Meneguhkan Islam dan Budaya lokal Sebagai Bentuk Pencegahan Radikalisme

Oleh : M. Imam Sanusi Al-Khanafi*
Hubungan Agama dan Budaya
Belakangan banyak sekali wacana Agama yang diwarnai dengan bermusuhan antara budaya dan produk-produknya. Masih belum hilang ingatan kita kepada peristiwa pengeboman gereja diberbagai tempat di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur pada 13-14 Mei 2018.
Sekarang kita dihadapkan dengan berbagai macam teror dengan mengatasnamakan Agama yang Jauh lebih radikal, puritan, dan brutal, bahkan dibanding dengan al-Qaidah yang merupakan akar awalnya. Bukan hanya memusuhi dan membantai golongan-golongan yang berbeda dengannya, tak peduli muslim atau bukan, kelompok ini juga menampilkan permusuhan luar biasa terhadap manifestasi (bentuk) budaya lokal, termasuk pemikiran, dan menabrak tradisi-tradisi yang dilahirkan darinya.
Dalam hal ini, masyarakat menganggap Islam termasuk Agama yang puritan dan radikal. Sehingga Islam terkesan ekstrim. Ada beberapa cara yang dapat dipakai dalam memandang hubungan agama dan budaya. Salah satunya adalah melihat Agama dalam menghargai budaya sebagai sumber kearifan dan adab. Dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13

“Hai Manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku- suku agar kamu saling belajar kearifan (litaarafu). Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu adalah yang paling sadar-Tuhan (bertaqwa).(Al-Hujurat : 13)

Ayat di atas menjelaskan, manusia diciptakan Allah walaupun berbeda-beda dari bangsa, suku, ras, dan keyakinan, jangan saling mencemooh antar sesama umat manusia. Akan tetapi saling mengenal dan saling tolong-menolong. Dan Allah SWT tidak menyukai orang- orang yang memperlihatkan kesombongan, karena yang paling mulia adalah orang yang bertaqwa kepada Allah.

Agama dan Budaya saling menguatkan
Secara geografis, Indonesia merupakan negeri Muslim terbesar yang paling jauh dari pusat-pusat Islam di timur tengah, Indonesia adalah negeri Muslim yang paling sedikit mengalami Arabisasi. Mungkin karena proses pengislamannya yang relatif baru, selain itu adanya proses akulturasi antara Islam yang dibawa oleh kaum sufisme dengan penjajah Barat. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negeri muslim sinkretis, ditambah lagi Islam disebarkan di Indonesia tidak menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa Nasional.
Hal ini meyadarkan kita bahwa, Islam ke Indonesia tidak merombak tata nilai adat yang berkembang di Indonesia, melainkan tetap mempertahankan budaya tersebut dengan mengawinkan ajaran tasawuf. Ajaran tasawuf dapat dikatakan mewakili segi paling intelektual Agama Islam. Dalam bahasa Gus Dur, Islam dan budaya terkesan tidak bertolak belakang, melainkan saling menguatkan satu sama lain. Walaupun ada wilayah yang seharusnya tidak boleh disamakan, yakni masalah asal-usul agama dan budaya itu sendiri. Jika Islam agama yang berasal dari wahyu, sedangkan budaya merupakan hasil kreativitas manusia yang secara terus-menerus berkembang pesat.
Pengaruh sufisme di Indonesia sudah sering menjadi bahan pembicaraan ilmiah. Namun, masih ada sesuatu yang harus ditegaskan dalam masalah ini, yaitu bahwa pada analisis terakhir, apa yang disebut “kejawen” pun dapat dilihat sebagai penjawaan sufisme Islam, atau pengislaman mistisisme Jawa. Pengaruh al-Ghozali, juga amat terasa dalam kalangan “kejawen”, disamping pengaruhnya yang sangat besar dikalangan kaum santri.
Walaupun Islam datang ke nusantara harus menyesuaikan dengan budaya lokal, Dalam pandangan Gus Dur, kalau Islam tetap dipertentangkan hingga menimbulkan radikalisme akan merugikan Islam itu sendiri. Sebab, pertentangan pendapat tidak semuanya harus diselesaikan dengan melarang atau menyesatkan kelompok lain, toleransi justru bisa lebih membawa hasil.
Islam bukan agama radikal
Ajaran Islam sendiri sesungguhnya tidak mengajarkan kekerasan dalam beragama, entah di dalam pihak internal ataupun eksternal. Dalam firman-Nya:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (256

“Tidak ada paksaan (pertengkaran) dalam menganut agama Islam, sesungguhnya sudah jelas (perbedaan ) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat, barangsiapa yang ingkar kepada thoghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, ia telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar, maha mengetahui (al-Baqarah / 2: 256)
Ayat di atas menegaskan bahwa, Islam tidak melarang untuk mengikuti ajarannya, akan tetapi kedamaian sangat dibutuhkan dalam menumbuhkan keharmonisan antar umat beragama, akan tetapi jika pertengkaran antara umat beragama terjadi, justru akan menimbulkan permusuhan umat beragama. Islam sendiri tidak mengajarkan pertengkaran dan permusuhan, melainkan mengajarkan keharmonisan, karena keharmonisan tercipta kerukunan dan toleransi antar satu sama lain.
Islam Agama Akhlak
Seperti yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, nabi menyebarkan Islam tanpa ada paksaan dan tujuannya tidak mengislamkan, justru memperbaiki akhlak manusia yang tercela, yakni dengan cara mengenalkan ajaran Islam. Nabi SAW bersabda :

إنما بعثت لأتمم صالح الأخلاق

“Sesungguhnya Aku (Rasulullah ) diutus untuk menyempurnakan akhlak setiap umat Manusia”
Hadis di atas tentunya memberikan pesan kepada manusia untuk tidak menyalahgunakan Islam sebagai Agama perang, radikal dan memunculkan permusuhan. Justru agama mengajarkan kepada manusia untuk merangkul tidak memukul, serta mengayomi tidak memerangi.
Interaksi antara Islam dan budaya lokal
Islam hadir di Indonesia sepintas terkesan wajah lokal, apabila dibanding dengan Islam timur tengah, namun setelah dikaji lebih dalam, ternyata hal itu menggambarkan keberhasilan Islam dalam berinteraksi dengan budaya lokal, sehingga peleburan Islam kedalam tradisi lokal atau peleburan tradisi lokal kedalam Islam akan menciptakan model keberagaman yang mampu menjadikan agama sebagai pijakan kemajuan, keadilan dan kedamaian.
Meskipun Islam berada ditengah kondisi sosial yang beragam, tetap saja ia dapat tumbuh subur mewarnai kehidupan penganutnya, dimanapun mereka berada hingga sampai kapan pun. Kematangan dalam memberikan interpretasi terhadap Islam mampu melahirkan serangkaian konsep menjadikan Islam produktif.
Kesimpulan
Islam dan budaya lokal seharusnya jangan sampai dipisahkan. Sebab, Islam di Indonesia memiliki keistimewaan tersendiri dalam membangun keberagaman yang moderat. Dengan peleburan antara Islam ke dalam budaya atau budaya ke dalam Islam menjadikan Islam di nusantara memiliki tingkat kekerasan yang paling sedikit daripada Islam di timur tengah. Hal tersebut menunjukkan Islam dan budaya lokal menciptakan toleransi dan kebersamaan.
*Penulis merupakan alumni IAIN Tulungagung dan salah satu pengurus pusat Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *