Manusia dan Ilmu Pengetahuan

Penulis : Arif Rifa’i*
Manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna dan paling misterius. Kemisteriusan manusia dilengkapi oleh akal pikirannya yang selalu meragukan terhadap segala hal yang dilihatnya. Dalam menghadapi seluruh kenyataan hidupnya, manusia kagum terhadap pancaindranya karena kemampuan pancaindra merekam realitas duniawi yang materiil. Akan tetapi, di balik semua itu, manusia ragu-ragu terhadap cara kerja pancaindranya karena ia sering tertipu oleh cara pandangnya sendiri. dalam keadaan demikian, manusia mulai menyangsikan kesempurnaannya dan mulai menyadari keterbatasannya.
Kesadaran terhadap keterbatasan alat pikir dan pancaindra membawa manusia pada upaya dan usaha yang bertujuan agar hasil pemikirannya dapat diakui oleh orang lain dan memberikan manfaat untuk kehidupan masyarakat. Usaha-usaha yang telah banyak dilakukan oleh manusia menjadi indikasi bahwa manusia adalah makhluk yang selalu serba ingin tahu terhadap segala sesuatu. Manusia adalah makhluk yang mengejar kesempurnaan, manusia adalah makhluk yang mengejar kebahagiaan, manusia adalah makhluk penggali pengetahuan, manusia adalah makhluk yang multirasional.
Begitu juga, manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. biasanya para ilmuan melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya), yang meliputi : nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik.
Menurut tinjauan Islam manusia adalah pribadi atau individu yang berkeluarga, selalu bersilaturahmi dan pengabdi pada Tuhan. Manusia juga pemelihara alam sekitar, wakil Allah SWT, di atas bumi ini. manusia dalam pandangan Islam selalu berkaitan dengan kisah tersendiri, tidak hanya sebagai hewan tingkat tinggi yang berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki dan berbicara. Islam memandang manusia sebagai makhluk sempurna dibandingkan dengan hewan dan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, karena itu manusia disuruh menggunakan akalnya dan indranya agar tidak salah memahami mana kebenaran yang sesungguhnya dan mana kebenaran yang dibenarkan, atau dianggap benar.
Howard Gardner (1983) menelaah manusia dari sudut kehidupan mentalnya khususnya aktivitas intelegensia (kecerdasan). Menurut dia paling tidak manusia memiliki 7 macam kecerdasan yaitu :
1. Kecerdasan matematis/logis : yaitu kemampuan penalaran ilmiah, penalaran induktif/deduktif, berhitung/angka dan pola-pola abstrak.
2. Kecerdasan verbal/bahasa : yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kata/bahasa tertulis maupun lisan. (sebagian materi pelajaran di sekolah berhubungan dengan kecerdasan ini)
3. Kecerdasan interpersonal : yaitu kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan berelasi dengan orang lain, berkomunikasi antar pribadi.
4. Kecerdasan fisik/gerak/badan : yaitu kemampuan mengatur gerakan badan, memahami sesuatu berdasar gerakan.
5. Kecerdasan musikal/ritme : yaitu kemampuan penalaran berdasarkan pola nada atau ritme, kepekaan akan suatu nada atau ritme.
6. Kecerdasan visual/ruang/spasial : yaitu kemampuan yang mengandalkan penglihatan dan kemampuan membayangkan obyek, kemampuan menciptakan gambaran mental.
7. Kecerdasan intrapersonal : yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kesadaran kebatinannya seperti refleksi diri, kesadaran akan hal-hal rohani, kecerdasan inter dan intra personal ini selanjutnya oleh Daniel Goleman (1995) disebut dengan kecerdasan emosional.
Maka Ki Hajar Dewantara, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan pekembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dan masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Di sisi lain, manusia juga merupakan ciptaan Tuhan yang bertanggung jawab terhadap kelestarian semesta disekelilingnya (khalifah fil ardhi). Dalam mensukseskan tugas ini, manusia harus mau dan mampu berupaya semaksimal mungkin agar tugas ini, seperti rasio, tenaga, emosi dan sebagainya. Dengan kedua tugas ini diharapkan manusia memiliki (balancing) yang baik selama hidupnya.
Sedangkan ilmu berasal dari bahasa Arab, yakni “ilm” yang diartikan pengetahuan. Kata “ilm” dalam bahasa Arab menggunakan tiga huruf, yaitu huruf ‘ain, lam, dan mim. Tiga huruf itu mempunyai makna tersendiri, yakni :
1. Huruf ‘ain bentuknya di depan ibarat mulut yang posisinya selalu terbuka, menandakan bahwa mencari ilmu pengetahuan itu tidak akan pernah kenyang. Seseorang yang berilmu akan terus mencari pembenaran-pembenaran ilmiah untuk semua yang dipikirkannya. Setiap hari ilmu digunakan manusia untuk meningkatkan derajat kehidupan.
2. Huruf lam sesudah ‘ain, panjangnya tidak terbatas. Boleh menjulang sampai ke langit dan menjangkau cakrawala yang nun jauh di sana, itu pertanda bahwa mencari ilmu tidak mengenal batas usia. Semua berhak melakukannya, bahkan sejak buaian ibu hingga masuk ke liang lahat.
3. Huruf terakhir adalah huruf mim, yang meletakkan diri di dasar, menunduk pertanda kefakiran ilmunya. Artinya, meskipun ilmu pengetahuan telah menjulang tinggi, seorang yang ‘alim harus rendah hati bagaikan ilmu padi, makin berisi makin tertunduk, tawadhu.
Awalnya, ilmu ditafsirkan sebagai sesuatu yang “bebas nilai” atau value free. Perkembangan lebih lanjut ilmu meniscayakan pertimbangan etis. Ilmu tidak bebas nilai. istilah ilmu juga dapat didefinisikan sebagai kristalisasi pengalaman yang teruji kebenarannya atau kristalisasi atas nilai-nilai mengenai segala sesuatu yang ada. ilmu biasanya membatasi wilayahnya sejauh alam yang dapat dialami, dapat diindera, atau alam empiris. Ilmu menghadapi aneka persoalan dengan pertanyaan “bagaimana” dan “apa sebabnya”. karena itu, ilmu berkaitan dengan pengetahuan tentang sebab dan akibat dari suatu masalah. Cikal bakal ilmu adalah pengalaman, di mana pengalaman yang telah tersusun secara sistematislah yang akan menjadi ilmu. pada sisi lain, pengalaman yang sudah teruji menjelma menjadi teori. Teori yang sudah teruji merupakan sesuatu yang sangat praktis, mudah dan akurat aplikasinya, termasuk aplikasinya di dunia pendidikan.
Sedangkan di dalam pengetahuan inilah dikenal berbagai ilmu, berbagai moral, berbagai seni yang secara keseluruhan disebut dengan logika, etika dan estetika. Apabila antara ketiganya dipisahkan, maka akan disebut sekularisme.
ilmu adalah setiap kesatuan pengetahuan di mana masing-masing bagian bergantungan satu sama lain yang teratur secara pasti menurut azas-azas tertentu. Ilmu sebagai sekelompok pengetahuan teratur yang membahas sesuatu sasaran tertentu dengan pemusatan perhatian kepada satu atau segolongan masalah yang terdapat pada sasaran itu untuk memperoleh keterangan-keterangan yang mengandung kebenaran.
Pengetahuan (knowledge) yang dapat dikenali (identity), dapat diterangkan (explain), dapat dilukiskan (describe), dapat diperkirakan (predict) dapat dianalisis (diagnosis) dan dapat diawasi (control) akan menjadi suatu ilmu (science).
Dari pendapat tersebut di atas maka setiap ilmu sudah pasti pengetahuan, tetapi setiap pengetahuan belum tentu sebagai ilmu, kemudian syarat yang paling penting untuk keberadaan suatu pengetahuan disebut ilmu adalah obyek, baik objek material maupun obyek formal.
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang paling utama membicarakan berbagai macam kriteria kebenaran, dalam hal terdiri atas jenis-jenis kebenaran sebagai berikut :
1. Kebenaran absolut, yaitu kebenaran mutlak. Ciri kebenaran mutlak adalah kebenaran yang benar dengan sendirinya, tidak berubah-ubah, dan tidak membutuhkan pengakuan dari siapa pun supaya menjadi benar. Manakala ada yang menyatakan bahwa dirinya benar, hal itu bukan berarti dirinya menjadi benar, karena tanpa ada atau tidaknya pernyataan tersebut, kebenaran mutlak telah ada. Kebenaran mutlak berlaku bagi Dzat Pencipta Kebenaran, yakni Tuhan.
2. Kebenaran relatif, merupakan kebenaran yang berubah-ubah. Semua hasil pengetahuan dinyatakan benar, apalagi kebenaran tersebut memiliki alasan yang logis. kebenaran relatif tidak akan pernah satu, melainkan banyak yang tidak akan terbatas, bahkan pernyataan tidak benar atas yang dipandang benar, adalah dua kebenaran yang kemudian terjebak dalam relativitas kebenaran.
3. Kebenaran spekulatif, yaitu kebenaran yang menjadi ciri khas filsafat. Kebenaran ini bersifat “kebetulan” dengan landasan rasional dan logis.
4. Kebenaran korespondensi, yaitu kebenaran yang bertumpu pada realitas objektif. kriteria kebenaran korespondensi dicirikan oleh adanya relevansi antara pernyataan dan kenyataan, antara teori dan praktik.
5. Kebenaran pragmatis, yaitu kebenaran yang diukur oleh adanya manfaat suatu pengetahuan bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
6. Kebenaran normatif, yaitu kebenaran yang didasarkan pada sistem sosial yang sudah baku. Misalnya kebenaran karena tuntutan adat kebiasaan atau kesepakatan sosial yang telah lama berlaku dalam kehidupan kultural masyarakat bersangkutan.
7. Kebenaran religius, yaitu kebenaran yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai dalam agama. Kebenaran diperoleh bukan hanya oleh penafsiran ajaran secara rasio, melainkan didasarkan pada keimanan kepada ajaran yang dimaksudkan.
8. Kebenaran filosofis, ialah kebenaran hasil perenungan dan pemikiran refleksi ahli filsafat yang disebut hakikat atau the nature, meskipun subjektif, tampak mendalam karena melalui penghayatan eksistensial bukan hanya pengalaman dan pemikiran intelektual semata.
9. Kebenaran estetis, adalah kebenaran yang didasarkan pada pandangan tentang keindahan dan keburukan.
10. Kebenaran ilmiah, adalah kebenaran yang ditandai dengan terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, menyangkut relevansi antara teori dan kenyataan hasil penelitian di lapangan.
11. Kebenaran teologis, adalah kebenaran yang didasarkan pada firman-firman Tuhan, sebagai pesan-pesan moral yang filosofis.
12. Kebenaran ideologis, adalah kebenaran karena tidak menyimpang dari cita-cita kehidupan suatu bangsa. Kebenaran yang seiring dengan ideologi yang dianut.
13. Kebenaran konstitusional, yaitu kebenaran atas dasar undang-undang sehingga tindakan yang tidak bertentangan dengan undang-undang dinyatakan sebagai konstitusional, sedangkan yang menentang undang-undang disebut sebagai inkonstitusional.
14. Kebenaran logis, yaitu kebenaran karena lurusnya berpikir. Kebenaran ini dicirikan oleh bentuk-bentuk pemberian pengertian dan definisi. Jika premis mayor dan premis minor saling menghubunkan, dan konklusinya tepat serta akurat, pernyataan yang demikian dikategorikan sebagai kebenaran logis.
Pengalaman orang pada umumnya sangat terbatas, baik jenisnya maupun banyaknya. Sungguhpun begitu, orang dapat mengisi kekurangannya, dan dapat memperluas cakrawala pengalamannya dengan pengalaman-pengalaman orang lain sehingga pengetahuannya menjadi makin luas.
Apa yang disebut ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lain adalah kumpulan pengalaman dan pengetahuan dari sejumlah orang yang dipadukan secara harmonik dalam suatu bangunan yang teratur. Orang dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan disusun dai pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan yang sudah diuji kebenarannya.
Daftar Referensi:
1. Anas Salahuddin, Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2011)
2. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta, Rajagrafindo, 2012)
3. Zaim el Mubarok, Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung, Alfabeta, 2013)
4. Mukani, Berguru Ke Sang Kiai, (Yogyakarta, Kalimedia, 2016)
5. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, (Bandung, Pustaka Setia, 2009)
6. Sudarwan Danim, Pengantar Pendidikan, (Bandung, Alfabeta, 2011)
7. Inu Kencana Syafi’i, Pengantar Filsafat, (Bandung, Refika Utama, 2010)
*Salah satu dewan asaatidz di Madrasah Diniyah Al Kamal
 

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *