Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, Pengarang Kitab Risalatul Mu’awanah dan Penyusun Ratib Haddad

Oleh: Hakutaki*

Semua santri PPTA pasti tahu dengan kitab Risalatul Mu’awanah. Sebab setiap bulan Ramadan kitab ini selalu dikaji di pesantren ini, bahkan juga di pesantren-pesantren lain di Indonesia. Namun mungkin belum banyak yang tahu siapa pengarangnya. Nah, berikut ini adalah biografi singkat sosok ulama yang juga terkenal dengan karyanya Ratib Haddad.

Masyhur dengan nama Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Lahir di Syubair, salah satu ujung kota Tarim, provinsi Hadramaut, Yaman, pada tanggal 5 Safar 1044 H. Ia dibesarkan di kota Tarim. Silsilah lengkapnya adalah Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Abu Bakar Al Thowil bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Faqih bin Abdurrohman bin Alwi bin Muhammad Shôhib Mirbath bin Ali Khôli’ Qosam bin Alwi bin Muhammad Shôhib Shouma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Muhâjir Ilallôh Ahmad bin Isa bin Muhammad An-Naqîb bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Jakfar Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Tholib, khalifah keempat dan suami Fatimah binti Muhammad SAW.

Pada umur 4 tahun ia terkena penyakit cacar sampai membuat kedua matanya buta. Penglihatan lahirnya diambil oleh Allah tapi diganti dengan penglihatan batin yang jauh lebih kuat dan berharga. Pandangannya terjaga dari segala yang diharamkan. Cacat yang dideritanya membawa hikmah. Ia tidak bisa bermain seperti anak kecil lainnya, sehingga ia habiskan waktunya untuk menghafal Al-Quran dan mujahadatun nafs (beribadah dengan tekun melawan hawa nafsu). Ia sangat gemar menuntut ilmu. Hal itu membuatnya sering melakukan perjalanan untuk menemui para ulama. Ia berkeliling ke seluruh kota-kota di Hadramaut untuk menjumpai orang-orang saleh, lalu menuntut ilmu dan mengambil berkah dari mereka.

Berkat ketekunan dan akhlakul karimah yang dimilikinya, pada saat usia yang sangat dini, ia dinobatkan oleh guru-gurunya sebagai da’i, membuat namanya harum di seluruh penjuru Hadramaut dan mengundang datangnya para murid yang berminat besar mencari ilmu. Mereka tidak datang hanya dari Hadramaut tetapi juga dari luar Hadramaut. Mereka datang dengan tujuan menimba ilmu, mendengar nasihat dan wejangan serta tabarrukan (mencari berkah), memohon doa darinya. Ia sangat giat dalam mengajarkan ilmu dan mendidik murid-muridnya.

Habib Abdullah juga gemar berdakwah, baik dengan lisan maupun tulisan, kemudian mencontohkannya dalam amal perbuatan. Kegemarannya berdakwah menyebabkan ia banyak bergaul dan melakukan perjalanan. Makanya, ia tidak menyukai kemegahan dan kemasyhuran, tetapi lebih suka berkelana di gurun sahara. Keaktifannya dalam mendidik dan berdakwah membuatnya digelari Quthbud Da’wah wal Irsyâd.

Habib Abdullah adalah ulama dan wali besar yang menyandang gelar wali qutub terlama. Ia dianggap sebagai salah satu ulama besar yang paling berpengaruh. Ilmunya seluas samudra, sampai para ulama di seluruh dunia hingga kini selalu berkiblat pada pemikirannya dan selalu menjadikan kitabnya sebagai rujukan utama dalam mengkaji setiap masalah agama. Ia adalah ulama di bidang fikih dan aqidah asy’ariyah. Ia mendapatkan gelar Syaikhul Islam dan dikenal sebagai Pembaharu Tarekat Alawiyyah.

Habib Abdullah mengamati bahwa kemajuan zaman justru membuat orang-orang saleh menyembunyikan diri, membuat mereka lebih senang menyibukkan diri dengan Allah. Zaman dahulu keadaannya baik. “Dagangan” kaum sholihin dibutuhkan masyarakat, oleh karena itu mereka menampakkan diri. Zaman sekarang telah rusak, masyarakat tidak membutuhkan “dagangan” mereka, karena itu mereka pun enggan menampakkan diri.

Selain mengkader pakar-pakar ilmu agama, mencetak generasi unggulan yang diharapkan mampu melanjutkan perjuangan kakek beliau, Rasullullah SAW, ia juga aktif merangkum dan menyusun nasihat dan wejangan, baik dalam bentuk kitab, koresponden (surat menyurat) atau syair, sehingga banyak bukunya yang terbit dan dicetak, dipelajari dan diajarkan, dibaca dan dialihbahasakan. Beberapa karyanya di antaranya:

  1. Risalatul Mu’awanah wal Mudzoharoh wal Muwazaroh lir Roghibin minal Mukminin fi Suluki Thoriqil Akhiroh
  2. Risalatul Mudzakaroh ma’al Ikhwanil Muhibbin min Ahlil Khoir wad Din, selesai ditulis pada malam Kamis tanggal 23 Sya’ban 1068 H.
  3. Ratib Haddad, disusun pada malam lailatul qodar tahun 1071 H, berisi wirid-wirid yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan memiliki banyak manfaat serta keutamaan untuk agama, dunia dan akhirat, jika selalu diamalkan dengan rutin.
  4. Mutiara Hikmah, terjemahan Novel bin Muhammad Alaydrus, terbitan Pustaka Madani, Solo, Juli 2004, berisi 40 halaman.

