Rasul menjawab pertanyaan sahabat, pekerjaan apa yang paling utama, dijawab oleh Nabi: pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dengan tangannya sendiri dan usaha bisnis yang baik. Maka kemudian dalam al-Quran pun dijelaskan bahwa:
واحل الله البيع وحرم الربا
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Riba adalah tambahan atas hukum yang dipinjamkan kepada orang lain. Kadang kala tambahan itu sebagai tambahan atas waktu yang tertunda atau atas akad kelipatan yang disepakati. Maka riba biasanya dibagi menjadi dua, yaitu riba fadla dan riba nasi’ah. Riba fadla karena kelipatan hutang, riba nasi’ah diberikan karena penundaan waktu yang seharusnya jatuh tempo. Dalam tradisi jahiliyah riba berlaku memang ini sebagai tradisi jahiliyah yang jauh dari keadilan, akhirnya banyak sekali kedhaliman, ketidakadilan, tirani berkembang di masyarakat. Maka dalam al-Qur’an diturunkan dalam rangka memperbaiki akhlaq jahiliyah yang berdasar kedhaliman menjadi kegiatan ekonomi keadilan. “Wa ahalallah bay’a wa harramar riba” ini sebagai ajaran islam untuk menghapus kedhaliman dan menjalankan keadilan ekonomi di tengah masyarakat.
Dalam perspektif Maqashid al-syariah, larangan riba sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah. Orang yang menjauhi riba dianggap patuh kepada Allah, dan ini bernilai ibadah. Larangan riba juga bernilai memelihara harta. Artinya manusia akan terwujud keadilan kepada sesama, dengan berkerjasama yang berbasis tolong menolong maka akan terwujud keadilan, kebersamaan, dan kerukunan antar masyarakat. Inilah ajaran islam yang meminimalisir eksploitasi sesama dengan larangan riba dan memerintahkan kepada jual beli.
Semangatnya riba itu adalah iqamat al-adalah dalam bisnis Islam, maka segala akad atau perbuatan bisnis yang di dalamnya terdapat tirani, kedhaliman kepada yang lain pasti akan dilarang oleh ajaran Islam. Bisa jadi berbentuk utang piutang, jual beli, pinjam-meminjam, sewa menyewa dan sebagainya. Inilah semangat dari pembaruan bisnis yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Ingin memperbarui hukum Islam dalam bidang ekonomi, sehingga prinsip-prinsip kemanusiaan dan ketuhanan terjaga dalam hukum ekonomi Syariah, contohnya dalam kasus riba. Kalau dalam al-Qur’an dicantumkan larangan riba dan dibolehkan jual beli, ini hanya sebagai simbol. Larangan adanya kedhaliman dan menegakkan nilai keadilan dalam transaksi jual beli. Apalagi dalam perspektif sosial arab kala itu, praktik ekonomi lebih banyak dilakukan dalm transaksi perdagangan.
Dalam Islam orang bekerja memang diperintahkan, tetapi harus memenuhi adab atau etika dalam berbisnis. Di antara adab atau etika bisnis adalah berlandaskan tauhid. Artinya bekerja tidak hanya ingin memenuhi kebutuhan hidup tetapi juga dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Senyampang usaha yang dilakukan untuk bekal beribadah kepada Allah, maka semuanya dinilai beribadah kepada Allah SWT. Memang secara lahiriyah seseorang menampakkan diri sebagai orang yang bekerja, tetapi karena hasil kerjanya digunakan untuk beribadah, nafaqah keluarga, jariyah, shadaqah, wakaf, membantu orang yang tidak mampu dan lain lain, maka disitu dinilai ibadah kepada Allah SWT, dan nantinya hasilnya akan dipetik di akhirat.
Landasan kedua adalah keadilan. Artinya adanya proporsional dalam mencari, mengumpulkan, dan mentasharufkan harta. Dalam mengumpulkan dan mentasharufkan harta, seseorang harus adil, ada keseimbangan antara yang didapatkan dengan yang dikumpulkan. Cara mendapatkan harta harus adil, harus memperhatikan keseimbangan, proporsionalitas dalam bekerja. Seseorang tidak dapat menghabiskan waktunya hanya untuk mengumpulkan harta, tanpa memperhatikan aspek-aspek kemampuan, aspek tenaga, aspek waktu sehingga ada sisi-sisi berlebih-lebihan dalam bekerja, dalam bahasa lain maniak bekerja. Hal ini penting diperhatikan aspek keadilan agar ada proporsionalitas antara aspek waktu, tenaga, dan kebutuhan untuk beribadah kepada Allah SWT. Juga nilai-nilai keadilan dalam penggunaan harta yang didapatkan. Terutama dalan islam jangan terlalu boros, juga jangan terlalu kikir. Menjadikan seseorang tidak adil. Maka dengan nilai keadilan tasharuf harta akan terjadi ada keseimbangan antara untuk pribadi, keluarga, juga untuk kepentingan masyarakat. Untuk itu diaturlah aturan-aturan tentang nafaqah, jariyah, zakat dan lain lain. Sehingga ada distribusi harta dengan baik.di dunia ini.
Landasan ketiga adalah amanah. Kita mendapatkan kerja adalah amanah. Harta hasil kerja juga amanah. Artinya juga harta yang kita dapatkan merupakan amanah Allah yang harus ditasharufkan sesuai dengan aturan-aturan Allah. Jangan sampai kita sebagai seorang muslim menggunakan harta seolah-olah harta ini adalah milik kita, hasil kita, yang menggunakannya sesuai dengan keinginan nafsu kita. Harus mempunyai keyakinan bahwa harta ini adalah amanah yang dititipkan Allah, supaya manusia mentasharufkan sesuai dengan kebutuhan makhluq Allah SWT.
Tentang penulis: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag adalah pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar, dan juga dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung.