah, dan Kulit, melakukan itu. Padahal belum lama ini mereka membantuku meretas jaringan keamanan, karena memang hanya mereka yang bisa melakukannya.
Okay, aku akan bekerja sendirian.Pun tugasku hanya mengalihkan keinginan.
Satu jam yang lalu, aku ditugaskan untuk menjalankan misi ini. Di waktu inilah, ingar-bingar di Otak mulai terjadi. Lima menit setelahnya, aku dan Tim Indra meretas sistem keamanan, selama 30 menit. Kemudian beristirahat 10 menit. Melakukan medical-check, selama 20 menit. Lalu sekarang aku berdiri di sini. Menunggu Nyonya Akal memerintahkanku untuk pergi.
“Pergilah, Hati. Lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan. Jangan sekali pun melakukan kesalahan. Organisasi kita taruhannya.”
Tiba-tiba aku merasakan dahiku pening. Dan kesadaran menghampiriku. Ketika aku berada di tengah sebuah pesta, dengan segelas minuman berwarna merah dengan bau menyengat ada di tangan kananku. Ya, tadi aku hampir meminumnya. Lalu aku meragu. Mewujud kepada sebuah hati yang selama ini tak pernah kuanggap ada. Tapi kini, hati itu menyadarkanku. Ada hal-hal manis yang merusak. Seperti apa yang kupegang kali ini.
Tik…pada detik kelima kuputuskan, menjauhkan bibir gelas itu dari bibirku.
Ini khamr.
Lalu dalam diriku Hati bersorak. Misinya berhasil.