Mutiara Hikmah adalah sebuah buku berisi kalimat singkat yang mengkristalkan pengalaman mendalam dan panjang yang merupakan inti perjalanan hidup Habib Abdullah dalam menyerap ilmu dan pencarian sepanjang hidupnya. Berikut beberapa petikannya.

  1. Barang siapa yang menempatkan dirinya di hadapan Allah seperti budak di hadapan tuannya, dia akan meraih semua kesempurnaan.
  2. Barang siapa yang tidak merasa cukup dengan sedikit harta yang dia miliki, meskipun hartanya banyak tidak akan membuatnya puas. Barang siapa yang tidak mengamalkan sedikit ilmu yang dia miliki, ketika berilmu banyak pun dia tidak akan mengamalkannya.
  3. Barang siapa sibuk memenuhi hak-hak Allah hingga melupakan hak dirinya dan teman-temannya, dia adalah hamba Allah (‘abdul hadrah). Barang siapa sibuk memenuhi hak-hak dirinya hingga melupakan hak Allah dan hak teman-temannya, dia adalah hamba nafsu (‘abdusy syahwah). Barang siapa sibuk memenuhi hak teman-temannya hingga melupakan hak Allah dan hak dirinya sendiri, dia adalah hamba kekuasaan (‘abdur riyasah). Dan barang siapa sibuk memenuhi hak-hak Allah dan hak teman-temannya, hingga melupakan hak-hak dirinya, dia adalah pewaris nabi (shahibul wiratsah).

Karomah yang diberikan kepada Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad cukup banyak. Sebagian kecilnya, seperti kisah berikut. Seorang sahabat dekat Habib Abdullah berkata: “Pada suatu kali aku terlilit hutang yang banyak dan aku tidak dapat melunasinya, karena aku tidak mempunyai uang. Ketika aku menyampaikan keluhanku kepada Habib Abdullah, beliau berkata: ‘Semoga esok pagi semua hutangmu dapat terlunasi.’ Ternyata keesokan paginya, ada seorang lelaki memberiku sepuluh potong pakaian. Setelah aku menerimanya, kemudian akupun menjualnya, maka aku mendapat keuntungan yang lebih besar dari jumlah hutangku.”

Seorang lelaki yang sangat cinta kepada Habib Abdullah berkata: “Aku pernah dirampok sampai semua hartaku habis. Maka akupun mendatangi Habib Abdullah untuk meminta tolong dan minta do’a. Ketika aku akan pamitan, ia berkata kepadaku, ‘Semoga engkau mendapat ganti yang lebih bagus daripada hartamu yang dirampok. Tetapi bacalah ‘Ya Rozzaaq’ setiap pagi  sebanyak 380 kali dan do’a berikut sebanyak 4 kali: “Allahumma aghninii bihalaalika ‘an haroomika wa bitho’aatika ‘an ma’shiyatika wa bifadhlika ‘amman siwaak.” Maka dengan izin Allah SWT, lelaki itu kembali dalam keadaan yang lebih baik dan hutang-hutangnya terlunasi.

Penganut mazhab Syafi’i, khususnya di Yaman, yakin bahwa Habib Abdullah adalah mujaddid (pembaharu) abad 11 H. Pendapat ini diutarakan oleh Ibnu Ziyad, seorang ahli fiqih terkemuka di Yaman yang fatwa-fatwanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh fiqih seperti Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli. Seseorang pernah menggambarkan kedudukannya dengan ungkapan yang indah, yaitu: ”Dalam dunia tasawuf, Imam Ghazali ibarat pemintal kain, Imam Sya’rani ibarat tukang potong dan Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad adalah penjahitnya.”

Sepanjang hidupnya ia jalani dengan amal sholeh dan selalu meniru apa yang diajarkan Rasulullah SAW, sehingga hidupnya sangat berkah dan berguna. Habib Abdullah wafat hari Senin, malam Selasa, tanggal 7 Dzulqo’dah 1132 H, dalam usia 98 tahun. Ia disemayamkan di pemakaman Zambal, kota Tarim, Hadramaut, Yaman.

Keturunan Habib Abdullah ternyata ada juga yang tinggal di Indonesia. Dialah Habib Hamid bin Ali bin Alwi Al Haddad, akrab dipanggil Habib Hamid Al Haddad, yang lahir di Hadramaut. Pada tahun 1183 H/1762 M, di masa Kesultanan Palembang Darussalam, ia melakukan perjalanan dakwah ke Palembang. Karena ketinggian ilmunya, ia dipercaya untuk menjadi guru di kesultanan. Pada tahun 1193 H/1772 M, ia baru bisa membangun rumah dan memutuskan untuk menetap dan terus berdakwah di Palembang. Kegigihannya dalam berdakwah tidak terlepas dari didikan ayahnya yang merupakan cucu langsung Habib Abdullah.

Habib Hamid wafat pada 9 Syawal 1235 H//1814 M, dimakamkan di pemakaman keluarga Assegaf, Palembang. Sampai sekarang, makamnya yang tidak dapat ditutupi dengan atap dianggap keramat. Hingga saat ini masih banyak keturunan Habib Hamid yang tinggal di Palembang. Ada juga yang di Tanjung Priok, Jakarta dan Bogor.

Referensi:

  1. http://www.fiqihmuslim.com/2016/04/profil-biografi-al-imam-al-habib-abdullah-bin-alwi-alhaddad.html
  2. Majalah Alkisah edisi tahun 2005

*Alumni PPTA

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *