Fiqih Tarbawi di Tengah Covid 19

الامور بمقاصدها

Segala sesuatu dikembalikan kepada tujuan-tujuannya.
Kaidah ini biasanya akrab dalam kajian hukum Islam, tetapi sekarang juga diterapkan untuk menjawab problematika sosial lainnya, baik dalam bidang ibadah, ekonomi, hukum, pendidikan, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Dalam konteks kajian hukum Islam semua perbuatan dianggap sah jika memenuhi syarat dan rukun yang diatur dalam aturan-aturan yang telah dikonsepsikan dalam fiqih. Misalnya ibadah sholat kalau diniati dengan benar, karena ibadah kepada Allah SWT, juga memenuhi syarat dan rukun dari shalat maka ibadah shalat itu dianggap sah.
Dalam konteks pendidikan sekarang ini juga dikembalikan tujuan pendidikannya, yakni, 1) Tujuan ibadah kepada Allah SWT. 2) Tujuan memahami ilmu (knowledge), 3) Tujuan memperbaiki akhlaq, dan juga 4) Tujuan mempunyai kemampuan.keterampilan, skill sesuai bidang ilmu yang dia dalami atau tekuni. Tujuan-tujuan ini harus dimengerti oleh semua yang berhubungan dengan pendidikan, mulai orang tua wali, guru-guru di sekolah atau madrasah, santri atau siswa itu sendiri, pengelola dan masyarakat sekitar. Semua harus berusaha mengerti, bahu-membahu, untuk mewujudkan tujuan pendidikan itu. Sehingga ada kesepahaman bersama (common sense) dalam menjalankan program-program untuk mewujudkan tujuan atau cita-cita bersama yaitu santri atau siswa ahli ibadah, ahli ilmu, ahli politik, ahli teknik, ahli bahasa, ahli hukum, dan sebagainya. Tanpa ada tujuan seragam tidak mudah mencapai cita yang diharapkan bersama. Ini bisa diuji di dunia pesantren yang di sekitarnya subur berdiri lembaga-lembaga formal, walaupun dari sisi kuantitas banyak menampung santri, tetapi kadang tujuan mereka menjadi santri masih perlu untuk diluruskan. Misalnya para santri tiap kali ditanya, mengapa sekolah di pesantren atau sekolah tertentu, mereka selalu menjawab “ingin sekolah sambil nyantri-mondok”. Jawaban ini selalu keluar dari santri dan wali. Harapan mereka menginginkan anaknya sekolah di Pesantren bisa sambil ngaji. Niat semacam ini kurang tepat, dalam penilaian proses pembelajaran, karena meletakkan sisi pengajian (ta’lim) di pesantren sebagai nomor dua, akhirnya dalam kegiatan sehari-hari, hati mereka, fisiknya. akalnya untuk pesantren, diposisikan sebagai amaliyah kelas dua, sambilan, yang tidak pernah sungguh-sungguh dalam melakukannya, menggapainya. Yang mereka utamakan adalah sekolah formalnya, maka yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di pesantren, kurang sungguh-sungguh dan kurang maksimal. Inilah yang terjadi di dunia Pendidikan saat ini, niat pelaku, praktisi pendidikannya kurang komitmen, sejak dari awal. Inilah pentingnya mengetahui tujuan atau niat bagi seseorang, untuk memproteksi pendidikan kita tercinta.
Kemudian dalam masalah pemahaman tujuan pendidikan atau niat ini dapat untuk menjawab pertanyaan, mengapa pendidikan Islam di pesantren kuno (salaf) menjadi model pendidikan Islam par exellence? Mungkin jawabannya adalah kaidah di atas, terkait dengan tujuan, niat seseorang dalam memperoleh ilmu di Pesantren salaf tersebut. Rata-rata.santri yang nyantri di pesantren kuno niat dan tujuannya satu yakni ibadah dan tafaquh fi al-din. Tidak ada niatan yang lain selain dua hal tersebut. Dari niat dan tujuan ini, akhirnya berimplikasi kepada aktualisasi diri dalam proses pembelajarannya, artinya.ada keseimbangan usaha lahiriyah dan bathiniyah dalam memperoleh ilmu. Taruhlah dalam adab ta’lim mereka sangat memegang teguh prinsip-prinsip, perilaku, yang terkandung di dalamnya, baik adab gurunya, adab muridnya, adab orang tuanya, adab dengan temannya, adab berhadapan dengan kitab-kitab sebagai medianya, dan adab kepada yang lain. Ini relevan dengan dawuh:

 عليكم بالادب والعلم

(berpegang teguhlah kepada adab dan ilmu). Artinya lagi, di dunia pesantren kental dengan sebutan istiqamah, konsistensi, relevansi antara ilmu sebagai theori dengan adab sebagai kepribadian seorang santri, guru dan orang tua, bahkan para pembantu-pembantu yang berhubungan dengan proses ilmu.
Dunia sekarang sedang dilanda pandemic wabah covid 19, hampir semua bidang kehidupan merasakan dampaknya, tak terkecuali di dunia pendidikan. Sebagai praktisi pendidikan kita pasti akan bertanya dalam hati, bagaimana nasib generasi-generasi kita, yang seharusnya mereka umur produktif yakni umur-umur mendapatkan layanan pendidikan yang baik? Apakah mereka dapat menjalani proses pembelajaran secara online? Bagaimana kualitasnya untuk generasi-generasi pemimpin bangsa 20-50 tahun yang akan datang? Padahal siap atau tidak siap generasi sesudah kita pasti meneruskan perjuangan memakmurkan bumi, melakukan syiar ajaran islam, dan mengisi pembangunan bangsa. Dilihat dari realitas sekarang proses belajar anak didik kita memang tidak berhenti, mereka terus belajar, mengaji dalam suasana keprihatinan dan keterbatasan. Karena transformasi ilmu pun tidak dapat dilakukan dengan manual, harus jarak jauh. Ini pasti berpengaruh terhadap kualitas ilmu yang disampaikan. Dari sisi sumber belajar yang biasanya anak didik kita ke perpustakaan sekolah atau kampus juga.belum bisa dilakukan. Yang biasanya melakukan praktik-praktik atau magang di lembaga lembaga stakeholder juga belum tentu diterima secara langsung, bisanya praktik melalui virtual. Padahal yang dilakukan adalah pengalaman empiris, tetapi dilakukan dengan virtual, akhirnya ini pun tidak dapat membekali siswa atau mahasiswa kita secara maksimal. Belum lagi dari sisi akses-akses sosial di lingkungan yang mereka bisa transformasi diri juga belum bisa dilakukan. Praktis proses pembelajaran berjalan tidak normal, seperti kondisi biasanya. Inilah kekhawatiran parà guru, praktisi pendidikan sekarang, bagaimana nasib anak-anak kita? Walaupun begitu, sebagai hamba Allah sudah diusahakan berbagai ikhtiyar mulai belajar online, bantuan dari pemerintah, belajar dalam keadaan darurat secara kontinue terus berlanjut. Sebagai manusia biasa tinggal menyerahkan sepenuhnya kepada kuasa Allah SWT. Tentang pendidikan kita, keluarga kita, santri, anak didik kita. Semoga atas kuasa Allah SWT wabah korona ini dapat membentuk ketahanan mental santri atau siswa kita. Walaupun dari sisi intelektual mengalami penurunan kualitas, tetapi dari sisi emosional dan mental dapat membentuk pribadi-pribadi yang tangguh. Akhirnya masa depan bangsa, agama ini tetap berkembang dinamis menuju kejayaannya sesusi dawuh Nabi Saw. “Jika Allah menghendaki mengangkat derajat hambanya, maka dia mengujinya terlebih dahulu”. Wa Allahu A’lam.
Tentang penulis: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag adalah pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar, dan juga dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung.

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *