Kelanjutan ngaji pada tulisan pertama, di tengah-tengah menjalani sebagai santri madrasah MHM mulai tahun 1994 dan bermukim di kompleks asrama HM Putra, karena statusnya sebagai mahasiswa, maka kamar yang saya tempati mayoritas adalah mahasiswa lulusan-lulusan pesantren besar dengan kualifikasi pemahaman kitab kuning dan ilmu Agamanya jauh lebih mapan dibanding saya. Maka ini kesempatan dari saya untuk belajar dari teman-teman santri yang sudah senior-senior kitab kuningnya itu, mereka tamatan dari pesantren Sidogiri Pasuruan, pesantren al-Falah Ploso, pesantren Tambak Beras, pesantren Syafiiyah Sukorejo Situbondo, tamatan MHM Lirboyo sendiri, Pesantren Langitan Tuban, dan lain-lain. Dari teman-teman santri ini banyak ilmu hasil diskusi, debat, demonstrasi, konflik, bergaul, dari berbagai macam bidang kehidupan, yang pasti adalah diskusi kitab kuning. Pada tahun kedua atau 1995 di Pesantren HM Putra ada moment reformasi kepengurusan Asrama. Pada saat inilah mengenal organisasi di pesantren Salaf, di PP HMP Lirboyo. Saat itu saya diamanahi menjadi keamanan pesantren, yang tentunya tugasnya adalah mengkoordinasikan sisi ketertiban Pondok Pesantren. Mulai opyak-opyak jamaah, pembagian piket jaga, harus keliling kota untuk menangkap santri-santri yang keluar Pesantren tanpa izin, memberikan sanksi-sanksi kepada santri yang melanggar. Koordinasi dengan pengurus pesantren unit-unit yang lain. Pokoknya tugas keamanan pesantren merupakan aktivitas yang tidak menyenangkan bagi para santri-santri yang mukim di HMP.
Pada tahun selanjutnya saya juga diserahi untuk menjadi seksi Pendidikan pada tahun 1996. Seksi ini agak berbeda dengan seksi keamanan, karena yang ditangani adalah kegiatan-kegiatan yang sifatnya Pendidikan bagi para santri. Mulai dari koordinasikan jamaah, madrasah diniyah, ketertiban sekolah formal, menyusun program jam’iyyah yang diselenggarakan tiap malam jumat, memimpin shalat jamaah apabila kyai sedang udhur dan sebagainya. Pada waktu menjadi seksi Pendidikan ini, ada pengalaman menarik, yaitu diutus mewakili PP Lirboyo mendatangi Undangan dari Kementerian Agama Jakarta untuk mengikuti Pelatihan sebagai pengelola Madrasah Tsanawiyah (MTs) Terbuka di Pesantren. Yang kebetulan PP lirboyo waktu itu ditunjuk untuk membuka program itu. Program ini bertujuan untuk memberi kesempatan kepada anak-anak santri mengikuti sekolah mts terbuka, selama kurang lebih 3 tahun, dan mereka setelah selesai akan mendapatkan ijazah formal, yang waktu itu mts penyelenggaranya adalah MTsN 1 Kota Kediri.
Kemudian pada tahun selanjutnya, Ketika terjadi reformasi kepengurusan pesantren, diamanahi lagi menjadi wakil ketua Pondok (lurah). Ini terjadi pada akhir tahun 1997, dan karena pada tahun 1998, ketua pondok nya harus boyong dari pesantren, maka sayalah yang melanjutkan menjadi lurah pondok di HMP tahun 1998. Menjadi lurah Pondok Pesantren membuat tempaan menjadi lebih berat lagi, karena tugas kita harus memikirkan perjalanan program-program Pesantren HMP, mulai dari koordinasi dengan kyai dan ndalem, memikirkan pembiayaan pesantren mulai dari biaya listrik, telpon, pembayaran material, tukang untuk pembangunan dan biaya operasional lain keorganisasian di Pesantren. Sedangkan Pesantren sendiri pemasukannya murni dari syahriyah (bulanan) santri yang pada waktu itu, membayarnya kalau sudah datang dari rumah setelah pada bulan Syawal. Maka pada saat-saat tertentu saya selalu ditimbali oleh Romo Yai Imam Yahya Mahrus, bagaimana keuangan Pesantren, masih mencukupi atau tidak? Kalau dijawab menipis, maka Yai Imam akan memberikan uang untuk membayar listrik, memberikan ongkos tukang, menutup hutang di toko-toko bangunan. Pada tahun 1998 akhir kemudian terjadi reformasi kepengurusan pesantren lagi, dan ternyata saya dipilih lagi oleh para santri untuk menjadi lurah pondok lagi untuk tahun kedua.
Perlu diketahui bahwa di Pesantren HMP, KH. Imam Yahya Mahrus menjalankan program istighosah dan shalat malam setiap hari, sekitar pukul 03.00 sampai subuh. Pada jam tiga itu sudah dipastikan beliau Yai Imam selalu keliling asrama santri untuk mengikuti shalat malam dan istighasah semuanya, tanpa kecuali. Kalau Kyai sudah berkeliling dipastikan semua santri taat, patuh untuk bangun malam. Sebagai pengurus Pondok kita berkewajiban untuk membantu beliau membangunkan santri-santri, kalau bisa ketika kyai ke Mushola, para santri sudah siap di mushala dengan shafnya masing-masing. Inilah yang kemudian kita istiqamahkan, setiap hari yaitu membantu kyai dan mengikuti shalat malam. Maka untuk mewujudkan konsistensi itu biasanya saya kalau malam tidak tidur dulu, kalau dikhawatirkan nanti bangun kedahuluan Kyai. Sehingga seringkali kita tidak tidur, kalau malam setelah madrasah diniyah, kita bercengkrama dengan sesama santri, kemudian setelah jam dua belas malam kita ke makam para masyayikh Lirboyo di barat masjid Pondok Induk, sekira jam 02.30 kita ngopi di warung di dalam pesantren, jam 03.00 kita kembali ke HM Putra untuk membantu kyai membangunkan para santri. Tugas membangunkan teman santri ini, begitu melekatnya kepada saya, sehingga teman-teman santri kalau memanggil saya dengan panggilan “Qum, Qum, Qum”, istilah arab yang artinya bangun, bangun, bangun. Memang saya kalau membangunkan santri dengan menggunakan kata-kata itu, menirukan Kyai Imam saat membangunkan santri. Tapi alhamdulillah berkat ajaran istighasah akhirnya saya, dan para alumni HMP kalau bercerita selalu mengenang program kyai yang satu ini, yaitu shalat malam dan istighasah. Seolah terpatri dihati saya dan para alumni, begitu besar jasa-jasa kyai Imam dalam membentuk kepribadian santri yang rajin shalat malam dan istighasah.
Bercerita tentang faedah dan barakah istighasah, pernah suatu ketika ada santri baru masih umur 14 tahun, tingkatan Mts Tribakti waktu itu. Dia sudah mukim di Pesantren HMP selama 1,5 tahun. Santri ini berasal dari propinsi Jawa Tengah. Pada hari minggu, dia izin untuk belanja keperluan harian ke Kota Kediri, dengan naik sepeda onthel sewaan. Ketika sampai di kota mendapat kabar bahwa santri kecil ini kecelakaan karena disenggol oleh truk gandeng, dan masuk di bawah truk. Kita sebagai pengurus kemudian melakukan cek lokasi kejadian, dan betul santri itu kecelakaan di jalan menuju utara depan alun-alun Kota Kediri. Tetapi setelah sampai di lokasi anak santri ini segar bugar tidak mengalami luka sedikitpun. Kemudian setelah urusan dengan sopir truk selesai, kita bersama-sama menghadap yai Imam untuk menceritakan kejadian yang dialami santri MTs ini, dan meminta doa supaya si santri tenang dan tidak mengalami trauma. Saat sowan itulah Yai Imam Yahya dawuh, inilah barokahnya shalat malam dan istighasah santri dapat menolak mara bahaya dan bala’.
Pengalaman menarik lagi, ketika menjadi lurah Pondok HMP waktu itu dalam suasana euphoria reformasi di Indonesia, pasca pergantian presiden dari Bapak Soeharto kepada Prof. Bj. Habibi. Salah satu program yang dijalankan pemerintah adalah adanya pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Untuk menyongsong program pemerintah, berkat relasi hubungan Yai Imam Yahya yang luas, akhirnya pondok Pesantren HM Putra Ketika itu mendapatkan kesempatan untuk mengelola penjualan minyak goreng, jualan beras bekerja sama dengan Bulog Kota kediri. Saya waktu itu selain menjadi lurah pondok juga mengkoordinir penjualan minyak goreng dan beras. Akhirnya aktivitasnya tidak hanya mengurusi santri juga diajari bisnis oleh Kyai. Alhamdulillah dalam sebulan saja, waktu itu mendapatkan keuntungan sekitar lima jutaan. Kemudian kami matur kyai Imam, bagaimana kalau hasil atau keuntungan jualan minyak goreng dan beras ini, digunakan untuk mengembangkan bangunan di belakang HM Putra? Atas usulan saya itu, akhirnya romo Yai Imam setuju, maka dibangunlah bangunan belakang HM Putra yang sifatnya semi permanen, yakni bahannya dari kayu glugu dan gedek, yang kemudian dijadikan tambahan kamar-kamar santri sejumlah tiga ruangan yang disebut dengan gubug.
Satu hal yang perlu ditulis disini, tradisi pesantren HM Putra Lirboyo untuk pergantian kepengurusan, sesuai dawuh romo yai Imam untuk dijalankan dengan demokrasi. Artinya lurah pondok, struktur kepengurusan, program-program yang dijalankan di musyawarahkan bersama. Sehingga dalam organisasi pesantren tempo dulu sekalipun sudah ada yang namanya macam-macam rapat. Di antaranya rapat pleno tiga bulan sekali dengan melibatkan seluruh kepengurusan Pesantren, rapat dewan harian sebatas pengasuh dan dewan inti pengurus, rapat kerja untuk membahas program kerja tahunan sekaligus pemilihan dan reorganisasi kepengurusan. Dari pelajaran ngaji menjalankan kepengurusan organisasi pesantren, banyak alumni-alumni pesantren ketika sudah terjun di tengah masyarakatnya sudah tidak canggung, karena liku-liku tantangan menjalankan program sebagai wujud pengabdian kepada kyai, santri dan masyarakat sudah terbiasa dilakukan.
Di tengah masa ngaji dan khidmahnya di Pesantren HMP Lirboyo, kemudian saya berkeinginan untuk melanjutkan kuliah di Strata 2 (S2) di Institut Agama Islam Negeri Surabaya, dengan mengambil konsentrasi Syariah, dengan biaya mandiri dan dapat menyelesaikan tepat waktu dalam 2 tahun. Pada saat itu dosen-dosen atau professor yang mengajar di program studi Ini adalah Prof. Dr. Ridlwan Nashir, Prof. Dr. H. Thoha Hamim, Prof. Dr. KH. Sechul Hadi Permono, MA, Prof. Dr. H. Nursyam, Prof. Dr. Ahmad Zahro, Prof. Dr. Bisri Affandi, Prof. Dr. Ali Mufradi, Prof. Dr. Imam Muhlas, Prof. Dr. Roem Rowi, Prof. Dr. Amin Abdullah, Prof. Dr. Said Aqil al-Munawar, Prof. Dr. Shalahudin Hardi, Prof. Dr. Shodiqi, SH, Prof. Dr. Minhaji, MA, Wael B. al-Hallaq, Prof. Dr. Imam Bawani, Prof. Dr. Khozin Affandi, MA, Prof. Dr. H. Ahmad Jaenuri MA, Prof. Dr. Syafiq Mughni, dan sebagainya. Ada dinamika yang menarik, saat kuliah ini, disamping menjalani kuliah di Pascasarjana IAIN Surabaya, juga menjadi ketua Pondok Pesantren di HM Putra Lirboyo Kediri. Sehingga mengharuskan untuk mondar-mandir Kediri-Surabaya selama kurang lebih 2 tahun.
Ada hal yang menjadi catatan saya pada waktu kuliah S2, pada pagi hari Sabtu bertepatan saya pulang dari Surabaya, ditimbali oleh Romo Yai Imam Yahya di kantornya rektorat IAI Tribakti pada tahun 1999. Waktu itu yai Imam dawuh, supaya saya membuat permohonan bantuan biaya kuliah S2 kepada Yayasan Tri Guna Bakti, dan surat itu nanti ditandatangani beliau Yai Imam, kemudian dihaturkan kepada KH. Abdul Wahid Zaini, pengasuh PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Di hari itu juga surat permohonan saya buat agar segera mendapatkan tanda tangan yai Imam, terus besoknya hari Ahad saya langsung berangkat ke Paiton Probolinggo untuk sowan KH. Wahid Zaini. Alhamdulillah sesampainya di PP Nurul Jadid saya bisa langsung sowan ke dalem yai Wahid untuk menghaturkan surat permohonan yang telah ditandatangani yai Imam. Dengan niatan yang baik, menghaturkan salam Romo yai Imam untuk Kyai Wahid, serta menghaturkan surat permohonan biaya kuliah S2. Setelah yai Wahid membacanya kemudian ditandatangani, kemudian Kyai Abd. Wahid Zaini dawuh untuk menemui bendahara Yayasan yang waktu itu dijabat oleh H. Nilam, yang kantornya terletak di daerah sekitar Perak Surabaya. Setelah sowan kyai Wahid Zaini dirasa cukup kemudian saya kembali pulang ke Surabaya. Besoknya berencana untuk menemui H. Nilam di kantornya di Perak. Setelah ketemu dengan H. Nilam dan menyerahkan surat yang telah diberi paraf oleh Yai Imam dan Yai Wahid Zaini, saat itu juga pak H. Nilam menyerahkan uang sejumlah 3 juta rupiah. Menerima itu saya agak kaget kok banyak sekali, padahal waktu itu biaya kuliah dalam satu semester hanya sekitar 600 ribu rupiah. Mendapatkan anugerah rizki yang banyak untuk ukuran waktu itu, saya berpikiran uang perkuliahan untuk empat semester perkuliahan aman, maka uang dari bapak dan ibu dapat saya gunakan untuk biaya hidup di Surabaya, dan membeli buku-buku untuk referensi perkuliahan. Alhamdulillah karena barokah para kyai itu tiap minggu dua kali saya dapat membeli buku akademik, sehingga dua tahun kuliah di Surabaya saya dapat membawa buku sekitar 100 judul buku.
Hal penting yang dapat diambil pelajaran adalah perhatian kyai Imam kepada santrinya, yang sedang melanjutkan kuliah Strata dua. Sampai-sampai beliau berkenan untuk tanda tangan permohonan biaya kuliah untuk saya, padahal waktu itu tidak ada yang tahu kalau beliau Yai Imam Yahya Mahrus ternyata adalah pengurus Yayasan Triguna Bakti bersama KH. Imron Hamzah, KH. Abdul Wahid Zaini dan KH. Fawaid As’ad.
Selesai dari pendidikan S2, kemudian melanjutkan Khidmah, mengabdi lagi di Lirboyo yang saat itu terjadi pergantian kepengurusan di Madrasah Diniyah HMP, oleh Yai Imam di tunjuk untuk menjadi mudir (kepala) madrasah diniyah serta mengajar di sana. Itu saya bisa menjalani sebagai kepala madrasah hanya satu tahunan, kemudian digantikan oleh teman-teman yang lain, yang masih istiqamah di Pesantren. Karena selain mengajar di Madin HMP, waktu itu saya juga menjadi sekretaris Program Pascasarjana Institut Agama Islam Tribakti Kediri (IAIT), juga mengajar di program sarjana Fakultas Syariah, Universitas Islam Kadiri, dan menjadi kepala sekolah di SDI Plus, Miftahul Ulum Bendosari Kras Kediri. Selanjutnya Khidmah di HMP mengajar saja pada waktu malam hari dan itupun seminggu sekali.
Pada tahun-tahun selanjutnya pengabdian di HMP berlanjut dengan dibentuknya Ikatan Alumni HMP al-Mahrusiyah, tahun 2005 an. Kita Bersama teman-teman senior santri mencoba mengumpulkan alumni-alumni dari berbagai angkatan, dari berbagai daerah di Indonesia. Alhamdulillah acara itu sukses dengan terbentuknya Ikatan Alumni, sebagai ketuanya yang pertama kali adalah saya, dibantu oleh santri-santri senior yang dekat Lirboyo, juga koordinator wilayah asal santri seluruh Indonesia. Karena kepengurusan alumni ini masih pertama kali, nampaknya perjalanan programnya juga belum banyak inovasi, kurang pergerakan. Kegiatan yang dilakukan hanya pure silaturahim antar santri secara tidak formal, maka pada periode selanjutnya saya minta untuk diganti dan dilanjutkan kepengurusan alumni oleh teman-teman yang lebih muda dan inovatif, demi syiar Lirboyo al-Mahrusiyah.
Ngaji dan ngabdi di Lirboyo banyak sekali ilmu yang didapatkan, baik ilmu-ilmu dhahir yang didapat dari madarasah diniyah dan sorogan kepada para kyai, ilmu empiris hasil interaksi dengan kyai, guru, para masyayikh, juga ilmu-ilmu bathin pemberian dan suri tauladannnya. Prinsipnya sebagai santri tidak pernah berhenti untuk ngaji dan ngabdi kepada para kyai-ulama, guru-guru, sebagai bentuk ikhtiyar membangun hubungan yang tidak akan pernah putus, baik mereka masih hidup atau sudah wafat. Pada dasarnya para guru-guru memang sudah wafat secara fisik, tetapi secara ruhani, spiritual mereka tetap sambung kepada murid-muridnya. Maka salah satu amaliyah untuk tetap sambung adalah dengan tetap mengabdi dalam berbagai bentuk kesempatan atau usaha untuk menyambungkan diri kita kepada para guru. Biasa lewat mengajar di pesantren, menjadi pengurus alumni, atau mendoakan, kirim fatihah untuk para masyayikh kita. Ini pengalaman spiritual pribadi saya yang mungkin antar santri berbeda-beda, tiap bakda shalat, istighasah, tahlil saya selalu saya tawasul kepada para guru-guru Lirboyo, ini sudah saya dijalani selama saya nyantri dan sampai sekarang. Akhirnya kitab-kitab yang pernah saya kaji di Lirboyo saya bisa mengajarkannya, semoga bisa mengamalkannya dengan istiqamah. Tidak hanya itu saja, dalam momentum tertentu, misal di HMP lirboyo ada hajat, haul atau yang lain, selalu masyayikh Lirboyo hadir dalam mimpi saya untuk mengingatkan, bahwa di HMP Lirboyo ada acara, supaya disambangi. Semoga saya diakui menjadi santri para Masyayikh Lirboyo. Lahum al-Fatihah.
Ada beberapa catatan ngabdi dan ngaji di PP HMP Lirboyo, terutama ajaran-ajaran dari Kyai: 1. Kyai selalu menekankan kepada keistiqamahan dalam ngaji dan beribadah. 2. Kyai selalu memberikan Uswatun Hasanah, sesibuk apapun Romo Kyai beraktivitas di Nahdlatul Ulama atau undangan para alumni, tetapi ketika waktu jamaah dan istighasah biasanya beliau selalu hadir memimpinnya, kecuali udhur yang benar-benar tidak dapat ditingalkan. 3. Di Pondok Pesantren dan organisasinya selalu didasari dengan niat yang ikhlas. Tidak ada para pengurus pondok Pesantren menerima honor atau gaji, walaupun sedikit. Dawuh para kyai mengurus pesantren itu adalah Khidmah kepada ilmu, mengabdi kepada pesantren dan kyai, dengan keikhlasan nantinya pasti akan mendapatkan kemanfaatan dan keberkahan ketika sudah pulang ke rumahnya masing-masing. 4. Selalu mengedepankan akhlaq, terutama kepada para guru dan kyai atau dalam bahasa lain selalu bersikap tawadhu’, nanti akan mendapatkan keluhuran derajat di belakang hari. Wa Allahu A’lamu.
Penulis merupakan pimpinan PP al-Kamal Blitar Pengajar IAIN Tulungagung dan Dewan Pembina Yayasan Masjid Bayturahman Bendosari Kras Kediri